Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Permainan Asabri di pasar modal diduga berlangsung sejak 2013.
Hasil investasi moncer lewat gorengan saham.
Diduga melibatkan sejumlah pelaku yang sama dengan kasus Jiwasraya.
JAUH sebelum perkara rontoknya investasi PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) ramai di publik pada awal 2020, Ombudsman RI diam-diam mempelajari pola penempatan dana yang dikumpulkan perseroan ke beragam portofolio. Aduan dari peserta Asabri telah menunggu di meja mereka sejak tahun lalu, bersama tumpukan puluhan laporan lain dari nasabah PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan AJB Bumiputera 1912.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim bentukan Ombudsman mulai membedah keuangan Asabri pada akhir 2019. Pemeriksaan oleh lembaga negara pengawas pelayanan publik ini mencium lemahnya pengawasan investasi di Asabri, persis seperti di Jiwasraya, yang pada saat bersamaan tengah disidik Kejaksaan Agung. Praktik menggoreng dan menggadaikan saham ditengarai dilakukan Asabri sejak 2013. “Dari sisi kekacauan investasi sama dengan Jiwasraya, pelakunya juga sama,” kata anggota Ombudsman, Ahmad Alamsyah Saragih, saat ditemui di kantornya, Selasa, 14 Januari lalu.
Temuan Ombudsman menunjukkan sebaran investasi di Asabri penuh dengan perubahan harga yang tak wajar, meskipun banyak di antaranya ditempatkan di badan usaha milik negara. Pada 2016, misalnya, Asabri mengapit sembilan saham BUMN. Dari porsi itu, investasi yang menghasilkan laba dari kenaikan harga saham justru berada di perusahaan pelat merah yang kinerjanya tak moncer. Kala itu, Asabri menikmati kenaikan harga PT Indofarma (Persero) Tbk yang mencapai 307,2 persen dan PT Semen Baturaja (Persero) Tbk sebesar 43,2 persen.
Masalahnya, dari total investasi saham Asabri senilai Rp 5,1 triliun sepanjang tahun itu, hanya 12 persen dana kelolaannya yang ditaruh di saham indeks IDX80—kumpulan saham free-float alias likuid. Selain memiliki saham di BUMN dengan fundamen jeblok, Asabri menaruh uangnya di perusahaan terafiliasi, seperti PT Bank Yudha Bhakti Tbk, serta sejumlah perusahaan yang belakangan sahamnya terindikasi kuat sebagai saham gorengan dalam kasus Jiwasraya, antara lain PT Hanson International Tbk (MYRX) dan PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP). Dua perusahaan terakhir terafiliasi dengan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, dua tersangka kasus dugaan korupsi Jiwasraya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merujuk pada temuan awal Ombudsman, dugaan praktik lancung dalam pengelolaan dana Asabri di saham-saham nonlikuid ini menggeliat pada awal 2014. Sebelum itu, Asabri hanya berinvestasi saham Rp 56 miliar di segelintir perusahaan lain. Sejak itu, nilai kelolaannya di portofolio saham terus meningkat setiap tahun. “Pembelian beberapa saham blue chip diduga hanya untuk mengelabui dan terlihat mendapatkan untung,” ucap Alamsyah.
Tepat pada saat kasus Jiwasraya meledak, permainan investasi di Asabri juga “game over”. Saham-saham portofolio Asabri rontok satu per satu hingga nyaris minus 90 persen sepanjang 2019. Harga saham PT Alfa Energi Investama (FIRE) yang dimiliki Asabri, misalnya, terkoreksi 95,79 persen hingga dihentikan perdagangannya oleh Bursa Efek Indonesia pada awal Januari lalu.
Begitu pula saham MYRX, yang jeblos enam bulan terakhir hingga ke level Rp 50 per lembar. Padahal Asabri masih mengempit 5,63 persen saham senilai Rp 4,6 miliar di perusahaan properti itu. Apa boleh buat, saham itu tak bisa dijual lagi lantaran perdagangan saham MYRX dibekukan sementara oleh Bursa Efek Indonesia per 16 Januari lalu. Otoritas bursa menyebutkan suspensi saham Hanson dipicu masalah perseroan. “Sehubungan dengan surat PT Hanson International, disampaikan bahwa terjadi gagal bayar atas pinjaman individual perseroan,” demikian dikutip dari publikasi di situs resmi Bursa Efek Indonesia.
•••
Kantor pusat PT Asabri (Persero) di Cawang, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta, 12 Januari 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat
BADAN Pemeriksa Keuangan juga dua kali menemukan kecurangan pengelolaan keuangan Asabri. Temuannya hampir serupa. Rentang 2014-2016 menjadi masa krisis investasi di perseroan itu. Laporan keuangan Asabri per 31 Desember 2015 menunjukkan investasi saham sebesar Rp 3,5 triliun ditempatkan di 28 emiten.
Di antara beragam jenis saham itu, porsi kepemilikan saham Asabri terbesar justru berada di PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP) dan PT Sugih Energy Tbk (SUGI). Di LCGP, Asabri memborong 1,01 miliar lembar saham senilai total Rp 630,9 miliar. Padahal laporan keuangan perusahaan properti itu menunjukkan kerugian Rp 5,7 miliar yang disebabkan oleh tingginya beban umum dan biaya operasional.
Sepanjang 2015 itu pula saham LCGP justru terombang-ambing di dasar papan bursa dengan harga penutupan hanya berkisar Rp 449 per saham. Satu hari menjelang tutup tahun, tiba-tiba harganya melesat menjadi Rp 620 per saham. Tapi dua hari setelah pembukaan perdagangan pasar, tepatnya 4-5 Januari 2016, harganya kembali jeblok menjadi Rp 505 per lembar.
Praktik inilah yang disebut BPK sebagai indikasi permainan akhir tahun. Dikaitkan dengan temuan Ombudsman, Asabri menyerap untung 53 persen dari perdagangan tutup tahun itu. “Untuk meningkatkan kinerja perusahaan sehingga laporan keuangan Asabri terdapat potensi laba Rp 117,7 miliar dari unrealized gain per bulan,” tulis BPK dalam laporan.
Penurunan harga saham perusahaan yang dulu bernama PT Laguna Cipta Griya Tbk ini nyatanya terus berlanjut pada 2016. Saham LCGP merosot dan menyentuh harga terendah pada Oktober, yaitu senilai Rp 98 per saham. Namun saat itu Asabri tercatat masih mengoleksi saham mayoritas LCGP sebesar 24,25 persen, yang menyebabkan perusahaan mencatatkan kerugian sampai Rp 603 miliar. Terakhir kali Asabri memiliki saham ini pada akhir 2017, ketika masih terdapat 19,66 persen saham perseroan dengan nilai hanya Rp 110,69 miliar. Tempo tak menemukan lagi nama Asabri dalam daftar pemegang saham LCGP pada 2018.
BPK juga mendeteksi pengelolaan investasi saham yang sembrono di saham PT Sugih Energy pada periode yang sama. Dari hasil pemeriksaan BPK, Asabri membeli saham SUGI dengan alasan perusahaan eksplorasi minyak dan gas itu akan mengakuisisi perusahaan pemegang kontrak Blok Lemang, Sumatera Selatan. Dengan asumsi ini, harga saham SUGI diperkirakan terus meroket hingga mencapai Rp 900 per saham. Sepanjang 2015, Asabri beberapa kali mengoleksi saham SUGI dengan total Rp 452 miliar. Namun, belakangan, harga saham SUGI justru terus menurun diiringi dengan kerugian perusahaan pada 2015 dan 2016 setelah Blok Lemang tak kunjung berproduksi.
Persis seperti saham LCGP, harga saham SUGI mendadak mencapai puncaknya pada 30 Desember 2015, naik 24 persen menjadi Rp 470 per saham dalam satu hari perdagangan. Dua hari setelah pembukaan perdagangan saham tahun berikutnya, harganya melorot menjadi Rp 388 per saham. Kenaikan harga sesaat tadi disinyalir mendongkrak laba Asabri sebesar Rp 124 miliar dari 1,3 lembar saham yang dikoleksi. Namun, seperti halnya hasil dari LCGP dan IIKP, keuntungan ini dinilai semu, tak mencerminkan kondisi sebenarnya. Modus serupa ditemukan di Jiwasraya.
Kepada BPK, direksi Asabri saat itu mengakui hanya menggelar kajian singkat dalam penempatan investasi saham di dua perusahaan tersebut. Direksi beralasan standar analisis andal di perseroan belum tersedia. “Perseroan hanya memiliki satu orang analis yang juga merangkap sebagai pelaksana, penyelesaian, hingga pengadministrasian transaksi,” demikian dikutip dari laporan BPK.
Tersudut, Asabri pun melakukan praktik yang sama dengan manajemen Jiwasraya, yakni menggadaikan saham. Perseroan menjual 12 saham kelas bawah (non-blue chip) senilai Rp 1,062 triliun kepada sejumlah manajer investasi yang menerbitkan reksa dana. Dari hasil transaksi itu, Asabri memperoleh keuntungan Rp 75 miliar. Transaksi ini sebetulnya sama saja. Tidak ada pelepasan saham dalam perdagangan itu lantaran dari catatan administrasinya kepemilikan Asabri di reksa dana tersebut tetap mayoritas: 75,9 persen. Itu artinya saham yang dilepas dan dibeli manajer investasi masih dalam kepemilikan Asabri.
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di lantai Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 7 Oktober 2019. Tempo/Tony Hartawan
BPK menilai praktik ini dilakukan Direktur Investasi dan Keuangan serta Kepala Divisi Investasi Asabri saat itu untuk mengurangi tingkat kerugian pembelian saham dengan mengalihkannya ke reksa dana saham. Dengan demikian, perseroan dianggap tidak akan merugikan negara. Namun hasilnya tampak hingga kini. Hasil investasi Asabri terus merosot sejak 2016.
Tempo telah mengirim daftar permintaan klarifikasi kepada manajemen Asabri mengenai temuan BPK dan Ombudsman ini. Hingga Sabtu, 18 Januari lalu, perseroan belum menjawabnya.
Namun manajemen Asabri berdalih segala risiko penurunan nilai investasi disebabkan oleh merosotnya perdagangan pasar modal. Perseroan mengklaim telah memitigasi risiko ini. “Asabri senantiasa mengedepankan kepentingan perusahaan dengan kondisi yang dihadapi,” kata Direktur Utama Asabri Sonny Widjaja. Dia juga memastikan dana program jaminan hari tua anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian RI, dan aparat sipil negara di Kementerian Pertahanan tetap aman.
Toh, dugaan jebolnya investasi di Jiwasraya dan Asabri kini memaksa Otoritas Jasa Keuangan makin gencar menertibkan regulasi di pasar modal. OJK telah menghentikan penjualan reksa dana milik 37 perusahaan manajer investasi lantaran tidak sesuai dengan standar permodalan dan aturan penjualan produk (market conduct). “Kalau melanggar lagi, kami tindak lagi. Kami ingin jumlahnya menurun,” tutur Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan Hoesen, Kamis, 16 Januari lalu.
OJK juga menyiapkan aturan pembentukan pihak ketiga untuk mengolah saham kelas menengah dan kecil tapi kurang likuid di pasar modal. Pihak ketiga ini terdiri atas perusahaan efek atau sekuritas dengan kapitalisasi pasar besar. Mereka berperan sebagai penggerak harga resmi dan penyedia kuotasi penawaran dengan jumlah memadai.
PUTRI ADITYOWATI, KHAIRUL ANAM, GHOIDA RAHMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo