Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMASUKI pekan kedua, optimisme tim pemerintah Indonesia menghadapi tim perunding IMF agaknya mulai goyah. Perkembangan menjelang akhir pekan silam tampaknya benar-benar sangat tidak menjanjikan. Sinyalemen bahwa tidak akan ada syarat tambahan ternyata bukan berarti ada keringanan dan kelonggaran. Soalnya, kendati syarat tambahan tidak disebut-sebut, keharusan untuk merevisi APBN 2001 sebelum penandatanganan letter of intent (LoI) tentu bisa dikategorikan sebagai syarat mutlak. Jelas, syarat mutlak ini lebih berbobot ketimbang syarat tambahan.
Sikap ketat tim perunding IMF yang dipimpin Anoop Singh itu terkait erat dengan defisit APBN, yang diperkirakan bisa mencapai 5,5 persen dari produk domestik bruto (PDB), padahal IMF menghendaki rentang defisit 3,7 persen-4,2 persen dari PDB. Di luar itu, kinerja kepemimpinan nasional dan situasi politik yang mencekam tentu ikut mempengaruhi. Dan kejatuhan kurs rupiahJumat lalu anjlok mendekati Rp 12 ribu per dolar AStelah dengan telak memosisikan tim perunding pemerintah di ujung tanduk. Kalau revisi tak dilakukan, pinjaman US$ 400 juta pun kontan tak dikucurkan. Sesudah itu, bukan mustahil perekonomian negeri ini harus menghadapi situasi yang jauh lebih buruk lagi.
Benarkah IMF tak bisa dilunakkan? "Kami sepakat, masalah defisit anggaran itu yang terpenting," kata Anoop Singh, yang juga menjabat Direktur IMF untuk Asia-Pasifik. Dan ia konsisten karena hal yang sama juga dikemukakan IMF kepada pimpinan DPR, pekan silam. Kenyataan bahwa defisit APBN itu sudah membengkak hingga 5,5 persen dari PDB telah menjadi kendala yang tak bisa dinafikan begitu saja. Kerisauan tim IMF bisa dipahami, terutama karena struktur anggaran yang timpang lantaran banyak mengandalkan devisa minyak dan gas di sektor penerimaan, dan besarnya beban utang luar negeri di sisi pengeluaran. Kedua sektor itu menggunakan denominasi dolar, yang rentan terhadap gonjang-ganjing nilai tukar.
Harus diakui, kejatuhan nilai rupiah ke Rp 12 ribu per dolar AS membuat posisi tawar pemerintah jadi semakin memprihatinkan. Melemahnya rupiah membuat bank sentral terus menaikkan suku bunga untuk menghadang inflasi. Kini, suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) telah mencapai 15,9 persen, atau 4,5 persen lebih tinggi ketimbang patokan dalam APBN, yang cuma 11,5 persen. Gara-gara kenaikan SBI, beban pemerintah untuk membayar bunga obligasi rekap kian melonjak. Sebagaimana diketahui, dengan kenaikan satu persen saja, beban pemerintah bertambah hingga Rp 3 triliun. Bila lonjakannya sampai 4,5 persen, berarti kewajiban pemerintah mencapai Rp 13,5 triliun.
Yang juga perlu dicatat adalah posisi politik pemerintah yang kini sedang terdesak. Pemerintah tampaknya tak punya kekuatan untuk menerapkan kebijakan yang bisa mempersempit defisit anggaran. Padahal itu bisa dilakukan, misalnya dengan mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan menerapkan pajak penjualan (PPn) barang pertanian atau menggelar PPn di Pulau Batam. Dengan cara-cara itu, pemerintah bisa menekan pengeluaran sekaligus menggali pendapatan dalam jumlah yang signifikan. Apa boleh buat, karena secara politis lemah, pemerintah tak berani melaksanakannya. Situasi itu membuat Indonesia, di mata pengamat ekonomi Sri Mulyani, berada dalam posisi tersandera.
Dan IMF mengerti betul akan posisi lawan berundingnya yang sedang terpojok. Mereka sudah meminta pemerintah mengkaji ulang penerapan dana perimbangan keuangan daerah (PKD)misalnya menyangkut pajak yang diserahkan ke daerah, dan penggunaan dana alokasi umum (DAU). Padahal, risikonya sungguh besar. Di mata anggota DPR Rizal Djalil, dana tersebut sangat berarti bagi daerah dan menjadi simbol desentralisasi. "Kalau ditarik kembali, akan menimbulkan kekacauan," ia mengingatkan.
Namun, pemerintah tak punya pilihan. Melalui perundingan alot, akhirnya disepakati lima langkah untuk mengatasi defisit anggaran. Masing-masing adalah menggenjot penerimaan dari pajak penghasilan, yang diharapkan mendatangkan tambahan duit Rp 20 triliun-Rp 30 triliun. Langkah ini, menurut Penasihat Menteri Koordinator Perekonomian, sekaligus dimaksud untuk memperbaiki struktur penerimaan yang terlalu timpang.
Selanjutnya, dari kelebihan dana untuk desentralisasi fiskal yang ditarik kembali, diperkirakan bisa dihemat Rp 10 triliun-Rp 15 triliun. Kemudian, dari dua tahap pengurangan subsidi BBM, diharapkan penghematan Rp 5 triliun. Sementara itu, dari belanja pembangunan, diharapkan ada penghematan Rp 10 triliun lantaran turunnya nilai dana pendamping (local finance) menjadi hanya 15-20 persen dari semula 40 persen. Bank Pembangunan Asia (ADB), misalnya, telah menyetujui penurunan dana pendamping menjadi 20 persen, sedangkan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menurunkannya hingga 15 persen.
Langkah lain adalah menggenjot penerimaan dari penjualan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan swastanisasi badan usaha milik negara (BUMN), yang targetnya semula hanya Rp 33,5 triliun. Untuk itu, pemerintah bertekad mempercepat restrukturisasi utang perusahaan di BPPN dan memperbaiki kinerja BUMN. Tapi belum jelas bagaimana dan dengan cara apa percepatan proses itu akan dilakukan. Dulu, semasa Cacuk Sudarijanto menjadi Kepala BPPN, ada konsep untuk memprioritaskan restrukturisasi utang perusahaan yang menciptakan lapangan kerja, mendorong ekspor, dan berada di daerah yang rawan konflik.
Contoh yang sering dikemukakan untuk proyek itu adalah jalan tol lingkar luar Jakarta (Jakarta outer ring road-JORR). Namun, kini tak pula jelas bagaimana pelaksanaan konsep itu. Yang terjadi kini, BPPN justru terbelit dalam berbagai "kegelapan". Sebut saja, misalnya, soal penyerahan aset berkaitan dengan penerbitan obligasi pemerintah, yang ternyata kekurangan dana sebesar Rp 132,6 triliun. Juga berembusnya cerita tentang pelbagai perlakuan pilih kasih dan tidak adil terhadap para debitor.
Tak mengherankan bila IMF ikut menggedor agen penyehatan perbankan itu dan meminta mereka menyiapkan rencana strategis yang menjamin transparansi dan perlakuan yang tidak diskriminatif. Untuk mendorong penjualan aset, IMF meminta agar BPPN tidak membentuk perusahaan baru (newco). Selain itu, BPPN harus menjual semua utang yang belum direstrukturisasi ataupun bank yang berada di bawahnya.
Selain berbagai gebrakan pemerintah, stabilisasi makro mestinya juga menyentuh persoalan moneter. Nah, di sini ada masalah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah dan BI selama ini tak pernah akur. Lebih dari sekali Presiden Abdurrahman Wahid melontarkan keinginannya untuk mengganti Gubernur BI Syahril Sabirin. Karena itu, wajar saja bila kedua penentu kebijakan fiskal dan moneter itu sulit bekerja sama. Menghadapi kejatuhan nilai tukar, BI, misalnya, terus memantau dengan jurus menaikkan suku bunga. Padahal tindakan ini bisa jadi bumerang bagi pemerintah karena kewajiban mereka membayar bunga obligasi rekap kian bertambah. Dan itu berakibat sektor riil kembali megap-megap.
Seorang pejabat pemerintah mengaku, ia sudah berkali-kali meminta BI agar tidak lagi mengambil langkah itu. Memang, rendahnya suku bunga akan membuat inflasi meningkat. Tapi kerugiannya masih lebih kecil ketimbang bertambahnya kewajiban pemerintah dan mengeringnya likuiditas di masyarakat. Si pejabat mengaku bahwa ia sudah meminta agar dilakukan intervensi saja untuk mengendalikan nilai tukar. Namun, permintaannya tak digubris. Bahkan, untuk meminta intervensi sebesar US$ 30 juta saja, "Pemerintah terpaksa harus menyembah-nyembah," katanya.
Namun, bank sentral juga punya argumen. Melemahnya nilai tukar, menurut Syahril Sabirin, merupakan akibat ketidakstabilan politik dan perundingan yang bertele-tele dengan IMF. Tapi, bila BI melakukan intervensi atau menaikkan suku bunga, semata karena itulah senjata yang mereka miliki untuk menjaga nilai tukar. Nah, bila ingin rupiah kembali menguat, Syahril menyarankan agar pemerintah segera menciptakan kestabilan politik dan mencapai kesepakatan dengan IMF.
Dalam posisi yang serba tidak menguntungkan itu, ternyata Rizal bersikap semakin realistis. Selain mengatur taktik untuk menambal defisit anggaran, pemerintah menurut dia juga telah setuju untuk melakukan revisi APBN. Ia bahkan telah mengantongi tanggal perundingan untuk merevisi anggaran bersama DPR, yaitu 25 April 2001. Jajaran ekonomi, menurut sumber TEMPO, merasakan beratnya limbah politik yang harus mereka tanggung. "Kami ini ibaratnya (maaf) dapat kerjaan menceboki terus," keluh sumber itu.
Sikap itu, menurut ekonom Sri Mulyani, sudah semestinya ditempuh pemerintah. "Tim perunding pemerintah jangan hanya mau berpolemik saja," katanya. Sejauh yang menyangkut IMF, Ani, demikian ia biasa disapa, menyatakan seharusnya pemerintah menyiapkan konsep, juga mengetahui masalah dan cara mengatasinya.
Tapi, di mata Ani, pemerintah cuma sibuk mengurusi retorika, sementara substansi masalahnya tak dipegang. Akibatnya, ekonomi menjadi kacau. "Bukankah dengan begini kita malah jadi bulan-bulanan," ia menyesalkan. Alhasil, sikap pemerintah menurut dia sudah agak terlambat. "Kalau diperhatikan, selama enam bulan ini pemerintah malah buang-buang waktu saja," ujarnya. Ini berarti ada kelalaian yang serius, sehingga menelantarkan penyelamatan ekonomi dan menomorduakan nasib rakyat jelata. Tak aneh jika sikap IMF semakin ketat saja.
Nugroho Dewanto, Rommy Fibri, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo