Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu atau PLTB dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya PLTS dinilai punya kekuarangan utama, yakni tidak bisa membangkitkan ketersediaan energi listrik secara terus menerus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kekurangan itu disampaikan Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara, Arcandra Tahar dalam unggahannya di Instagram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Saat tak ada angin, PLTB tidak optimal dalam membangkitkan listrik, karena tak ada angin yang memutar kincir PLTB. Pada saat malam hari dan cuaca tidak terik PTLS tidak dapat beroperasi, karena tak ada cahaya yang menyinari panel surya.
Sejumlah solusi diberikan Arcandra untuk mengatasi kekurangan ini. Pertama dengan menyediakan baterai penampung daya atau energy storage. Saat PLTS dan PLTB bekerja, energi yang dihasilkan dapat disimpan ke dalam baterai. Sewaktu PLTS atau PLTB mati maka baterai dapat digunakan untuk memenuhi energi listrik yang dibutuhkan.
Namun penggunaan baterai bakal menambah biaya operasional PLTS atau PLTB karena harga baterai yang mahal. Jika LCOE dari baterai yang digunakan menggunakan kimia Nickel Manganese Cobalt (NMC) bisa dikenakan sekitar $15 c/KWh. Kalau menggunakan Lithium Iron Phosphate (LIP) seperti yang banyak digunakan di CIna, LCOE nya bisa dikenakan sekitar $11.5 c/Kwh.
Mengapa di Cina bisa lebih murah? Selain karena harga material LIP lebih murah dari NMC, ekosistem industri baterai di Cina sudah terbentuk. Demikian pula dengan persaingan antar pelaku usaha baterai juga ikut menurunkan biaya penggunaan baterai.
Selain baterai, solusi lain yang ditawarkan Arcandra untuk memback-up energi PLTS dan PLTB yakni dengan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) atau menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG).
Hal ini dikarenakan PLTD dan PLTG hanya memerlukan waktu 10 dan 30 menit untuk menggantikan beban energi dari PLTB atau PLTS yang mati. Namun masih diperlukan beberapa kajian untuk memutuskan PLTD atau PLTG yang lebih cocok mem back-up PLTB atau PLTS yang mati.
Lebih mudah diesel fuel dari satu tempat ke tempat lain, tapi tidak dengan gas yang mungkin membutuhkan pipa atau dipindah dalam bentuk LNG. Tapi, dari segi biaya pembangkit. PLTG lebih murah daripada PLTD karena harga gas yang lebih murah daripada harga diesel fuel.
PLTU atau Pembangkit listrik yang lain seperti Tenaga Uap dari sisi biaya jauh lebih murah, tapi untuk menggantikan beban energi perlu waktu yang lebih lama. Bahkan bisa di atas 10 jam. Sehingga, kata Arcandra, PLTU tidak rokomendasi untuk backup PLTS atau PLTB.
DELFI ANA HARAHAP