Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Mengapa Pertamax Berisiko Ditinggalkan Setelah Ada Dugaan Oplosan

Pengguna Pertamax berpaling ke BBM RON 92 merek lain setelah ada dugaan oplosan. Pertamina dinilai perlu membuktikannya.

28 Februari 2025 | 06.00 WIB

Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis pertamax dan pertalite di SPBU Asaya, Semarang, Jawa Tengah, 27 Februari 2025. Antara/Aprillio Akbar
Perbesar
Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis pertamax dan pertalite di SPBU Asaya, Semarang, Jawa Tengah, 27 Februari 2025. Antara/Aprillio Akbar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Sejumlah pengguna Pertamax berpaling ke RON 92 merek lain setelah dugaan oplosan mencuat.

  • Pertamina membantah ada oplosan Pertamax.

  • Lembaga Bantuan Hukum Jakarta serta CELIOS membuka posko pengaduan oplosan Pertamax..

BERBEKAL video ulasan di media sosial, Danang, 32 tahun, memutuskan mengganti bahan bakar minyak (BBM) sepeda motor NMax miliknya. Sebelumnya, ia terbiasa menggunakan produk RON 92 PT Pertamina, yaitu Pertamax, tapi kini ia beralih ke Revvo 92, BBM keluaran Vivo. Sudah 1,5 bulan berlalu dan ia tak pernah menggantinya lagi. 

Pekerja swasta ini menyatakan kualitas Revvo 92 lebih baik ketimbang Pertamax. "Mesin menjadi lebih responsif," ujarnya kepada Tempo, Kamis, 27 Februari 2025. Selain itu, ia merasa bahan bakar ini lebih awet. Setiap mengisi penuh tangki sepeda motornya, volume BBM untuk perjalanan rutin dari Cibinong, Bogor, ke Palmerah, Jakarta Selatan, tanpa macet dapat habis dalam empat hari. Sementara itu, saat menggunakan Pertamax, volume BBM yang sama hanya cukup untuk tiga hari. 

Sejak menggunakan Revvo 92, ia selalu memprioritaskan pengisian BBM di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik Vivo. Kalaupun tak menemukan SPBU tersebut, pilihannya jatuh pada merek lain selain Pertamina. Apalagi setelah Kejaksaan Agung mengungkap dugaan korupsi di Pertamina, ia makin tak berminat mampir ke SPBU perusahaan pelat merah. Ia kecewa dan khawatir dugaan oplosan Pertamax benar adanya. 

Kejaksaan Agung baru saja menetapkan sembilan tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di Pertamina. Dari hasil penyidikan, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengungkapkan temuan adanya kesepakatan jahat di antara tiga direktur di subholding Pertamina. Mereka sengaja menurunkan produksi kilang seolah-olah tidak bisa menyerap produksi minyak bumi dalam negeri. Pertamina pun menolak menyerap minyak mentah dari kontraktor kontrak kerja sama. Mereka beralasan minyak mentah domestik harganya tidak ekonomis dan kualitasnya tak sesuai dengan kapasitas kilang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini menjadi alasan PT Kilang Pertamina Indonesia mengimpor minyak mentah. Itu pula yang menjadi alasan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor BBM—yang dari sisi harga lebih mahal ketimbang Pertamina mengolah minyak mentah sendiri.

Selain itu, dalam proses impor produk kilang, Pertamina Patra Niaga mengklaim membeli BBM dengan nilai oktan atau RON 92. Namun kenyataannya, produk yang mereka beli adalah BBM dengan RON 90 yang kualitasnya lebih rendah. Minyak tersebut kemudian diolah menjadi RON 92. Menurut Qohar, hal tersebut tidak diperbolehkan. 

Dugaan oplosan Pertamax menambah panjang alasan Aditya Putra, 29 tahun, tak melirik Pertamax. Pekerja swasta di Jakarta Selatan ini lebih puas menggunakan BBM dengan RON 92 merek lain. Setelah membandingkan bahan bakar tersebut dengan BBM RON 92 dari perusahaan lain, ia menjatuhkan pilihan pada produk Shell, yaitu Shell Super. “Lebih awet,” ujar pengguna sepeda motor MX-King ini.

Lebih Mahal Sedikit Bukan Masalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Dengan rata-rata jarak tempuh sepanjang 5 kilometer per hari, pengisian tangki penuh sepeda motornya dengan Shell Super bisa bertahan selama 4-5 hari. Sedangkan Pertamax bakal habis dalam periode 3-4 hari. Meski harga BBM Shell lebih tinggi daripada Pertamina, Aditya mengaku tak berkeberatan lantaran selisihnya tipis. Apalagi bahan bakar tersebut membuat mesinnya terasa lebih baik dibanding saat mengkonsumsi Pertamax. Bonus lain, menurut Aditya, Shell memiliki petugas yang ramah, tanpa antrean panjang, dan memiliki opsi pembayaran yang lebih bervariasi. 

Migrasi dari Pertamax juga dilakukan oleh Krisna, 30 tahun, pegawai swasta di Jakarta Selatan. Ia merasakan perbedaan kualitas BBM RON 92 dari perusahaan pelat merah dengan RON 92 racikan BP-AKR untuk mobil Honda WRV yang ia kendarai tiap hari. “Bensinnya bisa tahan 1-2 hari lebih lama daripada kalau mengisi di Pertamina,” tuturnya.

Harga memang menjadi pertimbangan ketika ia memutuskan meninggalkan Pertamax. Harga produk BP-AKR lebih mahal daripada Pertamax. Namun Krisna khawatir kembali ke Pertamina, terlebih setelah mendengar kabar dugaan oplosan. “Selain rugi, ada potensi merusak mesin juga,” katanya. 

Dosen Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyebutkan testimoni para pengguna Pertamax bisa jadi indikasi awal untuk memeriksa kualitas bahan bakar milik Pertamina tersebut. Terlebih ada keterangan Kejaksaan Agung mengenai indikasi oplosan bahan bakar. “Keluhan ini bisa dijadikan titik awal untuk menguji benar atau tidak,” katanya. Di tengah keraguan masyarakat, bantahan yang perusahaan sampaikan tak cukup tanpa bukti kuat. 

Fahmy menyatakan pembuktian penting dilakukan lantaran keraguan masyarakat bisa membuat pelanggan Pertamina beralih. Ada risiko penurunan pendapatan akibat situasi tersebut. Namun yang paling mengkhawatirkan adalah risiko beralihnya para pengguna Pertamax ke Pertalite yang merupakan bahan bakar subsidi. “Subsidi akan bengkak dan ini akan membebani keuangan negara.”

Pengendara tengah mengisi bahan bakar di SPBU Pertamina, Bekasi, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan


 
Pelaksana Tugas Harian Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra membantah tudingan oplosan Pertamax. Dia mengklaim BBM dengan RON 92 yang perusahaan salurkan ke masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi. Perusahaan hanya menambahkan zat aditif untuk mencegah terjadinya korosi dan karat. Tujuannya agar mesin kendaraan menjadi lebih bersih. 

Menurut Mars, BBM yang mereka dapatkan, baik dari dalam maupun luar negeri, sudah berbentuk RON 92. “Yang membedakan adalah, meskipun sudah dalam RON 90 maupun RON 92, itu sifatnya masih base fuel. Artinya, belum ada aditif,” ucapnya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia juga yakin tak ada Pertamax oplosan yang beredar. Bahan bakar yang dijual Pertamina, menurut dia, sesuai dengan spesifikasinya. Namun untuk lebih meyakinkan, dia menyiapkan tim untuk menguji produk Pertamina. “Kami akan menyusun tim dengan baik untuk memberikan kepastian agar masyarakat membeli minyak berdasarkan spesifikasi dan harganya,” ujarnya. 

Sementara itu, merespons keresahan masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta serta Center of Economic and Law Studies membuka posko pengaduan secara luring bagi masyarakat yang merasa menjadi korban Pertamax oplosan mulai Jumat, 28 Februari 2025.

“Pos pengaduan ini diperlukan untuk mendalami dan mempelajari dampak yang timbul dari kejadian ini,” kata Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan. Dengan dibukanya posko ini, dia berharap ada langkah yang dapat ditempuh untuk memulihkan hak masyarakat jika terbukti adanya perbuatan pengoplosan Pertamax.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Vindry Florentin

Vindry Florentin

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran tahun 2015 dan bergabung dengan Tempo di tahun yang sama. Kini meliput isu seputar ekonomi dan bisnis. Salah satu host siniar Jelasin Dong! di YouTube Tempodotco

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus