RAPAT umum pemegang saham (RUPS) PT United Tractors (UT), yang berlangsung Rabu pekan lalu di Hotel Hilton, mencuatkan satu tanda tanya besar. Pasalnya, United Tractors adalah penyumbang keuntungan nomor tiga di dalam Astra Group. Tapi mengapa Presiden Komisaris Astra International Inc., William Soeryadjaya, tak memerlukan hadir pada RUPS UT tersebut? Bos Astra itu agaknya menghindar dari khalayak ramai. William Soeryadjaya akrab dipanggil Oom Willem dalam beberapa pekan terakhir dikabarkan sedang menghadapi masalah yang teramat pelik. Siapa pun yang berada dalam posisi yang kini ditempati William, tentu merasa seakan tercemplung dalam kegawatan yang tiada duanya. William Soeryadjaya dalam tempo 35 tahun telah sukses mengembangkan Astra hingga menjadi grup usaha dengan reputasi bisnis yang hampir tanpa cela. Ia jatuh bangun (lihat Mukjizat Kedua), tapi tiap kali berhasil bangkit lagi. Dan semakin jaya. Masalahnya kini, apakah di ujung lorong yang gelap itu akan tersembul cahaya. Pertanyaan ini tidak terlalu mengada-ada, karena tekanan beban Summa kabarnya telah mendorong Oom Willem untuk menjual mayoritas saham keluarga Soeryadjaya di Astra. Dari sekitar 242 juta saham PT Astra International Inc. (AII) yang tercatat di bursa efek (Jakarta dan Surabaya), keluarga William menguasai hampir 76%. Tak jelas berapa persen yang akan dilepas -- isu beredar menyebutkan 30%. Jika keluarga Soeryadjaya terpanggil untuk melepas saham mereka demi Summa, hal itu tak lain karena Summa adalah milik Edward Soeryadjaya, putra sulung Oom Willem. Summa didirikan Edward di luar negeri (Filipina) dan mulamula bergerak di bidang perbankan dan keuangan. Setelah mencatat sukses yang lumayan, Edward kemudian membawa Summa ke Indonesia. Ia lalu menancapkan Bank Summa (tahun 1988) dengan membeli Bank Agung Asia, sebuah bank yang waktu itu hampir bangkrut. Mungkin karena Edward selalu menggebu, Bank Summa seperti dipacu habis-habisan untuk memperbesar aset. Cabangnya dibuka di berbagai pelosok Tanah Air, bahkan di tempat yang paling tidak -- menjanjikan keuntungan sekalipun. Toh dalam tempo tiga tahun aset Summa sempat menggelembung dua kali lipat dari Rp 800 milyar menjadi Rp 1.700 milyar (akhir tahun 1991). Sebagian besar dana tersebut rupanya merupakan pinjaman dari luar negeri. Akhir tahun lalu, Edward mengakui bahwa ada sekitar Rp 200 milyar ditariknya dari Jerman lewat Summa Handelsbank AG di Dusseldorf. Sejajar dengan itu, Edward sangat agresif melebarkan Grup Summa ke bisnis properti (antara lain mendirikan Bandung Indah Plaza, membeli tanah dan gedung Pujasera di Jalan Sudirman, Jakarta, Sim Lim Tower di Singapura). Summa kemudian membeli sejumlah hotel (antara lain Garden Hotel dan Sabang Hotel di Jakarta), Mirama di Surabaya, bahkan juga sebuah hotel berkamar 100 di Perth, Australia. Entah bagaimana, pinjaman dari luar negeri itu tak seluruhnya bisa dicairkan. Sementara itu, sejak tahun 1990 di Indonesia bertiup badai kebijaksanaan uang ketat (tight money policy) yang mengakibatkan banyak proyek Summa "porak-poranda", termasuk pembangunan Hotel Bandung Indah dan sebuah superblock di Singapura. Lalu, dampak buruknya datang begitu cepat dan tak terelakkan. Banyak kredit jatuh tempo, sementara proyeknya belum menghasilkan. Melihat Edward dalam posisi terjepit, Oom Willem dan anggota keluarga Soeryadjaya merasa ikut bertanggung jawab. Bahkan, sejak akhir tahun lalu, Edward sudah dianjurkan untuk istirahat saja. Manajemen Summa lalu dipercayakan kepada Ir. Hagianto Kumala. Hagianto, yang sebelumnya menjabat Wakil Dirut PT United Tractors, dalam membenahi Summa dibantu oleh direksi Astra, khususnya Edwin Soeryadjaya. Pada Desember 1991, keluarga Soeryadjaya sudah menjual 1% saham mereka di Astra. Hasilnya, Rp 30 milyar lebih, dipakai semata-mata untuk menyuntik Summa. "Itu sebenarnya aneh. Sebagai perseroan terbatas, mestinya kan risiko Summa terbatas pada modal yang disetor pemegang saham. Kok, keluarga Soeryadjaya harus ikut-ikutan menjual saham mereka di Astra?" seorang chief executive sempat bertanyatanya. Namun, yang sesungguhnya ingin disingkap adalah utang Summa. Menurut seorang pengusaha, pinjaman yang sudah harus dibayar Summa pada akhir tahun lalu berjumlah US$ 650 juta (sekitar Rp 1,3 triliun). Tak heran jika untuk menutup utang-utang Summa, Oom Willem harus menjual sebagian besar saham AII. Dengan harga saham AII yang belakangan ini Rp 10.000 hingga Rp 13.000, keluarga Soeryadjaya harus melepaskan tak kurang dari 100 juta lembar. Jika benar demikian, transaksi mesti dilakukan lewat bursa. Sebab, sejak 20 Desember 1991, PT AII telah melakukan company listing, dengan mencatatkan seluruh saham yang berjumlah 242 juta lembar di bursa Jakarta dan Surabaya. Saham PT AII yang dipegang Oom Willem bersama konco-konconya, yang berkongsi dalam PT Surya Satiyasakti Jaya, berjumlah 102.699.500 atau 42, 40% dari seluruh saham AII. Sedangkan putra-putrinya (Edward, Edwin, Yudith, dan Joice) masing-masing 6,58%. Namun, semua saham anak-anak kabarnya juga sudah dipegang Oom Willem. Jika benar Oom Willem hendak melepaskan saham secara block, itu tentu tidak dilakukan terbuka. Cara yang paling tepat adalah private placement, sebagaimana dilakukan PT Semen Gresik ketika melepaskan sahamnya di PT Semen Cibinong secara en block kepada Hasyim Djojohadikusumo tahun 1990. Langkah serupa juga telah dilakukan Oom Willem akhir tahun lalu ketika melepaskan 1% saham AII. "Bahkan kami bisa mendapatkan harga di atas pasar," kata Edwin kepada TEMPO. Siapa pembeli saham tersebut, belum terungkap. Kemungkinan besar adalah General Electric C. Corporation, perusahaan keuangan dari Amerika. Sementara itu, tiga bank di dalam negeri, yakni Bank Exim, Bapindo, dan Bank Danamon, kabarnya juga sudah diajak Edwin membeli saham Astra. Bank Exim dan Bapindo masing-masing bersedia membeli saham senilai Rp 400 milyar, sedangkan Danamon sekitar Rp 200 milyar. Direktur Utama Bapindo, Soebekti Ismaun, tak membantah atau mengiyakan hal itu. "No comment," kata Soebekti kepada Iwan Qodar dari TEMPO. Sedangkan direksi Bank Exim belum dapat dikontak. Adapun Usman Admadjaja, bos PT Bank Danamon Indonesia, mengakui telah dihubungi Edwin untuk menjajaki kemungkinan pengambilalihan saham PT Astra International. Hal itu ditegaskan dalam siaran pers Bank Danamon 21 Mei lalu. Sementara itu, Ahad pekan lalu, satu tim dari Toyota Jepang juga telah mengadakan pertemuan tertutup dengan keluarga Soeryadjaya di Sahid Jaya Hotel, Jakarta. Dalam pertemuan itu, kabarnya Toyota diajak untuk mengambil alih sebagian saham keluarga Soeryadjaya di AII dengan harga sekitar US$ 250 juta (Rp 500 milyar). Sebegitu jauh, belum diketahui kelanjutannya. Dalam acara makan malam Rabu silam, juru bicara PT AII, Palgunadi T. Setyawan, yang didampingi Presdir PT AII, T.P. Rachmat, mengakui, Oom Willem pernah menyampaikan kepada direksi bahwa ia berniat menjual saham-sahamnya. "Kami dari direksi menasihatkan, kalau Oom hendak menjual saham, sebaiknya dicari perusahaan internasional yang bisa meningkatkan keahlian manajemen Astra serta melempangkan produk Astra ke pasar internasional," ujar Palgunadi, hati-hati. Mengingat begitu banyak pihak yang diajak keluarga Soeryadjaya, sulit dihindarkan kesan bahwa pemilikan saham Astra nantinya akan terpecah-pecah dalam beberapa kelompok. Namun, jika keluarga Soeryadjaya masih memegang sekitar 10%, dan dalam RUPS luar biasa mereka bisa berkongsi suara dengan Bank Eksim, Bapindo, dan Danamon, bukan mustahil manajemen AII akan tetap berada di tangan Oom Willem. Yang pasti, Palgunadi mengatakan, sampai kini jumlah saham AII di tangan Oom Willem belum berubah. Dan tampaknya RUPS PT AII, yang direncanakan Rabu pekan ini, juga akan berlangsung tenang, tanpa gejolak. Max Wangkar, Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini