Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Prediksi Ekonomi Bank Dunia Tahun Ini

Pertumbuhan ekonomi global kian pesat. Tapi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dihantui inflasi dan lesunya ekspor. 

11 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global naik signifikan.

  • Pemulihan ekonomi Cina belum berdampak pada Indonesia.

  • Penurunan harga komoditas bakal menurunkan ekspor dan cadangan devisa.

KONDISI ekonomi global tahun ini bakal lebih baik ketimbang perkiraan sebelumnya. Itulah kesimpulan Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospects (GEP) edisi Juni 2023 yang terbit pekan lalu. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan mencapai 2,1 persen tahun ini, ada kenaikan cukup besar ketimbang perkiraan 1,7 persen yang terbit pada Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika kita yakin pada akurasi prediksi Bank Dunia, kabar ini jelas melegakan. Dalam GEP Juni, Bank Dunia mengeluarkan prediksi yang sedikit lebih baik untuk ekonomi negara maju. Secara total, ekonomi negara-negara maju akan menikmati pertumbuhan 0,7 persen pada 2023, lebih baik ketimbang perkiraan 0,5 persen dalam GEP Januari. Perbaikan terjadi karena kinerja ekonomi negara maju ternyata masih dinamis, kendati suku bunga sudah naik tinggi di sana. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasar tenaga kerja yang masih sangat ketat merupakan indikator bahwa pertumbuhan ekonomi masih persisten melawan rem kenaikan suku bunga. Sedangkan untuk ekonomi negara berkembang, revisi perkiraan Bank Dunia malah lebih tinggi, naik dari 3,4 persen menjadi 4 persen. Faktor pendorong utama pertumbuhan negara berkembang tahun ini adalah efek pemulihan ekonomi Cina, yang sudah bebas dari belenggu pandemi.

Cuma, ada kabar kurang baik bagi Indonesia. Biasanya, pertumbuhan pesat di Cina ikut mengerek ekonomi Indonesia. Namun kali ini situasi mulai berubah. Pemulihan ekonomi Cina tidak akan serta-merta menarik pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti biasanya. Sebab, kendati ekonomi Cina menggeliat, harga berbagai komoditas ekspor Indonesia malah sedang dalam tren menurun. Belum ada pertanda pemulihan ekonomi di Cina mampu membalik tren penurunan ini. 

Jika kecenderungan ini terus berlangsung hingga akhir tahun, penerimaan ekspor Indonesia bisa menurun, otomatis pertumbuhan ekonomi ikut melambat. Hal itu tecermin pada prediksi Bank Dunia untuk Indonesia. Untuk negara berkembang, secara keseluruhan ada kenaikan prediksi pertumbuhan sebesar 0,6 persen. Tapi, bagi Indonesia, Bank Dunia hanya menaikkan prediksi pertumbuhan 0,1 persen, dari 4,8 persen menjadi 4,9 persen.

Sebagai perbandingan, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia per akhir kuartal I 2023 sudah mencapai 5,03 persen. Dus, jika prediksi Bank Dunia akurat, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru akan sedikit melambat di akhir tahun ini. Kesimpulannya, ekonomi Indonesia belum seratus persen aman. Masih ada beberapa risiko besar yang mengintai dari luar sana. Salah satunya inflasi yang masih membandel di banyak negara maju, masih jauh di atas target otoritas moneter masing-masing.

Bandelnya inflasi membuat investor tak bisa berharap ada penurunan bunga besar-besaran dalam waktu dekat. Bunga yang enggan turun—bahkan bank sentral Kanada masih menaikkan bunga pekan lalu—menunjukkan likuiditas global belum segera melonggar dan bahkan kian ketat. Jika tekanan inflasi-likuiditas ini tak juga mengendur, segala prediksi pertumbuhan yang lebih baik itu mungkin akan berantakan.

Di Indonesia, sinyal ketatnya likuiditas di pasar keuangan global tampak pada penurunan cadangan devisa secara cukup signifikan. Hanya dalam sebulan, selama Mei 2023, terjadi penurunan cadangan devisa senilai US$ 4,9 miliar, menjadi US$ 139,3 miliar. Ini posisi cadangan devisa terendah sejak akhir tahun lalu. Menurut Bank Indonesia, penurunan cadangan devisa itu terjadi karena beberapa sebab. Selain devisa yang keluar untuk membayar utang pemerintah, ada permintaan likuiditas devisa yang cukup besar dari perbankan untuk mendukung kebutuhan korporasi.

Namun penurunan cadangan devisa itu belum memicu alarm bahaya. Pasar masih melihatnya sebagai dinamika pasokan dan permintaan yang wajar. Itu sebabnya kurs rupiah relatif tetap stabil tak banyak bergerak di kisaran 14.800 per dolar Amerika Serikat. Di tengah gejolak ekonomi global, stabilitas ini sungguh menenangkan. Kalau toh pertumbuhan ekonomi bakal sedikit lebih lambat, itu tak terelakkan dan bukan mara bahaya yang menakutkan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tertekan Inflasi dan Likuiditas Ketat"

Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus