Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pilih Jadi Macan atau Kucing

Tim pemerintah dan Pertamina sengit berebut aset. Buntutnya, Presiden Megawati menunda pengesahan si Kuda Laut sebagai pesero.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bundelan itu teronggok rapi di atas meja Presiden Megawati Soekarnoputri sejak pertengahan April lalu, ketika ia belum terbang ke Eropa Timur. Namun, sampai hari keberangkatannya, 17 April berselang, Presiden sama sekali tidak menyentuhnya. Padahal isi dokumen itu sangat penting: rancangan peraturan pemerintah (RPP) mengenai pembentukan Pertamina sebagai BUMN pesero. Status Pertamina, yang pada tahun 1968 resmi sebagai perusahaan negara lalu kini berubah menjadi perseroan, memang telah lama dinanti-nanti pemerintah. Dari perusahaan yang memonopoli bisnis minyak dan gas di seluruh Indonesia, Pertamina harus bersalin rupa menjadi perusahaan biasa. Perubahan jati diri BUMN yang berlogo kuda laut ini mengacu pada Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Di situ ditegaskan bahwa monopoli Pertamina dipangkas dan pasar dibuka lebar untuk perusahaan minyak asing. Hanya, dalam rencana perubahan status Pertamina itu, masih ada yang mengganjal. Walaupun materi RPP sudah rampung dibahas, tim pemerintah dan Pertamina masih belum sepakat mengenai sejumlah aset Pertamina yang harus dilepas. Silang pendapat semakin sengit tatkala Pertamina dengan tegas menolak menyerahkan sejumlah asetnya yang dianggap strategis. Informasi tentang "pertarungan" pemerintah lawan Pertamina itu, kabarnya, sampai juga ke telinga Megawati. Sang Presiden akhirnya meminta agar tarik-menarik mengenai aset Pertamina diselesaikan lebih dulu sebelum RPP disahkan. "Presiden tidak ingin setelah diteken, peraturannya bermasalah," kata Direktur Hilir Pertamina, Muchsin Bahar, kepada TEMPO. Dalam RPP tersebut antara lain disebutkan bahwa usaha Pertamina akan difokuskan pada kegiatan inti minyak dan gas bumi. Semua anak perusahaan yang terkait dengan bisnis tersebut akan diserahkan ke Pertamina sebagai modal perusahaan. Tapi anak-anak perusahaan yang tidak terkait dengan bisnis minyak dan gas bumi harus dilepas oleh Pertamina. Selanjutnya, status anak-anak perusahaan tersebut akan ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pengambilalihan ini tentu saja membuat para pejabat Pertamina gusar, bahkan berang. Maklum, dari kacamata bisnis, sejumlah perusahaan yang harus dilepas sangat menggiurkan dan menjadi incaran banyak pihak. Sebut saja perusahaan jasa penerbangan Pelita Air Service atau Rumah Sakit Pusat Pertamina dan Hotel Patra Jasa. Memang, suasananya jadi memanas dan "perang" memperebutkan aset milik Pertamina itu pun masih terus berlangsung. Tim pemerintah yang diarahkan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral tetap bersikukuh bahwa aset yang tidak terkait dengan bisnis inti harus dilepas. Padahal RPP sebagai landasan hukum untuk tindakan itu belum disahkan, walaupun "Pembahasannya sudah final." Hal ini diutarakan oleh Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, T.A. Nurwinakun. Dalam upaya mencari terobosan, diadakanlah pertemuan untuk "mendinginkan". Hanya, walaupun sudah beberapa kali digelar, hasilnya nihil belaka. Kedua pihak bertahan pada posisi masing-masing. Pemerintah mencoba "menarik", sedangkan Pertamina tetap kuat menggenggam asetnya. Seorang pejabat pemerintah mengatakan, rebutan aset antara pemerintah dan Pertamina tidak lepas dari persiapan pemilihan umum tahun 2004. Soalnya, banyak pejabat yang berambisi untuk tampil kembali dan aset-aset Pertamina ini rupanya dianggap menawarkan peluang untuk mendapat fee. Caranya dengan mempercepat privatisasi, sehingga fee yang diperoleh juga cukup besar. Apalagi nilai aset Pertamina yang tidak terkait dengan bisnis inti mencapai Rp 6 triliun. "Kalau dijual, sudah pasti bakal banyak yang berminat," kata pejabat itu lagi. Selain mengincar aset, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) juga membidik proyek pengembangan train I di kilang Badak, Bontang, Kalimantan Timur. Proyek senilai US$ 600 juta (Rp 5,4 triliun dengan kurs Rp 9.000) itu, menurut rencana, akan dibiayai oleh investor dari Cina yang berkongsi dengan pengusaha pemilik Grup Raja Garuda Mas, Sukanto Tanoto. Seiring dengan itu, BP Migas—yang sebenarnya hanya berwenang merumuskan kebijakan di sektor minyak dan gas—juga mengincar kilang gas alam cair (liquified natural gas) di Badak dan Arun, Aceh. Jika benar badan itu meminta agar aset mahal tersebut diserahkan kepadanya dari tangan Pertamina, memang terkesan ada yang mencurigakan di baliknya. Namun, benarkah orang-orang BP berusaha menyerobot aset Pertamina? Wakil Kepala BP Migas, Kardaya Warnika, menjelaskan bahwa pihaknya bukan ingin memiliki aset-aset tersebut. "Melainkan hanya ingin melakukan tugas administrasi atas aset-aset negara yang sebelumnya dikelola Pertamina," ujarnya. Alasannya, semua aset yang terkait dengan kegiatan hulu bukanlah milik Pertamina. Apalagi pembiayaan proyek tersebut sebagian berasal dari kocek pemerintah. Karena itu, aset-aset tersebut harus diserahkan ke pemerintah atau BP Migas. Cuma, seperti sudah disebut di atas, status BP Migas sebagai badan hukum tidak membolehkan lembaga ini terlibat dan mengelola aset bisnis. Karena itu banyak yang merasa janggal bila BP Migas menyibukkan diri mengurus aset Pertamina. Jangan-jangan, demikian orang jadi curiga, tindakan itu erat kaitannya dengan kepentingan para kontraktor asing, yang selama ini malang-melintang di persada negeri ini, baik untuk mencari sumber migas maupun untuk mengeksplorasinya. Tapi Kardaya menolak tuduhan tersebut. Katanya, ia justru ingin agar Pertamina bisa berkompetisi secara sehat. "Kalau semuanya punya Pertamina, bukan kompetisi lagi," tutur mantan pejabat sementara Dirjen Migas ini. Direktur Hilir Pertamina, Muchsin Bahar, sebaliknya memastikan bahwa pihaknya tidak keberatan bila aset-aset yang nonbisnis inti dilepas. "Asalkan aturannya jelas," ujarnya. Yang membuatnya gusar, anak-anak perusahaan tersebut akan dijual dan hasilnya masuk kas negara. Menurut Muchsin, seharusnya, jika anak perusahaan dijual, pendapatannya masuk kas Pertamina. Dalam kata lain, uang hasil penjualan aset itu dijadikan modal penyertaan. Dengan demikian, perusahaan minyak pelat merah ini bisa memiliki struktur modal yang kuat. Bagaimana kalau pemerintah mengambil aset itu secara paksa? "Pertamina nggak mau. Masa, kami yang membuat tapi nggak dapat apa-apa. Ini nggak benar," ujar Muchsin. Ditegaskannya, cara itu hanya akan membuat Pertamina kerdil dibandingkan dengan raksasa minyak asing. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, rupanya enggan berkomentar perihal rebutan aset tersebut. "Tanya BP Migas saja," ujarnya saat ditanya untung-rugi jika pemerintah mengelola aset milik Pertamina. Padahal, sebagai menteri teknis, dia bertanggung jawab atas perubahan status Pertamina. Sejauh ini Pertamina tampaknya bertekad bulat untuk mempertahankan asetnya. "Kami tidak akan menyerahkan sebelum jelas kriteria pengambilalihan aset oleh pemerintah," ujar Muchsin, tegas. Dia menghendaki agar mekanisme pengambilalihan itu ditentukan oleh pemerintah. Menurut Muchsin, kalau pemerintah tetap memaksa, pihaknya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya diingatkannya, tanpa modal yang kuat, kelak Pertamina hanya menjadi perusahaan kelas teri. "Pertamina maunya jadi macan, tapi kalau pemerintah menginginkan jadi kucing, ya mau apa lagi," demikian Muchsin, pasrah. Ali Nur Yasin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus