Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aksi debt collector turut membuat gusar Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran, hingga memerintahkan jajarannnya untuk menindak tegas debt collector yang berlaku kasar kepada debitur atau peminjam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Rabu, 8 Februari 2023 terjadi penarikan paksa debt collector terhadap selebgram Clara Shinta. Perempuan ini didatangi puluhan debt collector di apartemennya di Jakarta Selatan. Mobil Porsche merah milik Clara disita dengan alasan tak mampu membayar cicilannya. Bukan hanya itu, polisi yang menengahi pun kena imbas perlakukan kasar debt collector tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dunia kredit antara lain kredit kendaraan terdapat istilah debt collector mata elang.Debt collector merupakan pihak ketiga yang digunakan lembaga bank maupun leasing untuk menagih utang atau tunggakan debitur yang dalam kurun tertentu tidak dibayarkan. Tak heran maraknya keresahan debitur yang dikejar-kejar oleh debt collector.
Sedangkan istilah mata elang adalah sebuah profesi debt collector yang ditugaskan untuk menggunakan kemampuannya dalam memantau kendaraan yang berkeliaran di jalan untuk mencari kendaraan yang menunggak cicilan.
Kedudukan Hukum Debt Collcetor dan Mata Elang
Dilansir dari laman resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia berjudul “Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor Oleh Debt Collector, Bagaimana Aturannya?” menjelaskan prosedur penarikan kendaraan bermasalah diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Berdasarkan putusan MK tersebut memperbolehkan lembaga leasing melakukan penarikan kendaraan kredit yang tidak lancar. Peraturan ini dicantumkan dalam pasal 15 ayat 2 dan 3 tentang jaminan Fidusia.
Ayat 2 menyebutkan bahwa sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Lalu dalam ayat 3 dijelaskan apabila debitur cedera janji, penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual benda Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Kendati kemudian, jaminan fidusia memiliki perbedaan penafsiran mengenai proses penarikan kendaraan. Penarikan kendaraan motor atau mobil harus melalui pengadilan. Sedangkan sebagian berpendapat berdasarkan aturan UU N0. 42 Tahun 1999, penarikan dapat dilakukan sepihak. Oleh sebab itu, jaminan fidusia merupakan pangkal dari maraknya terjadi penarikan paksa kendaraan bermotor oleh debt collector mata elang.
Jaminan fidusia merupakan perjanjian utang piutang kreditur dengan debitur yang melibatkan penjaminan kedudukan tetap dan dibuat di atas akta notaris. Sehingga jika tidak ada jaminan fidusia, pihak keditur tidak memiliki hak untuk mengeksekusi objek yang dijaminkan.
Hukum penggunaan pihak lain dalam pekerjaan menagih hutang sudah memiliki aturannya. Mengutip publikasi “Penggunaan Debt Collctor Dalam Penyelesain Kredit Macet Pada Bank Standard Chareted" Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 14/17/DASP/2012 penggunaan jasa pihak ketiga diperbolehkan dan keberadaanya diatur dalam peraturan Bank Indonesai , yaitu peraturan kerja sama dengan pihak lain.
Aturan tersebut dituang dalam peraturan Bank indonesia NO.13/25/PBI/2011 mengenai prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksaan kepada pihak lain. Salah satu poin menyebutkan pihak ketiga yang boleh menagih utang macet berasarkan kriteria kolektibilitas sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Kategori utang macet adalah keterlambatan cicilan sudah lebih 6 bulan.
Pemerintah lewat peraturan otoritas jasa keuangan nomor 35/POJK.05/2018 tentang penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan memperbolehkan perusahaan pembiayaaan menggunakan pihak ketiga untuk menagih pembiayaan. Namun pihak pembiayaan harus selalu melakukan evaluasi dan meninjau atas kebijakan dan prosedur penagihan oleh pihak ketiga.
Debt collector dan mata elang memiliki citra tidak baik di mata masyarakat. Karena sering melakukan penarikan dengan cara paksa dan melalui kekerasan serta ancaman, yang tidak sesuai dengan standar opeasional. Sehingga timbullah putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang meyebutkan pihak leasing tidak boleh menarik atau menyita sembarangan kendaraan debitur meskipun tidak dapat menyelesaikan pembayarannya.
Pada putusan nomor 2, dikatakan Pasal 15 Ayat 2 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan demikian segala mekanisme dan prosedur penarikan harus sesuai keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.