PANEN raya jeruk Pontianak memang ditunggu-tunggu. Banyak pihak penasaran, adakah PT Bima Citra Mandiri sebagai pemegang tata niaga, mampu menyerap seluruh jeruk atau tidak. Dan tak sedikit yang pesimistis, apalagi tiga pemegang tataniaga terdahulu telah gagal total. Ketiganya tak mampu menyerap jeruk hasil panen raya, dan begitu saja menyerah. Otomatis, harga jeruk kembali ditentukan para pedagang besar. Tahun ini, pada bulan kedua panen raya, PT Bima Citra Mandiri (BCM), pemegang tata niaga keempat, masih bisa menjamin pembelian jeruk pada harga dasar yang ditetapkan. Hanya tampaknya, BCM mulai kewalahan. Memang panen raya baru akan mencapai puncak Juni dan Juli mendatang. Pada saat itu diperkirakan panen jeruk akan mencapai 120.000 ton. Namun, pekan lalu BCM sudah minta bantuan tiga pedagang besar untuk ikut mengamankan tata niaga jeruk. Ketiganya, PT Mekar Citra Abadi, PT Segar Utama, dan PT Harapan Anda, yang sebelum tata niaga menguasai perdagangan jeruk, berperan sebagai koordinator terhadap 30 KUD yang membeli jeruk dari petani lewat TPK (tempat pelayanan koperasi). Tak ayal lagi, rantai tata niaga pun semakin panjang. Langkah yang diambil BCM itu dianggap perlu untuk menjamin kualitas jeruk. "Dengan koordinator, ada jaminan BPKTJ akan mendapat jeruk sesuai dengan kualitas yang ditentukan," kata Joesoef Abdoellah, Ketua Badan Pelaksana Koordinasi Tataniaga Jeruk (BPKTJ), yang juga Direktur Utama PT BCM. Ia yakin, tiga pedagang besar itu menguasai banyak TPK sehingga bisa mengendalikan kualitas jeruk. Apalagi, ada dugaan tiga pedagang besar itu sengaja merongrong BPKTJ agar perdagangan jeruk di Kalimantan Barat dilepas kembali ke mekanisme pasar. Maka, dengan partisipasi mereka, Joesoef berharap pengalaman menampung jeruk "batu" tak bakal terulang. Dua pekan lalu, BCM menerima kiriman 5.000 ton jeruk dari beberapa KUD, yang setelah disortir, tak memenuhi batas kematangan 80%. BCM segera mengembalikan jeruk "batu" yang baru 60% matang itu. Kini, BCM atau BPKTJ tinggal membeli jeruk dengan kematangan 80% sampai 90% dari tiga pedagang besar. Risiko mendapat jeruk batu, otomatis -- berpindah kepada tiga pedagang itu. Ternyata, mereka tak segera turun ke lapangan. Rupanya, masih ada masalah lain yang perlu dituntaskan. Masalah itu adalah tunggakan utang BCM di beberapa KUD. Di KUD Semula Lagi yang membawahkan 26 TPK, misalnya, utang BCM mencapai Rp 25 juta. Di KUD Setia Usaha, BCM berutang Rp 115 juta, dan di KUD Sangge Parang di Kecamatan Tebas, utang BCM Rp 60 juta. Sampai saat ini, BCM sedang menghitung seluruh utang pada KUD yang sudah menyerahkan jeruknya. Diperkirakan, utang BCM mencapai Rp 600 juta. "Itu hanya masalah administrasi saja, dana tidak jadi masalah," kata Wachid Ngadiman, salah seorang Direktur BCM. Ia memang boleh sesumbar karena BCM punya modal kerja sebesar Rp 20 milyar ditambah kredit Rp 79 milyar dari Bank Internasional Indonesia. Sayang, Wachid kurang paham kalau uang tunai sangat dibutuhkan KUD agar bisa terus membeli jeruk. Soalnya, KUD tak pernah punya uang sendiri. Fungsinya hanya menerima uang dari BCM dan menyalurkan kepada TPK maupun petani sambil mendapat restribusi Rp 10 untuk tiap kg jeruk. Sebaliknya, para petani dan TPK yakin bahwa KUD menerima dropping uang dari BCM. "Saya pernah ditekan petani dan TPK yang menuntut pembayaran. Sepengetahuan mereka, kami sudah terima uang," kata Ketua KUD Sangge Parang, Darmadji. Kelak, setelah urusan utang BCM beres, barulah tiga pedagang besar itu tadi membeli jeruk dari KUD. Dan tiga pedagang yang sudah belasan tahun menggarap perdagangan jeruk itu berjanji akan membeli semua jeruk dengan kematangan di atas 80% -- pada saat puncak panen raya sekalipun. Abu Hasan, pemilik PT Mekar Citra Abadi, tak lupa mengumbar janji. "Kami akan bayar kontan," katanya. "Setiap ada jeruk datang selama 24 jam, kami bayar," demikian Abu Hasan yang siap membeli dengan harga dasar, yaitu Rp 600/kg (kategori AB), Rp 400/kg (kategori C), Rp 200 (kategori C), dan Rp 100 (kategori E). Bagi Pemerintah Daerah Tingkat II Sambas yang merupakan penghasil jeruk terbesar di KalBar, tak ada masalah dengan masuknya tiga pedagang besar, selama harga dasar, pendapatan petani, dan restribusi Pemda terjamin. Yang dikhawatirkan, perdagangan langsung antarpetani dan tiga pedagang besar. "KUD kalau malam tutup, padahal pedagang besar biasa bekerja nonstop 24 jam," kata Bupati Kabupaten Sambas, Syafei Djamil. Jika terjadi perdagangan langsung, tanpa kontrol KUD, tentu harga dasar dan retribusi Pemda tak terjamin pemasukannya. Di kalangan petani sendiri, hadirnya BCM disambut baik. "Sampai saat ini harga dasar masih dipertahankan," kata H. Ali, seorang petani yang punya 4.000 pohon jeruk. Ia hanya menyesalkan kategori AB yang menetapkan radius buah jeruk harus 6,3 cm. Ia mengharap agar ukuran diubah menjadi 6 cm. "Kalau tidak, hampir tidak ada jeruk kategori AB," tambah Ali. Kamis pekan lalu, dalam dialog antarpetani jeruk dengan Bambang Trihatmodjo, bos Bimantara Citra induk perusahaan BCM -- di Simpuan, Kecamatan Pemangkat, para petani minta agar tata niaga dipertahankan. Mereka yang berkumpul di situ segera bersorak "diteruskan" ketika Bambang Trihatmodjo menanyakan, apakah tataniaga akan diteruskan atau tidak. Kalau benar begitu, BCM tentu jalan terus. Soal mata rantai yang semakin panjang, bukan masalah. Setidaknya BCM masih bisa mencari margin laba dari harga beli Rp 23.750 dan harga jual yang mencapai Rp 25.000 tiap petinya. Liston P. Siregar (Jakarta) dan Djunaini K.S. (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini