BANYAK orang bilang Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla bertangan dingin. Anggapan itu rupanya tak berlebihan. Setelah berperan besar di balik lahirnya Kesepakatan Malino, yang menjadi titik terang perdamaian prahara Maluku, kali ini ia turun tangan menengahi kemelut Semen Padang. Hasilnya melegakan: setelah hampir tiga tahun berkecamuk, sebuah jalan tengah akhirnya bisa disepakati.
Untuk memperjelas duduk soalnya, wartawan TEMPO Karaniya Dharmasaputra dan Setri Yasra mewawancarai menteri kelahiran Watampone, Sulawesi Selatan, 61 tahun silam itu di rumah dinasnya di kawasan Kuningan, Jakarta. Seusai menyantap pallumara, tumis ikan khas Makassar yang menjadi menu favoritnya, Menteri Jusuf pun mengungkap lika-liku di baliknya. Berikut petikannya.
Bagaimana Anda terlibat dalam persoalan Semen Padang?
Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar datang ke saya, mengeluh soal Semen Padang. Saya pribadi melihat masalah ini sudah berlarut-larut selama tiga tahun, secara ekonomi berbahaya, dan harus segera diselesaikan.
Apa resep Anda?
Sebetulnya, inti persoalannya kan sederhana, soal gengsi daerah. Masyarakat Padang tak mau di bawah Gresik. Itu yang saya tangkap. Jadi, solusi saya, pertama-tama mengembalikan harga diri itu dengan cara memisahkan strukturnya. Tapi komposisi modalnya harus tetap, supaya tak ada yang dirugikan. Persoalan lain adalah komunikasi. Boleh dikatakan, selama ini sama sekali tak ada komunikasi yang baik antara Semen Gresik, juga pemerintah, dan Semen Padang. Padahal itu kunci utamanya.
Dari mana asal konsep split-off (pola distribusi saham—Red) itu?
Saya yang membuatnya, berdasarkan kajian-kajian sebelumnya. Konsepnya saya tuangkan dalam dua lembar kertas kerja. Sederhana saja. Buat saya, kalau ada perusahaan bisa merger kan bisa juga dipecah. Kemudian, itu saya sampaikan ke Menteri BUMN Laksamana Sukardi untuk dia pertimbangkan. Saya lalu terbang ke Padang. Saya sampaikan juga ke Gubernur Sum-Bar. Saya bilang, you jangan menerapkan standar ganda dong. Di satu sisi mengeluh tidak ada investasi, tapi di sisi lain ada investor yang sudah masuk malah disuruh pulang.
Selain Gubernur, siapa lagi tokoh Sum-Bar yang setuju split-off?
Di Padang, saya juga bertemu ketua dan anggota DPRD Sum-Bar serta para tokoh masyarakat. Mereka semua setuju, dan membuat pernyataan tertulis.
Bagaimana status Maklumat Masyarakat Sum-Bar tentang pengambilalihan Semen Padang?
Sudah dikembalikan lagi oleh Gubernur kepada DPRD.
Tapi direksi Semen Padang masih menolak.
Kalau ada satu-dua yang menolak, itu kan biasa. Lagi pula, posisi direksi itu kuat karena didukung Pemda dan DPRD Sum-Bar.
RUPS luar biasa untuk mengganti manajemen Semen Padang akan digelar?
Ya, harus tetap dilakukan. Namun, saya telah menekankan kepada Kantor Menteri BUMN supaya jangan main asal ganti. Yang jelek diganti, yang bagus harus dipertahankan.
Bagaimana dengan Cemex?
Francisco Noriega (Presiden Direktur PT Cemex Indonesia) juga sudah setuju. Dia sudah menyampaikan itu secara informal. Dia menelepon saya, dia bilang oke, tapi minta garansi dari saya. Saya bilang, saya jamin. Saya bilang sama Noriega, sebagai pengusaha, yang terpenting buat you kan melihat pilihan-pilihan terbaik. Kalau berkukuh tidak mau pisah seperti sekarang, bagaimana dia bisa mengontrol anak perusahaannya? Datang ke Padang dan Makassar saja diusir. Nanti mereka kan malah punya investasi langsung dan bisa menempatkan orang-orangnya.
Bagaimana dengan saham publik?
Sama saja. Nantinya Semen Padang juga akan dicatatkan di bursa.
Semen Tonasa juga ikut dipisahkan?
Benar. Bagaimanapun perlakuannya harus sama. Surat persetujuan pemerintah tentang pemisahan Tonasa sudah dikirimkan Rabu kemarin.
Menurut Anda, apa keuntungan split-off Semen Padang?
Pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana besar untuk membayar kompensasi saham Cemex dan publik seperti dalam pola spin-off. Tentu saja, tetap ada biaya untuk pengaturan aspek legal dan teknisnya. Tapi itu jauh lebih murah dibanding ongkos akibat berlarut-larutnya sengketa. Secara ekonomis, perseteruan itu membuat produktivitas Semen Padang menurun. Bayangkan, berapa banyak dana yang keluar percuma untuk membayar pengacara, belum lagi ongkos demo dan lobi-lobi politik. Biaya merundingkan konsep saya ini sangat murah. Ongkosnya cuma satu kali makan untuk tujuh orang di Hotel Dharmawangsa. Paling-paling sejuta perak, karena waktu itu kita cuma makan nasi liwet, ha-ha-ha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini