Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pro-Kontra Kontrol Devisa

12 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengapa Harus Kontrol Devisa

  1. Perekonomian Indonesia mandek

    Dolar melambung, inflasi membubung. Suku bunga dikerek tinggi. Biaya modal jadi naik, daya beli merosot. Akibatnya, sektor riil macet, mesin-mesin pabrik terancam mandek. Bahaya pengangguran makin besar. Daya beli bisa makin anjlok. Agar jerat resesi tak makin parah, roda perekonomian harus kembali diputar.

  2. Bunga bank harus turun, belanja pemerintah digenjot

    Bagaimana caranya? Ada dua jalan: anggaran belanja pemerintah jangan dicekik, suku bunga bank harus turun. Tapi, risikonya, jika bunga rendah, para pemegang rupiah tak punya insentif untuk menabung. Mereka bisa lari ke dolar. Rupiah anjlok, dolar berjaya. Harga-harga bisa makin menggila. Solusinya: hubungan antara suku bunga dan pergerakan kurs harus dipotong.

  3. Satu-satunya cara: kontrol devisa

    Suku bunga rupiah mesti turun tanpa menekan rupiah. Caranya, perekonomian domestik harus diisolasi dari faktor eksternal. Kalau suku bunga diturunkan, pemegang rupiah tak boleh lari menubruk mata uang lain, seperti dolar. Menurut Adrian, hanya ada jurus tunggal: lalu lintas devisa harus dikontrol. Arus modal jangka pendek, yang membuat kurs terus gonjang-ganjing, harus dibatasi.

  4. Dana domestik mesti kuat

    Dengan kontrol devisa, investor asing ngeri masuk ke Indonesia. Akibatnya, perekonomian harus bergulir dengan kekuatan sendiri. Dan karena kemampuan dana domestik terbatas, perekonomian tumbuh lamban. Tapi, begitu perekonomian beringsut, betapapun pelannya, risiko usaha menurun. Harapannya, duit yang diparkir di luar negeri akan mulai mengalir pulang mempercepat pertumbuhan.

Mengapa Kontrol Devisa Tak Efektif

  1. Dana domestik? Mana ada?

    Pada kurs Rp 10 ribu per dolar, menurut hitungan M. Chatib Basri, 70 persen perusahaan publik yang terdaftar di bursa Jakarta akan bangkrut. Beban utang mereka sudah jauh melampaui nilai kekayaannya. Artinya, perusahaan tak mampu membayar kewajiban. Kemampuan mendanai diri sendiri (menambah modal kerja) juga tak ada.

  2. Bunga turun tak otomatis menggerakkan perekonomian

    Suku bunga bisa turun, tapi perbankan tetap berkutat dengan kesulitan likuiditas. Demi penyehatan bank, kelebihan pemberian kredit ke grup sendiri harus dilunasi. Kredit bermasalah--yang jumlahnya melambung hingga 75 persen total kredit--harus diimbangi suntikan modal. "Biar bunga turun, bank tak bisa menyalurkan kredit," kata Chatib. Akibatnya, investasi tetap mandek.

  3. Kontrol devisa bukan sistem yang bisa diandalkan

    Kontrol devisa rawan manipulasi. Eksportir--yang wajib menempatkan devisa di bank sentral--menurunkan pelaporan hasil ekspor alias underinvoicing. Sebaliknya, importir--yang dapat membeli valuta asing pada kurs resmi--menaikkan harga barang impor alias mark-up. Akibatnya, yang dijaring sedikit, yang dibobol banyak, keculai kalau birokrasi pemerintahan bersih dari suap.

  4. Waktu penerapannya tidak tepat

    Ibaratnya korban kecelakaan, Indonesia mengalami pendarahan berat. Gonjang-ganjing politik dan kerusuhan rasial mendorong orang memarkir duitnya di luar negeri. Ibaratnya kuda-kuda sudah telanjur lepas, mengapa kandang mesti dikunci?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus