EKSPOR nonmigas pada bulan Juni lalu memuncak, persis seperti tahun silam juga. Sebagaimana diungkapkan Menteri Penerangan Harmoko seusai Sidang Kabinet Bidang Ekuin Rabu pekan silam, devisa hasil ekspor nonmigas pada bulan keenam 1988 telah menembus angka US$ 1 milyar. Kejutan ini terjadi, kabarnya, karena basis komoditi ekspor semakin bervariasi. Tapi kayu lapis masih tampil sebagai pengumpul devisa terbesar. Yang cukup mengejutkan dari Sidang Kabinet ialah bagaimana pemerintah semakin memperketat sumber devisa. Soalnya, pada hari itu juga diumumkan bahwa BKPM harus menutup pintu bagi pemohon izin pendirian pabrik kayu lapis yang baru. Presiden juga menandaskan kepada para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), bahwa mereka harus melakukan pemetaan dari udara. Dan kalau tak mampu, para pemegang HPH diwajibkan bekerja sama dengan asosiasi, terutama untuk melaksanakan pemetaan udara itu. Tampaknya, pengusaha kayu lapis cenderung untuk bekerja sama. Masalah ini sebenarnya sudah dibahas dalam Musyawarah Nasional Asosiasi Pengusaha Kayu Lapis Indonesia (Apkindo), akhir bulan silam. Berapa sebenarnya biaya untuk pemetaan udara belum jelas, tapi pastilah mahal. Hanya sedikit aneh, munas yang dipimpin tenaga ahli Apkindo Zain Masjhur itu akhirnya memutuskan bahwa setiap perusahaan diwajibkan membayar 1 dolar per m kayu lapis produksi masing-masing per tahun. Dan tentu, selalu ada saja yang tidak puas. "Berapa, sih, biaya pemetaan itu ? Masa, mencapai Rp 50 milyar setahun ?" kata seorang pengusaha kayu lapis. Angka Rp 50 milyar diperoleh dari perhitungan konsumsi kayu bulat setahun, yang sekitar 30 juta kubik, dikalikan 1 dolar (Rp 1.700). Bagaimanapun, iuran satu dolar per kubik itu dirasakan cukup berat oleh pengusaha yang relatif kecil. Pabrik yang berkapasitas produksi 7.000 kubik per tahun saja harus membayar sekitar Rp 12 juta setahun. Selain itu, ada kekhawatiran di kalangan pengusaha kayu lapis bahwa kewajiban pemetaan udara akan mempersulit mendapatkan HPH. Keharusan itu diduga akan menciutkan jumlah pabrik kayu lapis atau menimbulkan konglomeratisasi. Beberapa grup industri kayu lapis yang menonjol sekarang ini, seperti diberitakan harian Bisnis Indonesia, adalah Kalamur Group milik Antony Salim, Hutan Raya Group milik Akie Setiawan, Djajanti Group milik Sudradjat, Kalimanis Group milik Bob Hasan, dan Barito Pacific Timber Group milik Prayogo Pangestu. Kalamur adalah grup terbesar yang memiliki kapasitas produksi 440.000 kubik kayu lapis per tahun. Tapi regulasi yang membatasi izin baru pendirian pabrik kayu lapis ternyata disambut gembira. Keputusan itu malah dianggap terlambat oleh Ketua Kompartemen Kehutanan di Kadin Indonesia, Rustam Effendi. Sebab, Majelis Perkayuan Indonesia pada 1982 -- ketika itu Rustam menjabat Sekjen sudah mengusulkan agar pemerintah membatasi jumlah pabrik kayu lapis. Ketua Apkindo Bob Hasan pekan silam mengatakan kepada TEMPO bahwa jumlah pabrik kayu lapis sudah mencapai 108, sesuai dengan jumlah anggota Apkindo. Namun, sumber dari kalangan pengusaha kayu lapis mengatakan, sebenarnya sudah mencapai 120, dan dalam waktu dekat akan mencapai sekitar 150 pabrik. "Sebab, baru-baru ini telah keluar izin untuk pendirian 30 pabrik baru di Irian Jaya," kata seorang tokoh pengusaha yang keberatan disebut namanya. Jumlah pabrik sebanyak itu dikhawatirkan bakal memukul pengusaha industri kayu lapis dan ekonomi nasional. Menurut Abbas Adhar, Presiden Direktur PT International Timber Corporation Indonesia, jika pabrik baru ditambah, maka kebutuhan bahan baku kayu log akan meningkat. Ini berarti sekali waktu Indonesia harus mengimpor kayu bulat. Nah, pada gilirannya, hal ini akan menimbulkan biaya tinggi. Contohnya, harga log di Indonesia sekarang US$ 80 per kubik, sedangkan di Serawak sudah US$ 120 per kubik. Lagi pula, "Tambahan pabrik baru pun tentu bisa sulit mencari pasar," kata Abbas. "Pasar kita sebenarnya masih bagus. Yang penting, kita menjaga stabilisasi harga," kata Bob Hasan kepada TEMPO, seusai Musyawarah Nasional Apkindo akhir bulan lalu. Stabilisasi harga itu terutama harus dijaga menghadapi pasar AS, yang diduga bakal berubah setelah pemilihan umum presiden. "Bisa naik, bisa juga menurun," ujar Bob. Yang cukup mengecewakan adalah RRC "Cina sekarang tengah dilanda inflasi, sehingga permintaan mereka tidak begitu kuat," kata Bob Hasan. Dan mereka menjanjikan sekitar US$ 1,5 juta dolar per tahun. Tapi nyatanya sampai awal pekan ini mereka baru membeli kayu lapis bernilai US$ 150.000. Aki batnya, sistem pemasara Apkindo ke RRC berubah. "Tadinya Apkindo harus mengekspor lewat perusahaan Quan dari RRC. Kini anggota dipersilakan mengekspor langsung," tutur sumber TEMPO. Untuk menstabilkan harga di pasar internasional, Apkindo juga mulai memperketat pasar ekspor. Ekspor ke Taiwan, misalnya dibatasi hanya sampai 150.000 m3 per tahun Hanya pasar Jepang yang terus digenjot karena Apkindo memang ingin mengobrak-abrik pasar kayu lapis di Negeri Sakura. Untuk itu, semua pabrik kayu lapis diwajibkan mengekspor minimal 10% ke Jepang. Yang tidak kena denda 50-60 dolar pe kubik oleh Apkindo. Dewasa ini Apkindo masih mampu menjual ke Jepang dengan harga sekitar US$ 37 per kubik, prangko Osaka atau Tokyo. Tapi harga tersebut sebenarnya sudah turun sekitar lima belas dolar. Karena itu, Apkindo, juga diharuskan mengurangi kapasitas produksi. "Jika harga kayu lapis turun, jam kerja pabrik (shift) harus diturunkan," kat Bob Hasan. Max Wangkar dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini