EFISIENSI adalah jurus yang diterapkan oleh banyak pengusaha, agar selamat menempuh Tahun Monyet 1992 yang serba tidak pasti ini. Bakrie Group dan Gemala Group (Sofyan Wanandi) bahkan sempat berniat menjual anak perusahaannya yang dianggap tidak menguntungkan lagi. Hal itu diungkapkan oleh Aburizal Bakrie dan Sofyan Wanandi, ketika ditanya apakah pendapat mereka tentang prospek bisnis tahun 1992. Namun, sebelum terdengar abaaba dari pengusaha swasta untuk menjual salah satu perusahaan mereka, yang justru mencuat adalah berita tentang pengalihan saham mayoritas sebuah BUMN. Senin pekan ini, 55% saham pabrik kertas PN Padalarang resmi beralih ke tangan swasta -- patungan PT Risjadson dan Arjo Wiggin SA. Penandatanganan perjanjian itu dilakukan di Hotel Borobudur, Jakarta. Dalam proses swastanisasi BUMN ini, Risjadson memastikan diri menguasai 35% saham, sementara 20% sisanya akan dimiliki oleh Arjo Wiggin SA. Dengan demikian, "Kebijaksanaan menyangkut perkembangan Padalarang akan lebih banyak ditentukan oleh gabungan mereka, sebagai pemegang saham mayoritas." Hal ini dikemukakan oleh seorang pejabat Departemen Keuangan kepada Bina Bektiati dari TEMPO. Risjadson adalah kelompok bisnis yang didirikan pada tahun 1989 oleh Ibrahim Risjad, tokoh yang selama ini lebih banyak berada di bawah bayang-bayang Salim Group. Ternyata, tangan dingin Ibrahim Risjad kelahiran Sigli (Aceh) 1934 kemudian berhasil menumbuhkan Risjadson sebagai induk dari 30 lebih perusahaan yang bergerak di berbagai sektor usaha. Ada anak perusahaannya yang bergerak di perdagangan internasional (PT Multi Continental), perbankan (Bank Windu Kentjana dan Risjad Salim Bank), real estate (antara lain Park Royal Apartment), industri kosmetik (PT Ayu Agung), industri kayu (PT Abdikayu Indoraya), dan pabrik kertas (PT Kimsari Paper Indonesia). Akan halnya Arjo Wiggin S.A. adalah sebuah perusahaan Prancis yang dikenal luas sebagai produsen kertas-kertas berharga terkemuka serta menguasai 30% pangsa pasar internasional. Kabarnya, untuk memastikan kesediaan Arjo Wiggin untuk bekerja sama dengan Risjadson dalam proses swastanisasi Padalarang ini, diperlukan negosiasi selama dua tahun. Kendati Risjadson sudah berpengalaman sebagai industriwan kertas (kertas rokok, kertas ketik, dan plugwrap paper), rupanya pihak Arjo Wiggin tidak langsung bersedia bekerja sama. Mereka sangat selektif memilih mitra usaha. Sebagai pemegang kuasa semua BUMN, tampaknya Departemen Keuangan kini boleh tenang melepaskan Padalarang ke tangan pemiliknya yang baru. Reputasi Arjo Wiggin merupakan jaminan untuk itu. Dan pengalihan saham ke swasta tersebut memang diharapkan akan memperbaiki tingkat efisiensi Padalarang. "Kalau Padalarang sudah kurang efisien dan ada pihak yang hendak memperbaikinya, ya silakan," begitu komentar sumber TEMPO di Departemen Keuangan. Lebih dari sekadar peningkatan efisiensi, pengalihan saham kepada Risjadson & Wiggin memang sesuai dengan rencana pengembangan yang dilakukan direksi Padalarang. Dirut Padalarang (sebelum pengalihan) L. Rahardi pernah menyatakan, "Tahun 1992, kami akan membangun lagi pabrik uang kertas dan cek." Kalau benar, berarti Pemerintah tidak akan bergantung pada luar negeri untuk pengadaan kertas uang dan kertas-kertas berharga lainnya. Dan dari sini, bisa dihemat devisa sekitar Rp 60 milyar per tahun. Di lain pihak, Risjadson & Wiggin boleh mulai menghitung laba, setelah pembelian saham yang nilainya tidak diungkapkan secara gamblang itu. Soalnya, Padalarang adalah satu-satunya pabrik kertas yang ditunjuk Pemerintah untuk memproduksi kertas-kertas berharga. Pokoknya, 90% kebutuhan kertas berharga dalam negeri dipasok Padalarang. Kecuali itu, perusahaan ini juga memasok kebutuhan kertas instansi Pemerintah, seperti Pemda, Bea Cukai, BPN, P dan K, dan IPTN. Untuk peningkatan kualitas dan kuantitas pembuatan kertas berharga, sekarang ini akan tergantung pada pengalihan teknologi yang sudah dikuasai Arjo Wiggin. Kalau semuanya lancar, sesuai dengan harapan dan janji, Padalarang versi baru tidak mustahil mengembangkan diri ke pasar internasional. "Kami akan masuk terutama ke negara-negara ASEAN," kata Corporate Secretary (Business Planing Dept.) Risjadson Group, Faisal Ibrahim. Perkara ekspor, Padalarang sudah berdiri 69 tahun silam, semula dengan nama NV Niymegin Papier Fabriek dan diambil alih pemerintah RI 1960 sebenarnya sudah cukup berpengalaman. Akhir April 1991, perusahaan yang dulu popoler dengan kertas merang berlogo burung hantu ini sudah mengekspor water mark paper (jenis kertas dengan kerahasiaan) ke Malaysia. Itu terjadi setelah Padalarang memenangkan tender, melawan pabrik kertas sejenis dari Inggris, Prancis, dan Jerman. Kemampuan tersebut diperolah setelah direksi melakukan efisiensi dan renovasi. Tahun 1988, misalnya, ada penambahan mesin-mesin baru yang dibeli dari Korea Selatan senilai Rp 2,5 milyar. Tiga mesin itu untuk mengolah kertas (berkapasitas 2.400 ton per tahun), kertas sigaret (3.000 ton per tahun), dan mesin kertas tulis/cetak (1.800 ton per tahun). Sebelum pembenahan tersebut, Padalarang memang sempat terengah-engah menghadapi persaingan yang ketat di dalam negeri, apalagi kualitas produknya waktu itu masih rendah. Kini, dalam kondisi yang jauh lebih baik, pengalihan mayoritas saham Padalarang ke swasta tak ubahnya seperti menambah bahan bakar saja bagi sebuah kereta yang sedang melaju. Bahwa kemudian Padalarang menjadi lebih efisien dan berkembang, itu merupakan kewajiban yang selayaknya dipenuhi pihak Risjadson & Wiggin. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini