Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika Pak Harto seorang yang berhak menentukan pengucuran DR, para konglomerat hutan berpesta-pora. Caranya, memainkan kartu nepotisme dan kolusi seperti yang diduga mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Soeripto.
Di bawah Menteri Kehutanan Muslimin Nasution, di tahun 1999, laporan investigasi dugaan KKN sudah diselesaikan. Menurut laporan itu, PT Musi Hutan Persada (MHP), yang dimiliki Prajogo Pangestu, telah menyelewengkan DR sebesar Rp 346,7 miliar. Modusnya adalah mendepositokan dulu dana yang diterimanya, sedangkan perusahaan hutan tanaman industri (HTI) itu tak segera menanam. Jadi, mereka meraup laba dari bunga bank yang ada, yang sebenarnya dilarang pemerintah. Perusahaan kayu di Sumatra Selatan itu menerima pinjaman pada 1992, tetapi mengakui baru menanam pada 1995 di lahan seluas 193,5 ribu hektare. Alasan lain, karena krisis ekonomi, pabrik pulp PT Tanjung Enim Lestari, yang mengolah kayu Accasia mangium, terlambat dibangun. Alhasil, tak ada produksi dan tunggakan pun tak bisa dilunasi.
Yang mengherankan, Inhutani I dengan saham 40 persen di MHP seolah tutup kuping dengan kesulitan itu. "Mereka diam saja sehingga kami yang harus mencari investor," kata Prajogo. Bahkan Soeripto mengumpulkan kasus penyelewengan di Grup Barito Pacific itu, antara lain berupa dua kali pinjaman DR lewat kolusi dengan Soeharto. Mestinya, pinjaman untuk HTI cukup dicairkan dengan permohonan langsung kepada bank bersangkutan atas izin Dephutbun. Tapi, Jun Phenpanggilan akrab Prajogomalah menyodorkan surat sakti sang Presiden. Sampai Januari lalu, pinjaman DR oleh perusahaan Prajogo tercatat Rp 182,16 miliar dengan bunga 15 persen, dan telah jatuh tempo.
Pengusaha lain yang dikalungi status tersangka adalah Probosutedjoadik Soehartolewat bendera PT Menara Hutan Buana (MHB) di Kalimantan Selatan. Probo dituduh menggelembungkan DR. Menurut data kehutanan, dari rencana penanaman 71 ribu hektare yang diajukan perusahaan itu, ternyata baru 41 ribu hektare yang ditanami. Sedangkan menurut pemetaan yang dilakukan Bakosurtanal, luas total yang ditanami tak lebih dari 45 ribu hektare. Jadi, terdapat kelebihan uang DR sebesar Rp 49 miliar dari total DR yang Rp 144,4 miliar.
Probo, lewat pengacaranya, membantah perhitungan Dephutbun ini. Menurut dia, lahan yang ditanami MHB sudah sesuai dengan rencana. Tapi, berbekal kesahihan data dari Bakosurtanal, Kejaksaan Agung tetap menjatuhkan status tersangka kepada Probo. Laporan tim Dephutbun juga menyebut PT Fendi Hutani Lestari di Nusatenggara Timur, yang dimiliki Bob Hasan dan Inhutani I. Perusahaan itu juga diwajibkan mengembalikan PMP dan sisa DR sebesar Rp 17,1 miliar karena luas penanamannya dianggap jauh lebih sempit dari proposalnya. Kebetulan, tagihan ini cepat dilunasi. Sedangkan Raja Hutan Bob Hasan, yang kini masuk bui Nusakambangan, selamat dari jerat DR yang lebih besar karena batal menerima kucuran lewat PT Kiani Kertas sebesar Rp 250 miliar.
Reformasi telanjur menutup pintu dana itu buat Bob. Kata Muslimin kepada TEMPO, sebetulnya dana untuk Kiani sempat cair Rp 100 miliar, tapi bisa ditarik kembali sebelum badai reformasi menerjang. PT Riau Andalan Pulp & Paper milik Sukanto Tanoto sempat juga masuk klub tertuduh korupsi DR di Riau, tapi segera dibantah oleh kejaksaan tinggi setempat.
Dan Soeripto, yang kini sudah dipecat sebagai Sekjen Dephutbun, tetap galak dan membawa sendiri berkas penyelewengan itu ke Kejaksaan Agung, termasuk kasus yang melibatkan mantan Menteri Kehutanan Soedjarwo. Wajarlah, para pejabat dan konglomerat sekelas Prajogo berkeringat dingin memikirkan peluang mendadak untuk pindah ke hotel prodeo.
I G.G. Maha Adi, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo