Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SESUAI dengan angkanya, awal 2020 datang dengan dua rezeki buat Indonesia. Pertama, perang antara Amerika Serikat dan Iran belum jadi meledak sehingga harga minyak melunak. Penjualan obligasi pemerintah RI pun, baik yang rupiah sebesar Rp 20 triliun maupun global bond senilai US$ 2 miliar dan € 1 miliar, laku keras dengan kupon rendah. Rezeki kedua, perang dagang Amerika melawan Cina juga mereda. Kedua negara meneken kesepakatan awal perdamaian pada Rabu, 15 Januari lalu. Investor bisa berharap ekonomi dunia berputar lebih kencang karena perdagangan dunia tak lagi mampat.
Efek positif rezeki itu sedang bekerja pada hari-hari belakangan ini. Aliran dolar masuk dari penjualan obligasi secara riil mendorong kurs rupiah terus menguat. Banjir dolar itu tampak jelas pada posisi kepemilikan asing dalam Surat Berharga Negara, yang per 15 Januari 2020 senilai Rp 1.055 triliun, nyaris persis Rp 20 triliun lebih besar ketimbang posisi awal tahun. Tak aneh jika akhir pekan lalu nilai rupiah sudah mapan di level 13.650 per dolar Amerika Serikat. Ini posisi terkuat rupiah sejak Februari 2018.
Ada pula optimisme yang ikut berperan mendongkrak rupiah. Pasar yakin, jika Amerika-Cina tak lagi saling mencekik dalam perang dagang, harga berbagai komoditas akan membaik. Bagi Indonesia, yang masih memikul defisit neraca transaksi berjalan, harga komoditas yang lebih tinggi akan menaikkan pemasukan dolar dari ekspor. Walhasil, defisit transaksi berjalan bisa berkurang.
Harga komoditas memang tak bisa lepas dari keadaan ekonomi Cina, konsumen utamanya. Dan, karena terpukul perang dagang, ekonomi Cina meriang. Data terakhir yang terbit pada Jumat, 17 Januari lalu, menyatakan ekonomi Cina sepanjang 2019 cuma tumbuh 6,1 persen, terendah dalam 29 tahun terakhir. Jika perang dagang dengan Amerika benar-benar mereda, muncul harapan ekonomi Cina bisa tumbuh lebih kencang dan pada gilirannya mendongkrak harga komoditas.
Persoalannya, bagi Indonesia, kenaikan harga komoditas ini juga dapat menjadi pedang bermata dua. Harga komoditas kerap berjalan seiring dengan harga minyak. Memang, naik-turunnya harga minyak ataupun keseimbangan pasokan dan permintaannya bergantung pula pada banyak faktor lain yang lebih spesifik, seperti situasi Timur Tengah atau kecepatan ekspansi produksi minyak Amerika. Maka harga minyak juga berkorelasi secara positif dengan pertumbuhan ekonomi Cina yang lebih kencang. Permintaan bakal naik.
Karena itu, ekonomi Indonesia memang masih belum pasti akan menempuh jalan mulus sepanjang 2020. Bagaimanapun, ketergantungan negeri ini pada impor minyak menjadi beban yang selalu menggelayuti setiap langkah. Kemungkinan perang Amerika-Iran kini memang menipis karena Iran masih sibuk menghadapi kecaman domestik dan internasional lantaran salah menembak pesawat sipil Ukraina hingga mengorbankan 176 nyawa, termasuk warga Iran sendiri. Namun, jika para pemimpin Iran berhasil memulihkan rasa percaya diri dan serius mengobarkan perang melawan Donald Trump, dampak negatifnya bisa kembali memukul ekonomi Indonesia, termasuk rupiah, ketika harga minyak meroket.
Dalam kondisi yang masih rentan bergejolak seperti ini, sungguh sangat krusial jika pemerintah melakukan upaya yang benar-benar berfokus pada upaya penguatan ekonomi secara fundamental. Misalnya mengeluarkan berbagai kebijakan yang sekuat mungkin mendorong penerimaan ekspor. Upaya ekstra menarik investasi masuk juga baik. Tapi ada catatan penting soal investasi. Yang terpenting, investasi itu benar-benar masuk ke sektor riil yang produktif, lebih baik lagi jika berefek besar pada peningkatan ekspor.
Sungguh celaka jika investasi yang masuk malah salah sasaran ke sektor yang tidak produktif. Misalnya jika investasi itu besar-besaran tersedot ke pembangunan ibu kota baru yang kini seolah-olah sudah menjadi obsesi Presiden Joko Widodo. Alih-alih segera memperbaiki kondisi fundamental ekonomi, berbagai upaya yang terlihat indah itu justru hanya akan membawa mudarat bagi Indonesia pada masa mendatang.
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo