ADA dua hal penting yang terjadi pekan silam: Tercapainya angka satu milyar dolar AS lebih untuk ekspor nonmigas selama Juni 1988 dan pertumbuhan ekonomi dunia, yang semula diperkirakan 2,8% kini oleh para pakar dari IMF dinyatakan 3,8% -- berarti ada kenaikan 1%. Kekhawatiran semula bahwa ekspor nonmigas akan mentok pada 800-900 juta dolar rata-rata sebulan pun segera lenyap. Memang masih harus dilihat apakah angka 1 milyar itu bisa bertahan. Tak kurang dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, Prof. Dr. Saleh Afiff, yang meniup isyarat, kebijaksanaan ekonomi makro dan perdagangan kita akan terus ditingkatkan, dan dilaksanakan sedemikian rupa, hingga mendorong pertumbuhan sektor pertanian. Ini diutarakannya dalam ceramah di depan lulusan program M.B.A. IPMI di Jakarta, akhir Agustus silam. Menteri Afiff juga menyatakan, sektor pertanian harus tumbuh di atas 3,5% setahun, agar dengan demikian bisa dicapai pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 5% setahun. Dalam kaitannya dengan ceramah itu Afiff telah mengoreksi pemberitaan TEMPO -- yang dimuat dalam edisi 3 September 1988 -- yang dalam banyak hal telah salah mengutip atau bahkan salah menafsirkan pendapat-pendapatnya. Menurut Afiff, ia tidak mengatakan bahwa andil sektor pertanian tidak ikut membesar bersama GDP yang membesar. Dia juga tidak menyebutkan, masyarakat pedesaan tidak ikut menikmati GDP yang membesar itu. Bahkan Dr. Afiff tidak sekali pun pernah menyatakan, "kehidupan petani belum terangkat, antara lain karena program stabilisasi hanya dinikmati para distributor," seperti yang ditulis TEMPO. Yang dikatakan justru sebaliknya: sektor pertanian memang tidak bertumbuh secepat sektor minyak tapi hal ini tidaklah mengurangi keberhasiian sektor ini di pedesaan. Menteri sebaliknya menegaskan, sektor pertanian nyata-nyata menyumbang bagi pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, juga dalam meringankan beban kemiskinan di saat negeri ini sedang menjalani perubahan struktural di bidang ekonomi. Sejauh yang menyangkut kebijaksanaan, Dr. Afiff tidak bicara tentang "kebijaksanaan harga yang akan dikoordinasikan dengan menaksir biaya produsen yang potensial dan prospek konsumsi beras" -- seperti ditulis TEMPO -- tapi kebijaksanaan investasi yang dikaitkan dengan diversifikasi vertikal dan horisontal. Maka, dalam upaya meluruskan salah kutip dan salah tafsir ini, Menteri Saleh Afif menyediakan waktu, di sela-sela kesibukannya, menerima Isma Sawitri dan Budiono Darsono dari TEMPO, Sabtu pekan lalu untuk sebuah wawancara khusus. Beberapa petikan: Tahun 1965 sumbangan sektor pertanian pada perekonomian Indonesia mencapai 58%, sedang di tahun 1985 sumbangan itu mengecil menjadi 25%. Kenapa demikian? Dulu, tahun 1965, sumbangan sektor pertanian memang mencapai sekitar 58% dari seluruh kegiatan ekonomi Indonesia (GDP). Dua puluh tahun kemudian, pada 1985, GDP meningkat sekali. Di situ sumbangan yang berasal dari sektor pertanian mencapai 25%. Kalau dilihat dari persentasenya memang mengecil. Tapi secara absolut, dilihat dari keseluruhan ekonomi. hasil akhirnya menjadi besar. Bisakah Anda menguraikan lebih jauh perkembangan ini? Dalam sejarah perekonomian modern di dunia, ini tercatat sebagai prestasi besar. Sekalipun, bila ditinjau dari seluruh kegiatan pembangunan ekonomi Indonesia -- misalnya sektor industri dan pertambangan, khususnya migas, yang berkembang lebih pesat dibanding sektor pertanian -- andil sektor pertanian seakan-akan mengecil. Tapi, seperti saya katakan, hasil totalnya secara absolut tetap meningkat. Apakah pendapatan petani ikut terangkat? Dengan sendirinya. Dan itu bukan terbatas pada sektor pertanian padi, tapi termasuk perkebunan, kehutanan, dan perikanan. Semua itu bisa diukur dalam GDP. Apakah lebih pesatnya pertumbuhan di sektor lain turut mendongkrak sektor pertanian? Sektor minyak, misalnya, yang berkembang pesat, telah mendongkrak penerimaan negara. Dan rezeki minyak itu sebagian besar kita kembalikan ke pertanian. Beratus ribu bahkan berjuta hektar irigasi telah kita perbaiki. Termasuk kegiatan riset dan pembibitan untuk padi. Dibangun juga penggilingan padi, pabrik pupuk, dan jalan raya. Hasilnya, ya, Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan. Dan kehidupan kaum tani menjadi lebih baik karenanya? Benar. Dan itu pula sebabnya pemerintah lalu memperkenalkan harga dasar dan harga tertinggi beras, untuk menyelamatkan pendapatan kaum tani dari spekulasi di pasaran. Contohnya? Ambil saja anjuran pemerintah agar para petani menggunakan pupuk yang harganya disubsidi untuk meningkatkan produksi padi. Kaiau petani tidak yakin pupuk akan membawa hasil yang lebih tinggi, sehingga mereka bisa membayar kembali utangnya, mereka tidak akan memakai pupuk itu. Nah, agar pendapatan petani bisa terjamin, pemerintah memperkenalkan stabilitas harga padi. Kalau ada harga padi yang jatuh di bawah harga dasar, maka pemerintah, melalui Bulog, akan membelinya. Sebaliknya, kalau harga beras itu berada di atas harga tertinggi, Bulog akan melepaskan stok berasnya untuk menekan harga di pasaran. Dengan demikian, baik si petani maupun para konsumen tak sampai dirugikan. Memang, dalam praktek masih timbul berbagai masalah. Tapi sekarang 'kan, boleh dibilang, sudah berjalan baik. Bagaimana menjamin agar stok yang dilempar Bulog ke pasaran tak akan memukul pendapatan petani? Kalau memang harga di pasaran lebih tinggi dari harga dasar, petani tidak dipaksa menjual ke Bulog. Petani bisa menjual ke pembeli lain, misalnya. Kalau harga di bawah harga dasar, ya tentu lebih menguntungkan kalau petani menjual hasil padinya ke Bulog. Tapi kalau ada yang mau menjual di luar Bulog, silakan. Namun, petani mana yang mau berbuat begitu? Itu 'kan sama artinya dengan merugikan diri sendiri. Harap Anda mengetahui, para petani kita ini hebat, lho. Mereka mempunyai economic sense (logika dagang -- Red.) yang luar biasa. Toh ada sementara pengamat beranggapan, biarkan saja harga padi bergerak sendiri di pasaran, sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Bagaimana Pak Afiff melihatnya sebagai ekonom? Begini. Kalau pemerintah tidak melakukan kebijaksanaan stabilitas harga, bukan saja konsumen di kota yang terkena akibatnya, tapi petani di pedesaan akan terpukul. Misalnya, si petani terpaksa menjual padinya di saat harga jatuh pada musim panen, karena mereka membutuhkan uang tunai, sedangkan dia harus membeli beras dengan harga yang tinggi pada musim kemarau. Nah, Anda tentu bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau saja pemerintah membiarkan harga padi bermain sendiri di pasaran. Salah satu hal yang akan terjadi, dan yang pasti akan merugikan petani, adalah faktor spekulasi. Jadi, kebijaksanaan stabilisasi harga itu ada biayanya. Dan itu cukup mahal. Namun, pemerintah beranggapan, biaya yang mahal itu harus dikeluarkan, demi mengangkat kehidupan dari jutaan kaum tani. Apakah harga dasar itu terus meningkat? Kalau diikuti perkembangannya, harga dasar itu meningkat terus. Namun, harus diakui, pada saat-saat tertentu, pupuk naik sedikit harganya. Namun, perbandingannya tetap kita pertahankan. Harap diingat, subsidi yang diberikan kepada para petani paling besar dalam bentuk pupuk. Tahun 1983-1987 sektor pertanian ternyata tumbuh dengan 3,4%, sedikit di atas target yang 3%. Mungkinkah dalam Repelita V sektor ini akan tumbuh rata-rata melebihi 3,5 persen? Seperti saya kemukakan tadi, sektor pertanian ini mencakup bidang yang luas. Sekarang kita lihat perkembangan yang cukup pesat dari tanaman kelapa sawit, kelapa, karet sampai cokelat. Demikian pula dengan peternakan udang. Saya gembira melihat hasil produksi tambak udang yang luar biasa di daerah Ujungpandang. Juga dengan karet, karena permintaan untuk sarung tangan meningkat sekali. Juga akan dibangun tujuh pabrik untuk mengolah minyak kelapa sawit, dengan kredit dari Bank Dunia. Dari situ, antara lain, saya merasa optimistis pertumbuhan sektor pertanian dalam Repelita V paling tidak akan mencapai 3,5 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini