PERUM Perumnas Cabang IV Jawa Barat memasuki tahap baru, sejak pengelolaan lingkungan kompleks rumah susun Sarijadi diserahterimakan kepada Wali Kota Bandung, Ateng Wahyudi. Maka, sejak Jumat pekan lalu, perawatan lingkungan Perumnas Sarijadi, Bandung, sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemda. Tindakan ini bagaikan "gayung bersambut" untuk pernyataan Mendagri Rudini sehari sebelumnya di Jakarta. Bicara tentang sengketa tanah dan rumah, Rudini menyinggung masalah keterlambatan pembuatan sertifikat tanah rumah KPR BTN. Menurut Menteri, hal itu terjadi karena pihak Agraria tidak diikutsertakan sejak awal oleh pihak developer (catatan: untuk penyertaan pemda, dasar hukumnya ada, seperti bisa dilihat SK Menpera tertanggal 15 September 1985 - Red.). Andai kata SK tersebut pada waktu itu sudah merupakan paket peraturan lengkap, maka agaknya tidak akan timbul ricuh di kompleks Perumnas Kecamatan Percut, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Kompleks ini luas -- meliputi 8.811 unit rumah -- prasarana dan lingkungannya sudah diserahterimakan Perumnas Mandala kepada Pemda Deli Serdang, pada tahun 1985. Sekalipun begitu, tidak ada tindak lanjut. Dengan alasan "urusan tanah sebagian masih dikuasai Perum Perumnas", Lurah Perumnas Peltu. Sudarno enggan mengurus prasarana di situ. Akibatnya: jalan-jalan rusak berat, nol dan selokan tak terawat, hingga, kalau musim hujan tiba, kompleks Perumnas itu dikepung banjir. Sementara pemda dan pihak Perumnas sama-sama bersikap menunggu, kerusakan jalan terus. Melihat sikap tak terpuji seperti itu, keberanian Ateng Wahyudi sangat mengesankan. Malah dalam kata-kata Menpera Ir. Siswono Judo Husodo, "merupakan sebuah kepeloporan, sebagaimana kepeloporan Bandung dalam sejarah Konperensi Asia Afrika dan peristiwa Bandung Lautan Api yang terkenal itu." Direktur PT Tulus Harapan, M. Taufik Achwan, developer di Semarang dan Surabaya, ikut menyatakan rasa kagumnya. Menurut dia, banyak pemda yang menghindar bila diserahi prasarana seperti itu. Dan bukan rahasia lagi, sering pengelolaan Perumnas terabaikan begitu developer selesai membangun. Masalahnya seperti yang terjadi di Perumnas Mandala Deli Serdang itu -- serah terima dari developer ke pemda tak mulus. Contohnya: Taufik, yang membangun perumahan di kawasan Rungkut, Surabaya, pada 1979. Sampai kini serah terima pengelolaannya masih mengambang. Akibatnya, prasarana terabaikan. Direktur PT Metha Alfita Semarang, Suharsoyo, yang menjadi Ketua REI Jawa Tengah, akhirnya menggotong-royongkan pengelolaan lingkungan proyeknya di Ungaran, Ja-Teng. Caranya, 60% biaya ditanggung penghuni perumahan, selebihnya keluar dari kocek Suharsoyo. Cara swadaya yang diprakarsai penghuni, menurut Siswono, sudah dilakukan di Tebet, Jakarta Selatan. "Tapi apakah semua masyarakat mampu seperti itu," ujar Siswono. Padahal, pembangunan perumahan itu pun didorong-dorong pemerintah, terutama untuk membangun tipe-tipe kecil. Jika developer menjadi mitra pembangunan, tentu mendapat untung. Dan seperti dikatakan Dicka Sasmita, sekitar 40% areal lokasi perumahan sudah diikhlaskan untuk prasarana: jalan, saluran air, taman, maupun tanah untuk olahraga atau tempat ibadat. Dari segi prasarana, tentulah kondisi lingkungan sudah meningkat. Dulu hitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) semata-mata dari sawah, tapi dengan adanya Perumnas, sumber bertambah. Ini dikatakan Enggartiasto Lukito, Presdir PT Bangun Tjipta Pratama. "Prasarana itu semua menjadi aset pemerintah, dan penerimaan dari PBB itu 'kan luar biasa," kata Enggar. Tapi karena serah terima tak mulus, pihak developer membebankan biaya perawatan pada harga jual rumah. Ini yang menurut Enggar menyebabkan biaya tinggi. Namun, tak semua developer begitu. Dicka Sasmita, misalnya, menjual unit perumahan Depok Jaya Agung di Depok tanpa membebani soal perawatan. Kalau ditimbang-timbang lagi, pemda memang bisa "ketiban pulung" bila begitu saja menerima prasarana dari developer. Di daerah Sleman, Yogyakarta, misalnya, "pihak pemda hanya menyediakan aspal dan mesin penggilasnya, selebihnya dari developer," ujar Samirin, Bupati Sleman. Jakarta? "Cukup banyak tapi masih kurang, karena tercecer di mana-mana, sih," ujar Herbowo, Wakil Gubernur Ekonomi dan Pembangunan DKI Jakarta. Keterbatasan pemda tak urung mengkhawatirkan developer yang serius membangun. Pembangunan kompleks perumahan Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, misalnya, yang bakal meliputi 1.500 ha. Sampai kini baru terwujud 140 ha, dan masih membutuhkan sekitar 2'0 tahun lagi untuk menyelesaikannya. "Kalau perawatan itu kita serahkan kepada pemda, tapi kualitas perawatannya tidak memenuhi standar, wah ini bisa mempengaruhi keseluruhan citra Bintaro Jaya," tutur Eric Samola, direktur utama developer itu. Menyadari berbagai akibat dan kemungkinan, Menpera Siswono, yang paham betul liku-likunya itu, mengingatkan agar developer, pemerintah, dan konsumen sama-sama belajar. "Pola kredit pemilikan rumah baru berjalan 14 tahun. Mencapai seperti sekaran saja, sudah bagus," katanya. Biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini