INDUSTRI penghasil mesin perkakas sedang mendapat angin. Sejumlah 11 perusahaan di bidang ini, pertengahan bulan ini, diminta bersiap-siap untuk menghasilkan mesin perkakas pemotongan dan pembentukan logam terintegrasi, mulai Juli tahun depan. Kata Menteri Perindustrian Hartarto, upaya itu dilakukan untuk mempromosikan pengembangan industri penghasil komponen bagi industri penerbangan, perkapalan, dan otomotif. Juga, tentu, untuk menghemat devisa. Sebab, dua tahun terakhir ini, impor mesin perkakas mencapai hampir Rp 200 milyar. Menurut Menteri Hartarto, impor mesin perkakas ini sesungguhnya bisa ditekan, karena potensi industri penghasil mesin perkakas lokal cukup besar. Mesin bubut, mesin pres hidraulik, mesin bor, mesin freis, mesin tekuk pelat, mesin pembengkok pipa, dan mesin gerinda sudah banyak dihasilkan industri itu. Permintaan pasar juga hebat: tahun ini kebutuhan mesin bubut, mlsalnya, akan mencapai 3.360 unit. Nah, supaya 11 industri itu maju cukup sehat, pemerintah perlu memberi sedikit proteksi: mengatur pemasukan mesin perkakas impor dengan menyetel besarnya bea masuk dan Pajak Penjualan Impor (PPn Impor). Kali ini bea masuk dan PPn Impor mesin perkakas dari luar, ditetapkan masing-masing 15% dan 10%, untuk semua jenis. Tapi Menteri Hartarto memperingatkan, keran impor itu tak segan-segan akan dibuka, "Jika 11 industri yang ditunjuk itu kemudian mengarah membentuk semacam kartel." Dengan cara itu, pemerintah secara tidak langsung berusaha ikut mengatur timgkat produksi, sampai tata cara pemasaran hasil industri tadi. Menurut Eman Yogasara, Dirjen Industri Mesin dan Logam Dasar, campur tangan semacam itu tidak bisa disebut sebagai proteksi, tapi lebih merupakan sebuah upaya "memberikan iklim usaha agar mereka berkembang baik". Perlindungan itu, katanya lagi, akan diberikan selama dua sampai tiga tahun. "Setelah mereka bisa berjalan, mungkin akan dilepas lagi," ujarnya kepada TEMPO. Menurut Affandi Dachlan, Direktur Industri Mesin, 11 perusahaan itu merupakan industri yang hingga kini masih menghasilkan dan menguasai teknologi pembuatan mesin perkakas - sedikitnya dua jenis. Kebetulan mereka anggota Asosiasi Industri Mesin Perkakas Indonesia (Asimpi). Perusahaan lain, seperti Texmaco di Semarang dan Kalimas di Surabaya, tak ditunjuk karena menghasilkan mesin perkakas untuk kepentingan sendiri. Kata Affandi, kalau ada perusahaan lain, di luar yang ditunjuk itu, juga ingin menghasilkan mesin perkakas, "Mereka harus ikut salah satu perusahaan yang sudah ditunjuk." Tapi tidak semua fasilitas diberikan pada mereka ini. Karena, mungkin, struktur modal mereka dianggap cukup kuat, kredit murah seperti diberikan kepada pengusaha lemah tidak disediakan untuk mereka. Kendati 11 perusahaan tadi mendapat cukup perlindungan, tentu tidak semuanya akan berkembang dengan baik. "Di antara mereka akan terjadi kompetisi sendiri," kata Eman. Bukan tak mungkin, beberapa di antaranya akan tersingkir. Nah, perusahaan lain, yang belum ditunjuk, kemudian dipersilakan masuk. Tentu, masih harus dilihat apakah perlindungan dengan cara itu cukup ampuh. Tanpa adanya campur tangan pemerintah seperti selama ini, konsumen memang lebih suka membeli mesin perkakas bikinan Taiwan, Korea Selatan, atau India, meskipun harganya bersaing. Gergaji besi bikinan PT Oyama, Jakarta, misalnya, dijual Rp 900.000 sebuah, atau 25% di bawah harga mesin perkakas serupa eks Taiwan. Gergaji besi ini dibuat dengan 85% komponen lokal dan 15% impor - terutama motor listrik. PT Pulogadung Indonesia Machine Sparepart Foundation (PIMSF), salah satu dari 11 industri mesin perkakas itu, juga merasakan tekanan dari barang impor. Tahun 1982 dan 1983 lalu, anak perusahaan Tjokro Group ini menghasilkan 300 unit mesin perkakas dari pelbagai mesin. Tahun ini dijangkakan 150 unit. Dari jumlah itu, ternyata, sekitar 30%nya hingga kini belum laku. Di gudang kini masih tersimpan rapi 40 buah mesin tekuk, yang biasanya dijual Rp 2.125.000 sebuah. "Terus terang, pemasaran produk kami kalah dengan barang impor," ujar Fenry Fonso, manajer umum PIMSF. Padahal, konon, delapan jenis mesin perkakas buatan PIMSF ini tidak kalah mutunya. Kendati pemasarannya sedang kepepet, perusahaan ini tidak berniat mengendurkan produksinya. Bahkan jika prospeknya cukup baik, produksi bisa dinaikkan 30% lagi. Sesudah ditunjuk pemerintah, perusahaan ini menyatakan sanggup untuk melanjutkan produksi, antara lain, mesin freis kombinasi bor, mesin tekuk pelat, dan mesin gunting. Motor listrik untuk sejumlah mesin perkakas ini juga masih diimpor. Keadaan PIMSF, agaknya, sudah lebih maju dibandingkan dengan PT Tools Indonesia. Sejak didirikan tujuh tahun lalu Tools, yang semula hanya berperanan sebagai importir itu, kini masih menggunakan komponen impor sekitar 50% untuk tujuh mesin perkakas produksinya. Tools memang baru memasuki tahap sekadar merakit mesin perkakas bikinan pabrik lain. Dengan cara merakit seperti itu, Industri Mesin Perkakas Indonesia (IMPI), dua tahun terakhir ini, sudah bisa menjual 200 mesin perkakas berbagai tipe senilai Rp 1,8 miIyar. Hampir semuanya merupakan pesanan. Penunjukan pemerintah mendorong IMPI menambah investasi Rp 2 milyar lagi. Dalam waktu dekat, IMPI bersama sejumlah pembuat mesin perkakas, akan berpameran di Pekan Raya Jakarta. Di situ bisa dibandingkan apakah benar barang lokal cukup baik dan bisa bersaing dengan barang impor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini