Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bukan Bank, Bukan Pula Money Changer

Kinerja empat bank BUMN yang akan melebur menjadi Bank Mandiri ternyata keropos. Butuh sekitar Rp 150 triliun untuk menyehatkannya.

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELESETAN "mari menghemat" bagi Mar?ie Muhammad, agaknya, bakal kembali populer. Kali ini, "sebutan akrab" itu bukan lagi ditujukan kepada seorang menteri keuangan yang taat anggaran, tapi untuk presiden komisaris (preskom) satu bank pemerintah yang harus bersikap "pelit".

Sejak dua pekan lalu, Mar?ie resmi ditunjuk menjadi komandan, menjadi preskom, Bank Mandiri. Bank baru ini merupakan hasil penggabungan empat bank pemerintah, yaitu Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bapindo, dan Bank Exim. Secara bertahap, Bank Mandiri akan mencaplok kekayaan keempat bank ini. Suatu saat kelak, targetnya dua tahun, keempat bank pelat merah itu sepenuhnya melebur ke Bank Mandiri.

Akan mudahkah tugas Mar?ie? Justru di situlah persoalannya. Kalau melihat kinerja keempat bahan bakunya, Bank Mandiri mustahil bisa menjelma menjadi bank yang sehat--kecuali dengan biaya yang amat besar. Sejumlah analis industri keuangan menilai, persoalan utama Bank Mandiri terletak pada bahan bakunya. Mereka menganggap keempat bank pemerintah ini bukan bank yang sehat. Malah, menurut perhitungan analis perbankan senior Damianus Indyarta, bank-bank BUMN ini, "Mestinya sudah bangkrut."

Persoalannya jelas: kredit macet membengkak segede gajah. Diperkirakan tingkat kredit macet di keempat bank itu sudah mencapai 60 persen dari total kredit. Dengan kredit macet segede ini, modal keempat bank itu kini minus Rp 130 triliun. Untuk menyehatkannya, Damianus menaksir, pemerintah harus menginjeksi dana sampai Rp 150 triliun atau sekitar 20 persen dari tingkat produk domestik bruto. Dari mana dana segede itu akan diperoleh? "Ya, dari mana lagi kalau bukan APBN," jawabnya.

Kalau hitungan itu benar, pembentukan Bank Mandiri jelas bukan pekerjaan mudah. Tak hanya bagi Mar?ie--yang barangkali mesti lebih sering memakai jurus penghematan--tapi juga bagi rakyat yang harus menanggung ongkos ratusan triliun.

Sulit dibantah, keempat bank BUMN itu, tampaknya, tak dikelola secara hati-hati. Kesimpulan seperti ini bisa didapat dengan mengaduk-aduk laporan keuangan tiga bank (BBD, BDN, dan Bapindo) yang sudah dipublikasikan. Kinerja Bank Exim memang sulit diraba.Tapi, para analis yakin, Exim justru lebih buruk dari lainnya. Soalnya, sejak kalah main valuta asing tahun lalu, Bank Exim tak lagi menerbitkan laporan keuangan.

Dari laporan keuangan itu, satu hal bisa dilihat: pengelolaan ketiga bank itu amat sembrono. Ini tampak jelas dalam hal pengelolaan kredit. Di luar dugaan banyak orang, selama setahun masa krisis ekonomi (dari 30 Juni 1997 sampai 30 Juni 1998), ketiga bank pelat merah itu justru mengobral pinjaman. Grafik 1 menunjukkan, rata-rata pertumbuhan kredit (dalam nominal) rupiah di ketiga bank ini mencapai 29 persen.

Ini mengejutkan. Dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan kredit rupiah di perbankan swasta yang tak sampai lima persen, angka ini jelas amat istimewa. Siapa pun tahu, pemberian kredit di saat tingkat likuiditas begitu ketat amat berisiko. Ketika itu, tingkat suku bunga pinjaman amat tinggi, berkisar antara 45 dan 60 persen. Perekonomian juga sedang menyusut. Pada zaman krisis seperti itu, siapa pula yang bisa berbisnis dengan tekanan bunga setinggi itu? Bisa dipastikan, kredit baru yang diberikan saat krisis punya potensi besar untuk macet.

Betul, bank-bank pemerintah ini likuiditasnya melimpah ruah. Mereka mendapat keuntungan dari

gelombang ketakpercayaan publik pada bank swasta, yang meletup sejak tahun lalu. Masyarakat yang panik langsung memindahkan tabungannya ke bank pemerintah--yang dianggap kebal bangkrut. Mereka tak peduli dengan imbalan bunga seadanya. Yang penting aman. Hasilnya, bank-bank BUMN kebanjiran dana murah.

Mestinya, limpahan duit murah tak diobral untuk kredit yang berisiko tinggi, tapi dimainkan di pasar uang. Menurut Lin Che Wei, analis perbankan ASEAN dari SocGen Securities Singapura, di masa krisis, memperbanyak penempatan bank dalam aset lancar--seperti pinjaman antarbank atau Sertifikat Bank Indonesia--jauh lebih menguntungkan ketimbang melempar kredit. Sudah bunganya lebih tinggi, risikonya juga relatif rendah. Jurus ini jugalah yang bisa menyelamatkan sejumlah bank dari ancaman kebangkrutan.

Langkah Bank Internasional Indonesia (BII), misalnya, bisa menjadi contoh. Selama setahun terakhir, bank milik kelompok usaha Sinar Mas ini menurunkan jumlah kredit rupiah jadi tinggal 80 persen dan kredit dolarnya jadi tinggal 85 persen. Sebagai gantinya, BII menggenjot penempatan di pasar uang. Hampir separuh kekayaan BII ditempatkan pada pos-pos yang lancar. Hasilnya, pendapatan bunga bersih BII dalam setahun terakhir (30 Juni 1997-1998) mencapai Rp 700 miliar. Sejumlah bank swasta lain memakai jurus yang sama dengan BII. Untuk menyebut beberapa contoh, di antaranya Bank Lippo, Bank Panin, dan Bank Buana.

Karena itu, menjadi pertanyaan, mengapa bank-bank BUMN tadi tak banyak bermain di pasar uang. Ada beberapa versi jawaban. Ada yang percaya, selama ini bank BUMN memang menjadi "sapi perahan". Mereka merupakan bandar untuk sejumlah proyek kakap para konglomerat. Ketika krisis ekonomi mendera, beberapa di antara konglomerat itu terancam bangkrut. Pada saat itulah mereka terus merongrong bank pemerintah dengan berbagai pinjaman baru.

Sebenarnya, ledakan kredit di masa krisis moneter tak hanya terjadi di tiga bank itu. Di Bank BNI, bank "pemerintah" yang sudah masuk bursa, pun soal yang sama muncul. Selama setahun krisis, nilai kredit rupiah di BNI membengkak 91 persen, dari Rp 17,2 triliun menjadi Rp 33 triliun.

Skenario kedua menyebut, pembengkakan pinjaman itu sebenarnya semu. Kredit tambahan itu merupakan akumulasi dari bunga kredit yang macet. Ini persis seperti ungkapan gali lubang tutup lubang: untuk mengganti bunga yang tak terbayar, bank seolah-olah menerbitkan kredit baru lagi.

Tapi, apa pun sebabnya, pembengkakan kredit itu melahirkan penyakit baru yang amat serius. Namanya negative spread (selisih negatif). Dalam perbankan, istilah ini bisa dijelaskan sebagai kerugian pendapatan bunga. Ini terjadi jika bunga simpanan bank lebih tinggi dari bunga pinjaman. Selisih bunga negatif juga bisa muncul jika bank terlalu banyak menggembol kredit macet. Dalam Grafik 2 bisa dilihat bahwa ancaman negative spread bagi bank BUMN luar biasa besarnya.

Padahal, kalau mau diurut, bunga merupakan nyawa bisnis perbankan. Bank menerima simpanan masyarakat (dengan membayar bunga tabungan), lalu menyalurkannya sebagai kredit. Untuk jasanya itu, bank mengutip selisih bunga. Memang, belakangan, bank menjalankan juga semacam bisnis sampingan, misalnya menerima pembayaran telepon, pengiriman uang (transfer), dan jual beli mata uang. Tapi, bagaimanapun, porsi pendapatan bunga mestinya jauh lebih mantap ketimbang komisi yang lain.

Repotnya, di tiga bank BUMN itu, situasinya malah jungkir balik. Pendapatan bunga minus triliunan rupiah. Untunglah ketiga bank ini mendapatkan sumber pengganti: kompensasi dari komisi jual beli valas. Jumlah komisi ini ternyata sangat dahsyat (lihat Grafik 3). Sampai-sampai, kalau mau dibandingkan pendapatan bunga dengan komisi valas, bank-bank ini lebih cocok disebut sebagai tempat penukaran uang alias money changer ketimbang sebuah bank. Agaknya, begitu banyak orang yang selama ini menukarkan dolar atau rupiahnya ke bank pemerintah.

Dengan proporsi penghasilan seperti ini, bank-bank itu berada dalam bahaya. Komisi valas sangat tidak pasti. Jika gejolak nilai tukar mereda, hasil komisi akan merosot. Soalnya, selisih jual beli valas (spread kurs) akan menyempit. Lima-enam bulan lalu, di masa puncak gejolak nilai tukar, selisih kurs beli dengan kurs jual bisa Rp 1.000, sedangkan kini cuma Rp 500. Selain itu, minat para investor untuk bermain uang juga makin menyusut. Artinya, andai saja bank-bank itu saat ini tetap mengandalkan sumber pendapatannya dari selisih kurs jual beli, mereka bakal merugi berat.

Nah, melihat isi perut yang kurang sedap, rasanya memang berasalan jika sejumlah analis pesimistis dengan masa depan Bank Mandiri. Bisa saja bank yang dijagokan pemerintah ini akan sukses, kelak. Tapi, untuk itu, perlu dana yang sangat besar. Jumlah Rp 150 triliun tadi cuma ancar-ancar kasar. Pada kenyataannya nanti, itu bisa lebih besar lagi.

Bagi Damianus, ongkos segede itu tak masuk akal. APBN kita pasti akan membengkak dua kali lipat jika biaya penyehatan Bank Mandiri diperhitungkan. La, dari mana sumbernya? Apa harus pinjam lagi ke luar negeri?

DSI, Bintari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus