Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden terpilih Prabowo Subianto dikabarkan akan membentuk sejumlah kementerian dengan nomenklatur baru di kabinetnya mendatang. Salah satu kementerian anyar itu yakni Kementerian Koperasi, yang merupakan pemecahan dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM). Sedangkan untuk menangani usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), Prabowo dikabarkan juga akan membentuk kementerian sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, menilai meski pemisahan ini kental didorong alasan politik, dia berharap pembentukan Kementerian Koperasi akan mampu memperkuat arus masuknya koperasi dalam rantai pasok industri. Jika diberi kesempatan dan dukungan yang memadai, Yusuf meyakini koperasi akan mampu menjadi pemain penting dalam pembangunan nasional. "Yang kita butuhkan hanyalah dukungan politik yang riil dari pembuat kebijakan tertinggi di negeri ini,” katanya saat dihubungi Tempo, Senin, 14 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan adanya Kementerian Koperasi, Yusuf berharap pemerintah akan memberi kesempatan kepada koperasi untuk tumbuh dan berkembang. Menurut dia, sektor ekonomi pertama dan utama yang seharusnya diserahkan kepada koperasi adalah pertanian dan peternakan.
Seluruh bidang usaha hilirisasi pertanian, terutama beras, Yusuf mengatakan, seharusnya diserahkan kepada koperasi, mulai dari pabrik pupuk hingga penggilingan beras skala besar. Sedangkan sektor peternakan kini justru dikuasai korporasi terintegrasi, terutama di peternakan unggas, dari hulu hingga hilir. “Selayaknya hanya koperasi yang diberikan hak eksklusif untuk menguasai dan mengelola hilirisasi pertanian dan peternakan,” kata Yusuf.
Ihwal anggaran, Yusuf menilai keberadaan Kementrian Koperasi tak membutuhkan banyak dukungan anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab, hal yang dibutuhkan untuk membesarkan koperasi adalah keberpihakan, bukan semata anggaran.
Yusuf bercerita, pada 1950-an koperasi tercatat pernah mampu menjadi investor dan terlibat penuh dalam industrialisasi. Hal ini disebabkan adanya kebijakan afirmatif yang pro-koperasi. “Nyaris tanpa dukungan anggaran dari APBN, katanya.
Sebagai contoh, pemerintah waktu itu memberikan lisensi impor tunggal kain mori, bahan baku batik, kepada Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Kebijakan ini kemudian telah membuka jalan bagi GKBI untuk mengakumulasi kapital dan mampu mendirikan pabrik kain mori sendiri. “Koperasi mampu menjadi investor dan pemain penting dalam Industrialisasi ketika mendapat dukungan yang memadai,” kata Yusuf.