Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pengamat Kritik Rencana Merger BUMN Karya: Bisa-Bisa Perusahaan Sehat Ikut Sakit

Pengamat BUMN menilai rencana pemerintah menggabungkan atau merger tujuh BUMN karya tidak efektif. Ada potensi pemularan kondisi keuangan yang sakit

13 Juli 2024 | 19.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sekitar 200 orang yang tergabung dalam Persatuan Korban Istaka Karya (Perkobik) melakukan demonstrasi di depan gedung Kementerian BUMN di Jakarta pada Rabu, 15 Maret 2023. Mereka menuntut BUMN pailit, PT Istaka Karya (Persero), untuk membayar utang pada mereka senilai Rp 1,1 triliun. Tempo/Amelia Rahima Sari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari Datanesia Institute, Herry Gunawan, menilai rencana pemerintah menggabungkan atau merger tujuh BUMN Karya menjadi tiga perusahaan berpotensi tidak efektif. Sebab, pola yang digunakan adalah menempelkan perusahaan sakit ke perusahaan yang secara keuangan sehat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ini sama saja memberikan beban kepada perusahaan yang secara keuangan sehat tersebut,” ujar Herry saat dihubungi Tempo, Sabtu, 13 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kementerian BUMN berencana menggabungkan tujuh BUMN Karya menjadi tiga perusahaan. Tujuh perusahaan pelat merah bidang infrastruktur itu yakni PT Hutama Karya, PT Waskita Karya Tbk. (WSKT), PT Pembangunan Perumahan Tbk. (PTPP), PT Wijaya Karya Tbk. (WIKA), PT Adhi Karya (ADHI) Tbk., PT Brantas Abipraya, dan PT Nindya Karya.

Herry merincikan, dalam penggabungan itu, Hutama Karya akan ikut menyelesaikan beban Waskita Karya. Sementara PTPP ikut membantu masalah Wijaya Karya. “Bisa-bisa, yang sudah sehat malah tertular virus dari perusahaan yang sakit,” kata Herry.

Dia mengungkit, Wijaya Karya yang sehat pun akhirnya mengaku terseret proyek kereta cepat yang membuatnya jadi rugi. Sepanjang 2023, perusahaan konstruksi pelat merah itu menderita kerugian hingga Rp 7,12 triliun.

Herry menilai, rencana pembentukan Holding BUMN Karya ini hanya bertujuan jangka pendek. Menurut dia, ada kecenderungan pemerintah ingin lepas tangan dengan menyerahkan BUMN yang sakit untuk diurus oleh BUMN yang sehat.

Ujungnya, kata dia, penyerahan tanggung jawab ini akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab, kas negara harus menambal kebutuhan dengan Penyertaan Modal Negara (PMN). “Sekarang saja sudah terus-terusan modalnya ditambal oleh pemerintah, kata dia.

Herry mengatakan, satu contoh buruk dari kasus seperti ini adalah Indonesia Financial Group (PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia), induk perusahaan Jiwasraya. Sejak dikukuhkan menjadi holding asuransi pada 2020 hingga saat ini, IFG selalu disuapi PMN triliunan.

Tak hanya itu, Herry melihat BUMN karya yang kinerjanya biru berpotensi menghadapi risiko reputasi lantaran digabung dengan BUMN sakit. Kalau Hutama Karya dan PTPP menerbitkan obligasi, kata dia, mereka akan memiliki risiko obligasi tinggi sehingga terkompensasi pada suku bunga mahal.

Herry juga menilai pemerintah terlalu cepat mengambil keputusan konsolidasi yang bertujuan jangka pendek. Pemerintah tak pernah menyampaikan hasil audit terhadap kinerja manajemen dari BUMN yang bermasalah. Padahal, dia menilai audit itu penting agar perusahaan tidak jatuh ke kubangan yang sama di kemudian hari. “Kalau langsung digabung, sama saja nihil pertanggungjawaban,” kata dia.

HAN REVANDA PUTRA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus