Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sebuah Pundi-Pundi Bernama Dana Reboisasi

Dana reboisasi telah lama menjadi ajang korupsi dan manipulasi. Belum jelas, seberapa besar dana itu tersisa dan bagaimana nasib tunggakannya.

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


GAGASAN untuk mewujudkan sebuah pundi-pundi besar—yang kemudian dinamai dana reboisasi—untuk membiayai pelestarian hutan berawal dari Konferensi Kehutanan Sedunia di Jakarta, tahun 1978. Niat yang menggerakkan gagasan itu pada mulanya sungguh luhur: menyeimbangkan bisnis kayu dan kelestarian hutan. Selang dua tahun, tepatnya pada 1980, terbentuklah dana jaminan reboisasi hutan yang sembilan tahun kemudian berganti nama menjadi dana reboisasi (DR).

Dana itu dipungut dari tiap meter kubik kayu yang ditebang dari hutan Indonesia, dan dikelola oleh sebuah yayasan kehutanan. Sesuai dengan namanya, DR sepenuhnya dipakai untuk penghijauan dan reboisasi. Dulu, pungutan DR per meter kubik cuma $ 7, lalu naik $ 10, dan terakhir rata-rata US$ 16. Dari jumlah kayu yang boleh ditebang, sekitar 64 juta meter kubik per tahun, para pengusaha hutan diperkirakan menyetor hampir Rp 900 miliar ke kas DR, di luar kayu yang ditebang tanpa izin.

Tahun ini industri pengolahan kayu turun produksinya, dan jumlah pabrik turun sekitar 5 persen, tapi penerimaan DR diproyeksikan Rp 1,69 triliun atau naik 113 persen dari tahun lalu. Tahun lalu, bobot pundi-pundi DR di rekening dana penghijauan itu berjumlah Rp 7,8 triliun. Uang sebesar itu disimpan di berbagai bank dalam bentuk deposito, giro bank, atau on-call budget yang siap dipakai setiap saat. Bahkan ada pula yang dikonversikan dalam sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Mantan presiden Soeharto, yang mengetahui persis jumlah DR, ikut tergoda untuk memanfaatkannya bagi hal-hal lain di luar pelestarian hutan. Tanpa minta permisi ke DPR, ia pun mengesahkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 28 Tahun 1990, yang isinya melimpahkan wewenang kepada dirinya sendiri untuk menggunakan DR. Akibatnya, Departemen Kehutanan cuma jadi rumah singgah. Ke mana pun dana itu diminta keppres, ia mesti disalurkan. Belakangan, secarik surat dari Sekretariat Negara sudah cukup berwibawa untuk mengucurkannya.

Pada 1992, untuk pertama kalinya DR dikeluarkan sebanyak Rp 80 miliar bagi perusahaan pupuk tablet milik Ari Sigit, cucu Soeharto. Nama perusahaan itu PT Ario Seto Wijoyo, yang berkat sepucuk surat dari Sekretariat Negara segera bisa mengantongi puluhan miliar rupiah dalam sekejap. Ditengarai, uang itu dipakai sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit dari beberapa bank.

Menurut mantan Menteri Kehutanan, Muslimin Nasution, dana itu kemudian bisa ditarik kembali. Setelah yang pertama lolos, giliran Soeharto mengambil bunga DR sebesar Rp 527,2 miliar untuk pengembangan lahan padi sejuta hektare di Kalimantan Tengah. Konsorsium SEA Games 1998 juga diberi pinjaman Rp 35 miliar, dan sampai hari ini pun tak ada yang mengaku bertanggung jawab. Apalagi konsorsium itu sudah lama bubar. Untuk pabrik IPTN kebanggaan Soeharto bersama Habibie, dikucurkan DR Rp 400 miliar lewat Keppres No. 63/1996, yang akhirnya menjadi penyertaan modal pemerintah (PMP).

Selanjutnya, pada 1995, sekali lagi IPTN lewat PT Dua Satu Tiga Puluh mendapat Rp 23 miliar ketika pemerintah membeli sahamnya. Hingga tahun 1998, tak kurang dari sebelas keppres dan surat dari Sekretariat Negara yang membuat DR bisa mengucur deras di luar urusan kehutanan. Penyalahgunaan itu diperkirakan mencapai Rp 1,6 triliun.

Yang tak masuk akal ialah, DR juga dinikmati perusahaan asing nun jauh di Hong Kong, seperti Pacific Association, dalam kasus pengerukan Sungai Mahakam di Kalimatan Timur. Ceritanya, sungai itu perlu dikeruk untuk memperlancar transportasi kayu dari hulu Mahakam. Pada mulanya biaya pengerukan cuma Rp 10 miliar setahun—ini ketika dikerjakan oleh perusahaan lokal PT Rukindo. Tapi, entah dengan cara apa, Pacific Association, yang meminta rata-rata Rp 111 miliar, malah lolos.

Cerita di balik keberuntungan Pacific Association itu terpaksa mundur ke tahun 1972. Saat itu Pacific mengajukan klaim pembayaran terakhir tahun 1975, tapi pemerintah Indonesia minta itu ditangguhkan. Seolah ditelan bumi, peristiwa itu baru muncul lagi tahun 1997, ketika Pacific menagih kembali sisa pembayarannya. Kali ini bukan Departemen Perhubungan sebagai pemilik tender yang memutuskan, melainkan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Menurut surat rahasia Menteri Sekretaris Negara kepada Menteri Kehutanan, konon Soeharto memberi petunjuk agar dibayar dengan dana reboisasi melalui Sekretariat Negara.

Akhirnya dibayarlah kontrak senilai Rp 37,2 miliar itu, dan Rp 27 miliar di antaranya berasal dari bunga DR. Dari semua debitor, cuma Haryono Suyono—kala itu Menteri Kependudukan dan Kepala BKKBN—yang melunasi pinjamannya senilai Rp 100 miliar, September 1998. Menurut perhitungan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, sampai tahun ini tunggakan DR di semua perusahaan kehutanan dan HTI mencapai Rp 63,6 miliar.

Meskipun sekarang dana reboisasi masuk rekening negara di Departemen Keuangan dan sudah masuk dalam APBN, masalahnya belum tuntas. Selama 1994-1999, misalnya, jumlah DR yang tak terpungut mencapai Rp 11,6 triliun, yakni total pungutan atas 210,4 juta meter kubik kayu, berupa selisih antara produksi kayu yang ditebang dan yang dilaporkan. Hingga hari ini pun pemerintah tak mau menjelaskan berapa sebenarnya jumlah DR dan tunggakannya. Anggota DPR Komisi III yang membidangi kehutanan, Slamet Effendi Yusuf, juga mengaku komisinya tak tahu berapa DR yang ada di rekening pemerintah. Perkiraan Menteri Kehutanan dan Perkebunan sekitar Rp 7,8 triliun, tapi ada yang menyatakan Rp 25 triliun-Rp 28 triliun. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan bulan Januari 2000 mencantumkan Rp 60,5 triliun.

Bunga deposito DR sebelum tahun 1989, yang berjumlah Rp 180,7 miliar dan dipakai Yayasan Sarana Wana Jaya, pengelola DR, juga tak jelas juntrungannya. Memang sulit menelisik benang yang kusut-masai, apalagi buat sebagian pengusaha yang merasa lebih enak membeli kayu gelap tanpa iuran ketimbang membayar sedikit lebih untuk pelestarian sumber mata pencahariannya.

I G.G. Maha Adi, Endah W.S., Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus