KESULITAN keuangan di PT MAI BWM (Maskapai Andil Indonesia Bank Wanita Mataram), Yogyakarta akhirnya mencapai titik kritis. Pekan lalu, 400 orang yang depositonya sudah jatuh tempo, sejak November lalu, tak bisa dibayar oleh bank pasar itu. Para deposan gelisah, karena uang mereka hanya "dibayar" dengan janji, agar datang esok harinya. Dan esok harinya, janji yang sama pula yang kembali mereka terima. Ekornya, Soewarno, direktur utama BWM, minggu lalu diperiksa Kejaksaan Tinggi Yogya. Tapi, esoknya, Bank Indonesia malah turun tangan memberi suntikan dana Rp 1,5 milyar. "Itu hadiah tahun baru," ujar Ibu A. Yani, komisaris utama BWM, mengomentari kredit khusus dari BI itu. "Kami tetap dipercaya dan diperkenankan mengelola bank pasar itu," tambah janda pahlawan revolusi itu. Memang, bantuan dari BI itu keluar hanya dua hari setelah para pemegang saham BWM, antara lain Ibu Yani dan Ibu Panglima Sudirman, bertemu dengan dua direktur BI di Yogya, 19 Desember. Setelah pertemuan itu, BI rupanya berpendapat, dalam dua tahun terakhir ini volume usaha BWM cepat berkembang, tapi tidak disertai manajemen yang sehat. BWM memang dimiliki para wanita sebagian besar adalah janda para pahlawan nasional. Semula, bank ini bernama MAI Wanima (Maskapai Andil Indonesia Wanita Mataram). Ia didirikan tahun 1956 oleh istri Dr. Soekiman Wirjosandjojo - salah seorang yang pernah menjadi perdana menteri pada awal Republik - dan merupakan satu-satunya bank simpan pinjam dan koperasi di Indonesia yang dikelola dan dibina sendiri oleh kaum wanita. Bank itu kemudian berganti nama menjadi PT MAI BWM, yang kemudian dikelola Soewarno, 51, sebagai direktur utama. Di bawah pimpinan WNI Cina asal Surabaya inilah BWM kemudian tumbuh agresif. Bank ini berani memberikan bunga deposito sampai 30% setahun. Di bawah Soewarno, yang semula bernama Teng Tjhong Gie ini dan pernah memimpin Bank Pembangunan Daerah di Tanjungkarang (Lampung), BWM terus berkembang, hingga dalam hampir dua tahun saja, sekarang memiliki aset Rp 7 milyar dan dua ribu nasabah. Karena inilah agaknya, lantas BI bersedia memberi pinjaman uang Rp 1,5 milyar. "Jadi, jangan tuduh kami tidak bonafide," kata Soewarno. Tapi mengapa sampai bank ini mengalami krisis? Pasalnya, ternyata, juga pada "keberanian" Soewarno. Ia mendirikan anak perusahaan, PT ASA Wanita Mataram Group. Perusahaan ini lantas membangun sebuah asrama mahasiswi di Pura Pakualaman, Yogya, senilai Rp 150 juta. Mengontrak sebuah hotel selama 25 tahun. Berkecimpung di bidang perumahan, di antaranya membangun 23 rumah buat karyawan Bank Indonesia di Yogya, serta memberikan kredit untuk 200 rumah kepada perorangan dengan dana Rp 1,3 milyar, dengan jangka pengembalian 15-25 tahun. Bisnis yang terakhir inilah yang kemudian melahirkan krisis, karena berasal dari dana deposito yang berjangka pendek. Setelah BI "masuk", pemilik deposito memang bisa meminta bunga simpanan mereka di Kantor BWM, Jalan K.H. Ahmad Dahlan, Yoya. Tapi tidak berarti kemelut usai. Sampai kapan BI nongkrong di belakangnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini