Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah riset Carnegie Endowment for International Peace belum lama ini menemukan fakta mengejutkan. Setidaknya 52 negara di seluruh dunia, termasuk Uganda, Mongolia, dan Zimbabwe, saat ini sedang melakukan uji coba sistem facial recognition (pengenalan wajah) teknologi Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perusahaan-perusahaan Cina yang menjalankan bisnis ini sudah lebih dulu memimpin pasar internasional yang sedang berkembang saat ini. Keunggulan ini bukan saja soal teknologi, namun mereka juga diuntungkan sistem otoritarianisme Cina di mana privasi warga bukanlah sesuatu yang diutamakan. Menurut IHS Markit, Cina bertanggung jawab terhadap hampir setengah dari bisnis global teknologi pengenalan wajah pada 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Banyak protes terjadi di berbagai belahan dunia, mulai dari Lebanon ke Chile dan Irak. Banyak dari negara-negara ini, entah itu yang menganut paham demokrasi liberal atau pun yang lebih otokratis, berada dalam posisi yang lemah,” kata Steven Feldstein, peneliti yang merupakan bagian dari Carnegie Institute, sebuah badan penelitian Amerika Serikat. “Sekarang ada teknologi yang memungkinkan mereka melawan mobilisasi politik.”
ATM milik China Merchants Bank yang sudah memakai teknologi pengenalan wajah. (dailymail.co.uk)
Kritikus serta para pendukung hak asasi manusia menuduh Cina dan perusahaan-perusahaan teknologi pengawasan sedang melakukan ‘ekspor otoritarianisme’ melalui teknologi rumah tangga sebagai bagian dari pengetatan sektor pengamanan (security crackdown) yang berujung pada penahanan lebih dari 1,8 juta orang, yang didominasi oleh masyarakat Muslim Uighur di Xinjiang.
Yang dilupakan banyak orang, Cina mungkin memiliki perusahaan-perusahaan teknologi pengawasan yang paling sukses, tapi mereka bukan satu-satunya yang menyuplai teknologi tersebut ke pemerintah. Rival mereka seperti Israel, Jepang, dan Amerika juga berkompetisi dalam hal yang sama, serta banyak yang menyuplai komponen dari AS.
Berdasarkan penelitian Feldstein mengenai ekspansi global teknologi pengawasan intelegensi artifisial, perusahaan teknologi Cina - khususnya Hikvision, Huawei, Dahua, dan ZTE - memasok ke negara-negara mulai dari Australia sampai Myanmar dan Kazakhstan.
“Perusahaan-perusahaan ini sangat tepat untuk menyediakan [kemampuan teknologi pengawasan yang mutakhir],” kata Feldstein yang menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut juga bersedia memasarkannya apabila kompetitor Barat kurang berminat untuk melakukannya.
Huawei, yang masuk daftar hitam atas dugaan ancaman keamanan nasional AS tahun ini, menyuplai peralatan pengawasan - termasuk teknologi pengenalan wajah (facial recognition) - ke 230 kota di dunia; dari Eropa hingga Asia dan bahkan Afrika.
Di jalan-jalan raya menuju ibu kota Kenya, Nairobi, terlihat kamera pengawas menyala setiap mobil keluar masuk perimeter pusat kota, menangkap dan menganalisa identitas individu-individu yang ada di dalam kendaran-kendaran itu. Perusahaan telekomunikasi Cina, Huawei, sesumbar bahwa produk kamera mereka telah menyumbang penurunan angka tingkat kejahatan regional pada 2015 sebesar 46 persen. Namun tokoh pemerintah daerah menyebutkan bahwa dampaknya lebih kecil dan hanya sementara.
Gerai Huawei di Mobile World Congress di Barcelona, Spanyol, 27 Februari 2019. REUTERS/Rafael Marchante
“Huawei banyak berinvestasi dalam membangun dunia saat pesaing telekomunikasi lainnya belum memulai. Hal tersebut sungguh-sungguh dilakukan untuk proyek pengawasan,” kata peneliti dari Johns Hopkins School of Advanced International Studies, Henry Tugenhadt. “Pemerintah tertarik akan keamanan dan perusahaan tertarik untuk berdagang.”
Namun tidak jelas siapa yang mendorong kemunculan program teknologi pengawasan ini. “Saya tidak yakin dengan gagasan bahwa Afrika merupakan piring kosong di mana Cina datang dengan melakukan penindasan,” kata Iginio Gagliardone, penulis China, Africa, and the Future of the Internet. “Perusahaan memutar produk mereka agar sesuai dengan politik elit Afrika.”
Hikvision, yang tumbuh dari institusi riset pemerintah, memasok infrastruktur proyek pengawasan mulai dari Brasil hingga Afrika Selatan dan Italia. Hikvision, serta Dahua, SenseTime dan Megvii - di antara vendor software AI dunia - merupakan sederet perusahaan teknologi Cina yang dilarang beroperasi oleh Amerika.
Namun, tidak ada tanda-tanda melemahnya dominasi Cina di pasar ini. Berdasarkan data IHS Markit, pasar Cina berkembang 13,5 persen tahun lalu pada saat ekonomi global - tidak termasuk Cina - hanya tumbuh 5 persen. Pada 2017, media nasional Cina mengklaim bahwa negara tirai bambu tersebut telah mengembangkan sistem pengawasan video terbesar di dunia, menggunakan lebih dari 20 miliar kamera AI.
Kini situasi agak berubah. Jika sebelumnya, perusahaan-perusahaan Cina beroperasi di bawah regulasi yang longgar di dalam dan luar negeri, mereka kini menghadapi tantangan publik yang kecewa dengan pengembangan teknologi pengenalan wajah. Sebanyak 80 persen responden survei di Cina khawatir akan kebocoran data dari operator facial recognition.
“Tidak ada gunanya membahas perlindungan data saat anda berargumen dengan masyarakat - misalnya pengguna subway, mengenai penggunaan facial recognition,” kata dosen Universitas Peking, Hong Yanqing. “Kita malah harus berdebat mengenai kelayakan dan proporsionalitas mereka dalam menggunakan [teknologi pengenalan wajah].”
Hong membantu menyusun laporan grup pemerintah pada standar perlindungan data personal.
Petugas memantau kondisi Tol Cipali dari ruang Traffic Management Centre (TMC) di kantor Operasional PT Lintas Marga Sedaya, Subang, Jawa Barat, 14 Desember 2015. Sebanyak 24 kamera CCTV dipasang di ruas jalan sepanjang 116,75 km untuk memantau kondisi jalan tol. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
Luasnya penggunaan teknologi pengenalan wajah di Cina merupakan salah satu gambaran dari banyaknya aktivitas yang sudah memerlukan identifikasi nama asli. Pemindaian wajah sudah menggantikan atau menggandakan pemeriksaan identitas manusia di hotel, saat boarding di pesawat dan kereta, serta di bank dan rumah sakit. Regulasi mewajibkan vendor telekomunikasi untuk memindai wajah pengguna yang mendaftar di layanan ponsel.
Selain itu, teknologi ini juga digunakan untuk mengembangkan pengawasan di area lain, misalnya untuk mengawasi perilaku siswa di kelas. Sekarang banyak orang yang menjadi sasaran identifikasi massa akibat pesatnya perkembangan jaringan teknologi ini. Kepolisian Cina telah mengantongi database nasional terbesar di dunia dengan lebih dari 1 miliar wajah yang direkam untuk kartu identitas nasional. Foto-foto tersebut, tergantung dari kualitasnya, bisa dicocokkan dengan orang-orang yang berpose untuk pemindaian wajah.
Lambat laun industri ini mulai menuai komplain. SenseTime mengumumkan bahwa mereka akan memimpin konsorsium 27 perusahaan untuk membantu menetapkan standar nasional teknologi pengenalan wajah, di bawah bimbingan institusi standar pemerintahan. “Masyarakat mulai meningkatkan perhatiannya pada masalah keamanan yang dihadapi teknologi ini,” kata SenseTime di media sosial.
Saat perdebatan mengenai penggunaan teknologi pengenalan wajah di Uni Eropa dan AS berfokus pada ancaman privasi bahwa pemerintah atau perusahaan mengidentifikasi dan melacak orang, di Cina, kekhawatiran masyarakat terpaku pada ancaman kebocoran oleh pihak ketiga, dan bukan oleh operator.
Pengadilan Cina menerima kasus pertama penggunaan komersial teknologi pengenalan wajah pada Oktober 2019. Saat kebun binatang di Hangzhou mewajibkan pemindaian wajah bagi pemegang tiket terusan per-musim untuk masuk, Guo Bin, seorang dosen di Zhejiang Sci-Tech University, menyuap kebun binatang tersebut untuk tetap merahasiakan data pribadinya. Ciri-ciri wajah merupakan “data pribadi yang sensitif”, kata Guo Bin di persidangan, ia menganggap data bisa saja bocor atau dicuri.
Personil militer perempuan berbaris dalam parade memperingati 70 Tahun Berakhirnya Perang Dunia II di depan Gerbang Tiananmen, Beijing, Cina, 3 September 2015. Sebanyak 12.000 tentara, 500 peralatan militer dan 200 pesawat militer berteknologi paling mutakhir. AP/Ng Han Guan
Menurut survei lembaga di Beijing, Nandu Personal Information Protection Research Centre, kebanyakan masyarakat Cina menyetujui penggunaan teknologi pengenalan wajah untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan tapi mereka tetap khawatir akan penyalahgunaan data pribadi.
Pemasangan sistem pengawasan wajah di dalam kelas di China Pharmaceutical University, Nanjing, pada September 2019 juga menuai kritik di internet. Sebagai bagian sistem “smart campus”, kampus memasang pemindai wajah di dua kelas untuk melacak kehadiran siswa dan merekam jika ada siswa yang tertidur, sibuk dengan ponselnya atau berbicara di dalam kelas. Pihak kampus mengatakan hal tersebut “secara efektif membantu memecahkan masalah pelik mengenai manajemen kehadiran dan rendahnya efisiensi.”
Kementerian Pendidikan Cina merespon keluhan dengan menyatakan akan menambahkan larangan dan regulasi penggunaan teknologi pengenalan wajah di sekolah dan berharap teknologi tersebut akan digunakan dengan “sangat hati-hati”.
Meskipun perusahaan Cina mendominasi pasar teknologi pengenalan wajah, posisi mereka mendapat tekanan dari rivalnya seperti NEC Jepang yang memasok teknologi yang sama di 14 negara, serta perusahaan Amerika seperti IBM dan perusahaan software Palantir dan Cisco.
Seorang wajah tentara Israel terlihat di layar komputer dengan tanda peringatan pemrograman pengenalan wajah saat mengikuti bagian pelatihan keamanan cyber yang disebut Hackathon di Institut Teknologi dan Inovasi iNT, di Beersheba, Israel, 28 Agustus 2017. REUTERS/Amir Cohen
“Perusahaan-perusahaan di negara lain termasuk Israel dan Rusia sangat mahir di area ini, mereka bermain di pasar Amerika Serikat serta regional kaukasia serta Asia Tengah yang tidak dilaporkan secara signifikan,” kata Feldstein.
Perusahaan Israel seperti AnyVision dan Elbit Systems menyuplai teknologi ke AS sementara start-up asal Ukraina, Riddletag, menggunakan teknologi pengenalan wajah dari Amazon untuk memberikan akses kepada penumpang subway Tbilisi di Georgia.
“Perusahaan-perusahaan Amerika, yang mengumbar soal teknologi dan etika, juga sedang membangun teknologi pengawasan, dan tentunya juga menyuplai perusahaan Cina yang memproduksi teknologi tersebut,” kata Stephanie Hare, peneliti teknologi pengenalan wajah dan etika yang juga mantan pegawai Palantir.
“Hal ini berarti bahwa masyarakat memiliki dua pilihan: di mata-matai oleh AS atau Cina? Poin tersebut disebutkan saat rapat parlemen Jerman minggu lalu, dan Amerika, yang sangat kecewa dengan hal itu, mengatakan bahwa tidak ada kesetaraan moral antara nilai-nilai Amerika dan otoritarianisme Cina.”
Sementara itu, di tengah perdebatan hangat ini, industri teknologi pengawasan Cina sudah melaju ke garda terdepan teknologi pengenalan wajah. Komputer mereka kini bisa mengidentifikasi cara orang berjalan dan mencoba untuk membaca emosi mereka.
@Artikel ini pertama kali dimuat di Financial Times 2019
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo