Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tak Cuma karena Ulah Pedagang

Harga gula masih melejit tak terkendali. Bulog, yang dulu sukses menjadi penyangga, sekarang tampak tak berdaya.

25 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELANGKAAN gula, yang merebak sejak pertengahan April lalu, kini masih berlanjut. Harga si manis sempat meroket hingga Rp 7.000 per kilogram, namun setelah operasi pasar, mulai menurun ke Rp 6.000 per kilogram. Sampai kini hampir seluruh Indonesia—kecuali Sumatra Utara dan Kalimantan Barat—masih merasakan betapa pahitnya gula, karena harganya belum bisa ditekan kembali ke Rp 4.000 seperti semula. Saleh Ismail Mukadar, anggota DPRD Jawa Timur, menuding dalang musibah ini adalah para pemain lama yang berkongkalikong dengan pejabat Depot Logistik (Dolog) Jawa Timur. Ia yakin, merekalah yang bertanggung jawab untuk kelangkaan gula di pasar. Yang mereka lakukan sederhana, yakni menimbun gula pada saat pasokan gula ke Jawa Timur tersendat. Otomatis, harga gula melonjak. Indikasinya terlihat pertengahan April lalu, ketika Dolog Jawa Timur menunjuk 13 distributor untuk menyalurkan 20 ribu ton gula impor dari Thailand. Besar dugaan, 13 distributor itu berasal dari dua grup besar, yakni PT Arta Guna Sentosa (AGS) yang membawahkan PT Artha Kencana Agung, CV Haris, CV Kencana Makmur, PT Kharisma Sembada, dan PT Kedung Agung. Lainnya adalah PT Berlian Penta Trading, yang ”mengendalikan” PT Berlian Mandiri Perkasa, PT Rastung Sejahtera, dan PT Bhirawa Sembada. Setiap distributor dari dua grup di atas mendapat jatah sekitar 1.800 ton gula. Sedangkan distributor di luar grup AGS dan Berlian Penta cuma diberi jatah 400 ton. Sejauh ini Saleh menaruh curiga pada pemilik kedua perusahaan besar itu. Ia memperkirakan, mereka bekerja di bawah bayang-bayang Pieko Nyotosetiadi, bos PT Citra Gemini Mulia. Tentang tuduhan ini, bos PT Berlian Penta, Haryanto, enggan menyatakan pendapatnya. ”Coba kamu hubungi Pak Pieko saja, karena beliau Ketua APGI (Asosiasi Pengusaha Gula Indonesia—Red.),” katanya pendek. Pieko dikenal licin, setidaknya begitulah menurut penilaian Saleh. Pada awal 90-an, Pieko terlibat kasus impor gula ilegal. Namun, saat ditangani Polda Jawa Timur, kasusnya menguap begitu saja. Dan setelah itu bisnis Pieko semakin berkibar. Dua perusahaan miliknya, PT Fajar Mulia Trasindo dan PT Citra Gemini Mulia, dipercaya memasok barang- barang kebutuhan pokok ke Primer Koperasi Angkatan Darat (Primkopad), Primer Koperasi Angkatan Laut (Prikopal), dan Induk Koperasi Kepolisian (Inkoppol). Betapa akrabnya Pieko dengan tiga koperasi tersebut bisa terlihat pada papan nama yang berdiri di depan kantornya di Jalan Tanjung, Surabaya. Di papan itu terpampang dalam tulisan yang mencolok ”Korps Polisi Militer”. Saleh menyimpulkan, ”Orang ini (Pieko—Red.) tak pernah tersentuh hukum.” Namun kecurigaan Saleh serta-merta dibantah Pieko. Raja gula di pesisir timur Pulau Jawa ini berucap, ”Mustahil pedagang bisa memainkan harga gula.” Mengapa? ”Karena tak ada lagi gula di gudang.” Di mata Pieko, salah satu penyebab menipisnya persediaan gula tak lain karena semua pedagang menjual stok gulanya ke luar Jawa. Katanya, semenjak inspeksi mendadak yang dilakukan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi ke Kediri, Februari lalu, para pedagang takut menyimpan gulanya di gudang. Lain lagi pendapat Kepala Bulog, Widjanarko Puspoyo. Katanya, gejolak gula kali ini disebabkan ketidaksiapan importir gula, yakni PTPN dan RNI. Hal senada diungkapkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Sudar, S.A. ”Sembilan belas ribu ton gula yang diimpor PTPN X terpaksa tertahan di Tanjung Priok gara-gara masalah dokumen,” ujarnya kesal. Dirjen Bea dan Cukai, Eddy Abdurrachman, membenarkan hal itu. ”PTPN X mengajukan pemberitahuan impor atas nama Bulog. Harusnya kan atas nama PTPN,” tuturnya. Kini sekitar 10 ribu ton gula impor PTPN X sudah dikeluarkan dari pelabuhan, dan sisanya ditahan karena izin impornya sudah kedaluwarsa sejak akhir Maret lalu. Sementara itu, sekitar pertengahan April lalu, Rini Soewandi menemukan sekitar 39 ribu ton gula milik Bulog yang tak bisa dikeluarkan dari gudang Dolog Kelapa Gading, Jakarta Utara. Alasannya, dokumen gula tersebut bermasalah. Rini mengaku bahwa hal itu tidak logis, karena persoalan administratif seperti itu biasanya cukup diselesaikan dalam satu hari. Menurut Rini, selain keterlambatan impor, hal lain yang membuat mahalnya harga gula adalah tersendatnya distribusi. Seorang pelaku bisnis gula bercerita bahwa keterlambatan impor gula maupun tersendatnya distribusi gula sebenarnya bukanlah masalah kebetulan. Ia yakin, hal itu merupakan hasil main mata antara ”pemain lama” dan direksi sebuah PTPN. Skenarionya kurang lebih begini. Mula-mula, si distributor memberi pinjaman duit pada PTPN untuk mengimpor 100 ribu ton gula. Sebagai kompensasi, dia bakal mendapat jatah terbesar untuk menjual gula impor tadi. Katakanlah dia mendapat untung sekitar 10 persen saja dari penjualan 100 ribu ton (harga gula US$ 200 per ton), maka setidaknya ia bisa meraup untung US$ 2 juta. Indikasi adanya main mata itu terlihat dari kekeliruan dokumen yang diserahkan PTPN itu ke Dirjen Bea Cukai. Juga kenyataan bahwa PTPN tersebut cuma bisa mengimpor 19 ribu ton gula dalam kurun Januari hingga Maret lalu. Padahal, lazimnya kontrak bisnis, jika tak mampu melakukan kewajibannya, seharusnya perusahaan itu terkena denda dan penalti. Toh PTPN tersebut tak mendapat sanksi apa pun atas keteledorannya itu. Santer disebut, skenario ini tak lepas dari tangan seorang pemain lama yang lain. Dialah Kurnadi. Indikasi keterlibatan dia, kata sumber TEMPO di kalangan pemain gula, terlihat ketika perusahaan milik Kurnadi, PT Kurnadi Abadi, ditunjuk Bulog untuk menyalurkan gula ke wilayah Jabotabek. Selain mendapat jatah terbesar dalam distribusi gula di Jabotabek, Kurnadi juga diketahui memiliki agenda lain yang tak kalah pentingnya, yakni menggotong salah seorang direksi PTPN agar berhasil terpilih menjadi direktur utama perusahaan baru yang merupakan hasil merger PTPN IX, X, dan XI dalam waktu dekat ini. Untuk kepentingan itu, Kurnadi habis-habisan melobi para pejabat di Kementerian Negara BUMN serta tokoh-tokoh partai politik tertentu. Namun, ketika sinyalemen itu dikonfirmasi kepada Kurnadi, ia langsung membantahnya. ”Saya itu siapa, sih. Mana mampu saya melakukan itu semua?” Kurnadi menambahkan, isu negatif seperti itu sengaja ditiupkan oleh pihak-pihak yang iri melihat kemajuan bisnisnya. Padahal, menurut pengakuannya, gula impor yang diperoleh perusahaannya, PT Kurnadi Abadi, sama saja dengan gula impor yang didapat distributor lain. ”Paling cuma ratusan ton gula,” katanya. Arum Sabil, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR), berpendapat, jika menilik harga gula di pasar internasional, seharusnya harga gula di pasar lokal tidaklah perlu meroket gila-gilaan. Mengingat harga gula yang diimpor PTPN maupun Bulog US$ 202-239 per metrikton, setelah ditambah bea masuk dan pajak, akhirnya harga gula di tingkat distributor berkisar pada Rp 3.100. Lalu selanjutnya, di tingkat pengecer, harga jual gula seharusnya tidak melebihi Rp 4.000 per kilogram. ”Itu pun pengecer sudah untung 20 persen,” ujar Arum. Ketua Umum APTR ini kembali mengimbau pedagang agar tidak menimbun gula. Diingatkannya, yang paling dirugikan akibat mahalnya gula adalah rakyat kecil, termasuk petani tebu. Entahlah, apakah keluhan Arum dan banyak lainnya masih saksama didengar. Soalnya, para pejabat tinggi negeri ini, termasuk Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo, masih teramat sibuk mengurus barter pesawat tempur Sukhoi dengan produk hasil bumi Indonesia. Iwan Setiawan, Ali Nur Yasin, Kukuh S.W. (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus