Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati mengatakan Pertamina hingga Juli 2022, masih mampu menghemat biaya operasional sekitar Rp 6 triliun di tengah naiknya biaya produksi bahan bakar binyak (BBM) akibat terkerek harga minyak dunia yang meninggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nicke mengatakan, penghematan anggaran ini dilakukan sebagai upaya perseroan untuk mengimbangi beban subsidi energi pemerintah yang juga terus naik akibat konsumsi BBM bersubsidi juga terus tumbuh. Terutama setelah banyaknya pelonggaran pembatasan selama pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami memahami beratnya beban subsidi Pemerintah, untuk itu Pertamina melakukan berbagai program penghematan biaya dalam rangka membantu menurunkan beban subsidi pemerintah," kata Nicke dikutip dari keterangan tertulis, Selasa, 30 Agustus 2022.
Nicke menganggap kebijakan pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat melalui subsidi BBM merupakan langkah yang tepat, sehingga berhasil mempercepat pemulihan ekonomi.
Hal tersebut salah satunya tercermin dari peningkatan konsumsi BBM untuk mobilitas masyarakat serta aktifitas usaha. Namun di sisi lain, peningkatan konsumsi BBM tersebut menyebabkan kenaikan beban subsidi Pemerintah.
Di sisi lain, dia melanjutkan, perusahaan energi juga tengah dihadapkan pada situasi yang berat akibat disrupsi mata rantai pasokan energi global sebagai dampak konflik Rusia dan Ukraina. Mobilitas perdagangan global yang menuju pemulihan pasca pandemi terhambat dengan keterbatasan pasokan yang berujung krisis energi.
Sementara itu, porsi terbesar dalam produksi BBM Pertamina adalah biaya pembelian minyak mentah yang mencapai 92 persen dari Biaya Pokok Produksi. Tapi Nicke mengatakan, investasi upgrading Kilang Minyak Pertamina yang telah dijalankan dalam 4 tahun terakhir ini, telah berhasil meningkatkan fleksibilitas minyak mentah.
Artinya, jika selama ini Kilang Pertamina hanya dapat memproses minyak mentah tertentu saja yang harganya mahal, maka mulai tahun lalu sudah mampu memproses minyak mentah dengan sulfur content lebih tinggi yang sumbernya banyak dan harganya lebih murah.
Langkah strategis Pertamina ini yang menurutnya telah berhasil secara signifikan menurunkan biaya produksi BBM. Selain itu, efisiensi energi di seluruh area operasional dari hulu ke hilir, menurut Nicke juga memberikan penghematan biaya yang signifikan, dan memberikan kontribusi pada penurunan emisi karbon.
“Terobosan pasca restrukturisasi yang juga signifikan untuk mencapai efisiensi Pertamina Group adalah sentralisasi pengadaan barang dan jasa, serta integrasi dan optimalisasi seluruh asset dari hulu ke hilir,” ucap dia.
Pertamina Group juga menurut dia telah berhasil meningkatkan pendapatan dengan melakukan export produk-produk bernilai tambah tinggi, seperti HVO (D100 berbasis kelapa sawit) dan Low Sulfur Fuel Oil. Permintaan dunia terhadap produk-produk low carbon itu kata Nicke terus meningkat.
"Dengan upgrading Kilang yang telah dilakukan, saat ini Pertamina mampu menghasilkan produk-produk tersebut, sehingga berhasil menangkap peluang yang sangat prospektif ini," ucapnya.
Dengan cara ini, Pertamina kata dia menganggap penghematan biaya bukan sekedar cutting cost, tapi mengubah operating model serta memperbaiki bisnis proses, sehingga seluruh program tetap terlaksana dan seluruh target pun tercapai, dengan biaya yang lebih rendah.
"Pertamina akan terus melakukan berbagai upaya penghematan biaya, yang sekaligus mampu menurunkan emisi karbon, sehingga mendukung transisi energi Pertamina dan Indonesia," ujar dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.