Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Konglomerat merupakan perusahaan besar dengan banyak anak perusahaan. Anak perusahaan ini berasal dari merger antara berbagai perusahaan yang menghasilkan berbagai produk yang berbeda-beda dan tidak ada kaitannya. Istilah ini mulai dikenal umum pada era Orde Baru untuk menggambarkan kekayaan seseorang pengusaha kelas kakap.
Konglomerat Orde Baru
Sampai dasawarsa 1980-an ada empat tokoh bisnis yang menguasai secara bersama sektor swasta di Indonesia. Tokoh bisnis ini dinilai dekat dengan Soeharto. Berikut sebagian konglomerat era Orde Baru:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Liem Sioe Liong
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Liem Sioe Liong merupakan konglomerat etnis Tionghoa. Dia adalah teman terdekat Soeharto. Berkat hubungan baik itu, Liem berhasil meraup keuntungan besar sejak 1966 untuk modal konglomerasinya. Setelah Soeharto merebut kekuasaan pada 1966, Liem Sioe Liong ikut naik daun. Dia menikmati akses khusus ke Istana Kepresidenan.
Liem Sioe Liong melarikan diri ke Singapura saat kerusuhan Mei 1998. Kala itu terjadi perusakan rumah, bank, dan aset milik pengusaha, terutama dari kalangan Tionghoa. Kendati begitu, bank miliknya, Bank Central Asia atau BCA yang menjadi korban dalam keruntuhan finansial, usaha-usaha manufaktur dan eceran kelompok usahanya tetap bertahan.
Liem Sioe Liong meninggal pada 2012 di usia 96 tahun . Konglomerasinya dilanjutkan anaknya, Anthony Salim. Salim memindahkan kelompok usahanya, Indofood, ke Singapura. Sedangkan di dalam negeri, Salim mengembangkan ribuan Indomaret di seluruh pelosok. Selain itu ada juga perkebunan kelapa sawit dan perusahaan properti.
2. Bob Hasan
The Kian Seng atau dikenal dengan Bob Hasan adalah Konglomerat etnis Tionghoa yang lahir di Semarang. Ia berganti nama menjadi Bob Hasan setelah memeluk Islam. Bob Hasan sendiri merupakan anak angkat Gatot Subroto, sesepuh Soeharto di TNI Angkatan Darat. Bukan hanya memimpin kelompok usaha Kalimanis dan Nusamba, Bob Hasan juga mengelola pendanaan terkait beberapa yayasan keluarga Soeharto.
Bob Hasan sempat sebentar menjadi Menteri Perdagangan pada 1998. Perkembangan kelompok usaha Kalimanis dan kekuatannya sebagai Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) mencerminkan ketatnya pengendaliannya terhadap industri perkayuan dan pengolahan kayu lapis. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Meski dekat dengan Soeharto, Bob Hasan diperlakukan seakan-akan sebagai koruptor tunggal dalam kepentingan seluruh keluarga Soeharto. Gara-gara itu, dia pernah meringkuk di penjara dari 2001 hingga 2004. Akibatnya, pamor kelompok usaha Kalimanis semakin merosot, aset perusahaan dan sumber daya ekonomi dari konglomerasi Nusamba telah dibagikan kepada anak-anak Soeharto.
3. Probosutedjo
Konglomerat era Orba yang dekat dengan Soeharto tidak lain adalah adik tirinya sendiri, Probosutedjo. Probosutedjo yang lahir pada 1930 dan meninggal pada Maret 2018, mengendalikan kelompok usaha Mercu Buana. Kelompok usaha ini dapat berkembang pesat berkat akses kekuasaan. Probosutedjo memperoleh kemudahan izin impor, terutama dalam hak monopoli perdagangan cengkeh bersama Tommy Soeharto atau Hutomo Mandala Putra.
Kelompok usaha Probosutejo itu berekspansi ke produk kimia, kaca, mobil mewah (Renault), properti, dan pendidikan (Universitas Mercu Buana). Sama seperti Bob Hasan, Probosutedjo divonis bersalah atas tindak pidana korupsi pada 2003. Dia dipenjara selama empat tahun.
4. Sudwikatmono
Konglomerat lainnya, yang juga kerabat Soeharto adalah Sudwikatmono. Dia asala sepupu Soeharto. Sudwikatmono lahir pada 1934 dan meninggal di Singapura pada 2011. Portofolio sahamnya tak lebih dari 5 persen di kelompok usaha Salim. Tapi dia menjabat posisi presiden direktur di beberapa anak perusahaan Liem Sioe Liong itu. Di antaranya Indocement, PT Bogasari Flour Mills, yang memiliki hak monopoli impor tepung terigu. Serta, Waringin Kencana yang bergerak dibidang agribisnis.
Sudwikatmono turut mengembangkan kelompok usahanya sendiri. Satu di antaranya jaringan bisnis bioskop Studio 21. Harta kekayaannya merosot termasuk gara-gara pengalihan kepemilikan Studio 21 pada 1999 karena kebangkrutan Bank Surya. Namun usahanya dapat bangkit kembali setelah terfokus pada perkembangan Indika Energy, perusahaan yang dipimpin anaknya, Agus Lasmono.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.