Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Penyemai Bibit Muda

Dirja Wihardja berasal dari keluarga atlet angkat besi. Berfokus pada talenta muda.

18 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dirja Wihardja. TEMPO/Muhammad Hidayat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dirja Wihardja mulai berkenalan dengan angkat besi sejak remaja.

  • Dirja Wihardja berasal dari keluarga atlet angkat besi.

  • Dirja Wihardja berharap pelatnas angkat besi punya padepokan sendiri.

HUJAN sudah satu jam berhenti mengucur dari langit kawasan Senen, Jakarta Pusat, Selasa sore, 7 Januari lalu. Namun, di tengah Markas Komando Pasukan Marinir II di Jalan Kwini 2 itu, suara gemuruh tak putus terdengar. Bunyinya berdebam, yang kadang diselingi teriakan. Suara itu tak berasal dari langit, melainkan dari ruang latihan pemusatan latihan nasional angkat besi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara debam itu antara lain berasal dari Nelly. Lifter putri 18 tahun itu sedang belajar teknik angkatan snatch. Berulang kali gerakannya tak memuaskan pelatihnya. “Tanganmu kurang ngangkat,” kata Dirja Wihardja, pelatih kepala pelatnas angkat besi Pengurus Besar Persatuan Angkat Berat, Binaraga, Angkat Besi Seluruh Indonesia. Dirja lalu memperagakan posisi tangan yang terangkat sejajar pundak, dibarengi kaki yang berjinjit ketika mengangkat beban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nelly, yang baru datang dari Samarinda dua hari sebelumnya, mengulang gerakan tersebut. Dirja merekamnya dengan telepon seluler. “Lihat tanganmu,” ujar Dirja, memperlihatkan rekamannya.

Nelly mencoba lagi. Kali ini ia berhasil mengangkat tangannya melewati kepala. Namun beban yang diangkatnya malah meluncur jatuh ke belakang. “Sudah, istirahat dulu,” kata Dirja, yang melihat Nelly kepayahan.

Lapak latihan Nelly kemudian ditempati Juliana Klarisa, lifter junior yang membawa pulang medali perunggu dari SEA Games 2019 Filipina. Di Filipina, turun di kelas 55 kilogram putri, Juliana berhasil mengangkat 80 kilogram untuk angkatan snatch. “Coba angkat 95, ya,” ucap Dirja. Juliana manut. Ia berhasil mengangkat beban seperti arahan Dirja.

Perhatian Dirja kemudian bergeser ke Tsabitha Alfiah Ramadani, penyumbang medali perunggu kelas 71 kilogram putri di SEA Games 2019, yang berlatih di depan Juliana. Ia memperhatikan teknik lifter junior itu melakukan angkatan clean and jerk, lalu mengajaknya duduk dan mengobrol. Dirja meminta Tsabitha berfokus di kelas 64 kilogram. “Dia punya potensi di sana,” ujarnya.

Sepanjang latihan hari itu, Dirja, 53 tahun, lebih banyak berfokus pada lifter remaja (13-17 tahun) dan junior (17-20 tahun). Ia membantu Muhammad Faathir, lifter berusia 16 tahun yang membawa pulang tiga medali emas dari Kejuaraan Asia Remaja & Junior 2019 di Pyongyang, Korea Utara, berlatih sit-up dan mengajarinya gerakan cat and cow untuk melatih otot-otot halusnya. Dirja menggadang Faathir menjadi pengganti Eko Yuli Irawan, lifter senior yang langganan menyumbangkan medali di pelbagai kejuaraan, dari SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade.

Ia juga mengamati Windy Cantika Aisyah, lifter 17 tahun, yang juga memboyong medali emas kelas 49 kilogram putri di SEA Games 2019. “Kita sudah kecantol emas di Asian Games, tradisi itu harus dijaga. Jadi kami kombinasikan latihan antara junior-senior, juga yang remaja,” tuturnya.

Dirja, yang melatih pelatnas angkat besi sejak 16 tahun lalu, berbagi tugas dengan pelatih lain. Lifter senior seperti Eko, Triyatno, dan Deni lebih banyak dipegang pelatih lain. Sedangkan Dirja lebih banyak memandu lifter muda seperti Nelly, Juliana, dan Tsabitha.

Melatih anak muda itu, kata dia, susah-susah gampang. Mereka sangat bergairah untuk berkembang, tapi juga gampang bosan. Kalau jenuh mulai menyerang, tugas Dirja adalah menyuntikkan semangat. Salah satu senjata ampuhnya adalah mengingatkan mereka pada orang tua. “Orang tua kamu puluhan tahun kerja dari pagi sampai sore, kira-kira dia bosen enggak?” ujarnya.

Kepada mereka, Dirja juga mengingatkan bahwa pilihan menjadi atlet angkat besi bisa menjadi jalan meningkatkan taraf kehidupan keluarga--sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan--juga membahagiakan orang tua. Karena itu, jangan sampai pengorbanan mereka menjadi sia-sia.

Salah seorang lifter pelatnas, Nurul Akmal, mengatakan Dirja jago dalam membangkitkan semangat mereka. Salah satu yang sering dikatakan Dirja kepadanya adalah agar tak membuang kesempatan berlatih sebaik-baiknya di sana. “Orang lain pengen masuk ke sini, kamu sudah masuk ke sini, jangan disia-siakan,” katanya, menirukan ucapan Dirja.

Menurut Windy, Dirja juga sering memecut gairah mereka dengan mengatakan nama Indonesia ada di tangan mereka. Karena itu, mereka harus berlatih semaksimal yang mereka bisa. “Kalau bukan kamu, siapa lagi?” ujarnya, mengingat perkataan Dirja.

Sama seperti mereka, Dirja mulai berkenalan dengan angkat besi sejak remaja. Kakaknya, Candra Wihardja, adalah lifter angkatan 1970-an. Ia yang menularkan olahraga tersebut kepada adik-adiknya: Kiki Wihardja, Hadi Wihardja, Budi Wihardja, dan Dirja. “Kami sepuluh bersaudara, tujuh di antaranya laki-laki. Dari yang tujuh itu, lima jadi atlet angkat besi,” katanya.

Dirja sebenarnya ogah mengikuti jejak kakaknya tersebut. Ia tak suka membayangkan dirinya berlatih mengangkat beban sampai mengejan seperti mereka. Namun ketika Candra dan Kiki membawa pulang oleh-oleh, hasil menjuarai berbagai perlombaan, ia jadi ingin ikutan menjadi atlet. Salah satunya ketika mereka pulang membawa sirop markisa dari Makassar. “Waduh, gini ya jadi atlet, saya juga mau ah, ha-ha-ha...,” ujarnya.

Dirja Wihardja di pemusatan latihan nasional Persatuan Angkat ­Berat, Binaraga, Angkat Besi Seluruh Indonesia, Jakarta, 17 Desember 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat

Dirja, yang kala itu berusia 14 tahun, mulai berlatih mengangkat beban dari kaleng yang diisi semen yang dibuat oleh Candra. Mereka berlatih di rumahnya di dekat Pasar Anyar, Kota Tangerang, Jawa Barat. Candra membimbingnya mengangkat beban, berlari cepat, juga senam.

Ia kemudian beberapa kali didaftarkan mengikuti kejuaraan yang diselenggarakan klub Tofo, Jakarta. Pada 1982, saat usianya 16 tahun, Dirja menjadi juara. Hasil itu membuatnya ditarik ke sekolah khusus olahragawan di Ragunan, Jakarta Selatan. Dirja lalu masuk tim nasional angkat besi setahun kemudian.

Pada 1985, pelatihnya menjajal Dirja ikut SEA Games di Bangkok. Ia berhasil membawa pulang medali emas. Setahun kemudian, ia memboyong medali perunggu dari Asian Games di Seoul. Medali ini yang paling berkesan bagi Dirja. “Waktu itu kontingen Indonesia kering medali, tiga hari enggak dapat gelar juara. Saya yang ngasih medali pertama,” ucapnya.

Bob Hasan, Ketua Pengurus Besar Persatuan Angkat Berat, Binaraga, Angkat Besi Seluruh Indonesia kala itu, mengganjarnya dengan hadiah sepeda motor Yamaha Alfa. Dirja memakai motor yang sedang ngehits itu untuk bolak-balik dari wisma atlet di Senayan ke tempat latihan di Pintu 3 Stadion Utama Gelora Bung Karno. Ia menjuarai berbagai pertandingan sampai kemudian pensiun menjadi atlet pada 1997.

Setelah pensiun, Dirja mengikuti berbagai macam lokakarya untuk menjadi pelatih. Ilmu tersebut awalnya ia jajalkan kepada para remaja di kompleks rumahnya di Kota Tangerang. Mereka memanfaatkan lapangan bulu tangkis yang menganggur. “Anak-anak yang suka nongkrong di gang, saya ajak latihan,” tuturnya.

Sambil melatih anak-anak kampung tersebut, Dirja menjadi pegawai Pos Indonesia. Dia ditarik menjadi pegawai negeri sipil sejak 1992 karena prestasinya sebagai atlet. Tapi, lantaran pekerjaan utamanya adalah atlet dan kemudian pelatih, ia lebih sering bolos ketimbang bekerja. “Pernah saya ditegur karena keseringan enggak masuk, tapi saya bilang ini bukan mau saya, ini mau negara,” katanya. Dari 25 tahun masa mengabdinya, total Dirja hanya masuk selama lima tahun. Dia memutuskan pensiun dini pada Desember 2019.

Selain melatih, Dirja kini mengusahakan pelatnas punya padepokan sendiri. Sejak Oktober 2017, mereka menumpang latihan di Markas Komando Pasukan Marinir II. Jika punya tempat latihan sendiri, dia yakin akan lebih bisa menempa lebih banyak atlet pendatang. “Mungkin akan ada Eko dan Faathir yang lain,” ujarnya.

NUR ALFIYAH 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus