Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tergantung Siapa Kokinya

Untuk membentengi pasar keuangan global yang terus bergejolak, untuk sementara Indonesia perlu menerapkan kontrol devisa. Cuma, risikonya, kursi kepresidenan Habibie terancam tumbang.

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEBAT soal kontrol devisa, mungkin, membuat Anda pening kepala. Apa itu kontrol devisa? Murahkah harga sembilan bahan pokok jika kita memakai kontrol devisa? Belum lagi paham dengan semua itu, Anda dikejutkan pernyataan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasamita. Katanya, pemerintah sedang menyiapkan sejumlah aturan untuk mengawasi arus lalu lintas devisa. Bagaimana rinciannya, memang, belum jelas benar. Ginandjar hanya menegaskan, "Ini cuma monitoring, bukan kontrol."

Lalu apa bedanya? Di atas kertas, keduanya jelas berbeda. Dalam monitoring, target yang diinginkan cuma pelaporan. Pemerintah cuma mencatat berapa modal yang masuk, berapa yang keluar. Sedangkan dalam kontrol, pemerintah melarang atau membatasi nilai mata uang yang bisa ditransfer melalui batas negara.

Tapi, sekali lagi, itu cuma di atas kertas, hanya dalam teori. Kenyataannya, menurut seorang pejabat otoritas moneter, batas antara pengawasan dan pengendalian devisa amat tipis. "Buat apa sekadar mencatat," katanya, "Emangnya pemerintah mau jadi kantor akuntan?" Karena itu, ia menganggap wajar jika publik kemudian mengartikan monitoring ini sebagai langkah awal dari kontrol devisa.

Sinyal ke arah kebijakan kontrol devisa, sebenarnya, cukup jelas. Selain mengawasi arus modal, pemerintah bakal mewajibkan eksportir memarkir devisanya di dalam negeri. Sebagai jaminan, para eksportir itu bakal memperoleh nilai dolar yang sama jika membutuhkan kelak. Dengan aturan seperti ini, surplus perdagangan Indonesia benar-benar bisa menambah cadangan devisa. Selama ini, selisih ekspor-impor (yang besarnya terus menggelembung hingga US$ 2 miliar per bulan) tak ketahuan di mana rimbanya.

Nah, apakah kewajiban repatriasi hasil ekspor ini juga sekadar langkah monitoring? Silakan berdebat. Tapi para pemain pasar keuangan menilai, repatriasi merupakan awal pengendalian arus modal. Sejumlah analis keuangan malah menyebut kewajiban memudikkan devisa ini merupakan bagian dari suatu sistem semi-devisa-bebas.

Para analis ini yakin, untuk sementara Indonesia memang memerlukan satu sistem pengendalian devisa. Soalnya, pasar keuangan sedang tak normal. Krisis ekonomi telah merambah ke banyak negara. Setelah Asia dan Rusia, kini Amerika Latin dan bahkan Amerika Serikat ikut terancam. Investor seluruh dunia panik dan cenderung mengamankan uangnya. Akibatnya, perekonomian dunia bergejolak. Di saat seperti ini, modal asing sulit diharapkan. Indonesia harus berjuang dengan modal sendiri.

Nah, agar modal dalam negeri bisa digunakan, menurut ekonom Adrian Panggabean, pemerintah harus mengisolasi perekonomian domestik dari gejolak di luar. Investasi dalam negeri juga mesti dirangsang. "Satu-satunya resep," kata Adrian, "ya, kontrol devisa." Dengan mengendalikan lalu lintas devisa, ada dua keuntungan sekaligus yang bisa diperoleh. Satu, modal domestik tak terbang ke luar. Dua, suku bunga bisa diturunkan tanpa harus menekan nilai tukar rupiah.

Hanya, para petinggi keuangan Indonesia tak pernah mau mengakui hal ini. Berkali-kali Gubernur Bank Indonesia Sjahril Sabirin menegaskan Indonesia tak akan mengontrol devisa. "Rezim kontrol devisa sangat berisiko," katanya.

Betul, rezim kontrol devisa penuh ranjau (lihat boks: Pro-Kontra Kontrol Devisa). Tapi pelbagai risiko itu bukan tak bisa diatasi. Mohamad Chatib Basri, salah satu ekonom pendukung rezim devisa bebas, pun mengaku tidak alergi dengan kontrol devisa, asalkan dengan sejumlah syarat. Selain sumber dana dalam negeri mesti kuat, perbankan harus sehat dan birokrasi bersih. Kontrol devisa bisa jadi efektif jika arus modal keluar tak dihambat. Ini penting agar tak menakutkan investor asing untuk masuk ke Indonesia.

Nah, menurut Chatib, syarat-syarat itu tak bisa dipenuhi Indonesia sekarang ini. Ia hanya setuju jika kebijakan kontrol devisa itu diberlakukan secara global. Harapan seperti ini, sebenarnya, sempat meletik ketika Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menggelar pertemuan tahunan di Washington, pekan lalu. Sayangnya, sidang yang bertajuk gagah "Mencari Permikiran Baru Sistem Keuangan Global" itu berakhir mengecewakan. Harapan bakal adanya langkah nyata untuk mengendalikan gejolak nilai tukar, termasuk kemungkinan menggelar kontrol devisa global, ternyata tak disetujui.

Tanpa kesepakatan global, menurut Chatib, amat berbahaya bagi Indonesia untuk menggelar sistem kontrol devisa sendirian. Aliran modal tetap dapat berpindah dengan mudah dari satu negara ke negara lain. Kalau aliran modal masih sebebas itu, katanya, justru Indonesia harus tetap menggelar sistem devisa bebas sambil terus merayu agar pemodal asing mau datang.

Tapi, lain Chatib, lain pula Adrian. Menurut doktor keuangan dari University of Birmingham ini, sistem kontrol devisa bisa dijalankan asalkan tak ketat-ketat amat. Yang perlu dilakukan hanya beberapa langkah "kecil", misalnya melarang perdagangan rupiah di luar negeri, membatasi arus masuk modal jangka pendek (baik dengan menyalurkannya ke sektor yang tak bergejolak maupun dengan mengendapkannya di SBI), dan membatasi pembelian ataupun penjualan valuta hanya untuk kegiatan ekspor impor.

Adrian mengakui, kendati aman secara ekonomi, rezim kontrol devisa belum tentu oke secara politik. Bagi Presiden Habibie yang berkuasa, kontrol devisa bisa berarti ancaman. Patut diingat, Habibie sudah meneken kontrak dengan IMF. Sebagai imbalan atas paket pinjaman internasional senilai US$ 43 miliar, Habibie harus tunduk, menjadi anak manis IMF. Nah, repotnya, resep penyehatan ekonomi ala IMF masih mengharamkan sistem kontrol devisa.

Kalau Habibie membangkang terhadap IMF, situasi bisa makin runyam. Bisa-bisa IMF ngambek dan ogah memberikan sisa pinjaman yang belum cair. Kalau ini terjadi, sembako bisa makin mahal karena tak lagi disubsidi. Rakyat bisa makin gampang marah. Akibatnya, "Presiden bisa turun lebih cepat," kata Adrian.

Boleh jadi ancaman seperti ini tak akan muncul jika rakyat mendukung penuh pemerintahan. Atas nama rakyat, IMF bisa mengalah. Kalaupun tidak, bersama rakyat, pemerintah bisa menggusur IMF. Agaknya, siapa kokinya jauh lebih penting dari bagaimana resepnya.

DSI, BB, ANY

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus