Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Asosiasi Pengusaha Indonesia mengungkapkan risiko terhambatnya investasi akibat regulasi pengupahan yang terus berganti.
Ketidakpastian regulasi pengupahan mengurangi daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi.
Pemerintah masih menggodok aturan baru pengupahan.
MENJELANG pergantian tahun, penghitungan upah minimum provinsi (UMP) untuk 2025 belum rampung. Pemerintah masih berkutat mencari formula baru setelah mengumumkan tak akan menjadikan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan sebagai acuan. Keputusan tersebut diambil lantaran Mahkamah Konstitusi membatalkan 21 pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Satu di antara pasal yang dibatalkan itu adalah ketentuan UMP. Dalam putusannya, MK juga mengharuskan pemerintah menyesuaikan regulasi upah minimum ini, antara lain dengan menambahkan komponen hidup layak dalam penghitungan upah.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Kamdani kecewa melihat regulasi pengupahan yang terus berganti. Dalam kurun waktu 10 tahun, aturan pengupahan berubah empat kali. "Ini menimbulkan ketidakpastian buat kami," ujarnya dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 26 November 2024.
Pada 2015, aturan pengupahan disusun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015. Di dalamnya diatur upah sektoral dan penjelasan formula upah yang mempertimbangkan kebutuhan hidup layak atau standar kebutuhan seorang pekerja lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam satu bulan.
Adapun pada 2021 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Aturan ini menghapus upah sektoral dan hanya mengatur upah minimum provinsi, kabupaten, atau kota.
Dua tahun kemudian, aturan pengupahan berubah dengan munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023. Berbeda dengan aturan sebelumnya, PP Nomor 51 Tahun 2023 memunculkan indeks tertentu yang besarannya berada di angka 0,1-0,3. Indeks tersebut dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi dan hasilnya ditambahkan dengan inflasi untuk mendapatkan kenaikan upah minimum dalam suatu periode.
Sementara itu, putusan MK mengamanatkan penetapan upah minimum harus mengikuti prinsip kebutuhan hidup layak. Karena itu, pemerintah bakal menerbitkan aturan baru untuk penghitungan upah minimum. Pemerintah menargetkan rumusan UMP selesai pada akhir November atau Desember 2024.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam menjelaskan, kepastian hukum soal pengupahan sangat mempengaruhi kelanjutan bisnis. Tanpa aturan yang jelas, mereka kesulitan mengkalkulasi biaya hingga keuntungan usaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta W. Kamdani di Jakarta, Mei 2024. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mencontohkan, saat ada kenaikan upah minimum sebesar 3 persen, perusahaan total mengalami kenaikan biaya 5-6 persen. Sebab, kenaikan upah minimum punya efek turunan, salah satunya perusahaan harus menyesuaikan bayaran pegawai di atas pegawai penerima upah minimum. Saat biaya meningkat, daya saing perusahaan bisa berkurang.
Menurut Bob, dampaknya tidak hanya dirasakan pelaku usaha yang sudah lama berbisnis, tapi juga calon-calon investor baru, termasuk investor asing. "Ketidakpastian tidak bagus untuk investasi. Sangat jelek," ujarnya.
Dia menyebutkan Indonesia sudah berulang kali kehilangan momentum menarik investasi asing karena masalah pengupahan. Kehadiran UU Cipta Kerja, menurut Bob, sempat mendatangkan angin segar. Hal itu tampak dari masuknya investasi baru ke dalam negeri. Tapi, melihat kondisi saat ini, ia khawatir akan performa investasi ke depan.
Investasi baru setelah terbitnya UU Cipta Kerja, antara lain, masuk di industri alas kaki. Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persepatuan Indonesia Harijanto mengungkapkan sejumlah investor asing sudah masuk ke Jawa Tengah. Sebagian sedang dalam konstruksi pabrik dan yang lain baru beroperasi 1-2 bulan. Investasi tersebut berisiko terhambat melihat kondisi regulasi pengupahan saat ini yang seperti menjadi tambahan risiko buat pengusaha.
Harijanto menjelaskan, industri berorientasi ekspor seperti alas kaki tak menghasilkan margin tebal meski volume produksinya besar. Itu sebabnya tiap komponen biaya perlu diperhitungkan dengan saksama demi meminimalkan risiko. Untuk industri padat karya, sumber biaya utamanya adalah bahan baku dan pekerja. "Kalau tenaga kerja tidak bisa diprediksi dengan baik, ya sudah, goodbye," katanya. Dia mengingatkan, penurunan investasi di industri padat karya berarti pengurangan serapan tenaga kerja.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Silaban juga menganggap formula pengupahan yang berubah-ubah dalam 10 terakhir sejak Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 berdampak buruk bagi buruh. Menurut Elly, regulasi formula pengupahan selama ini cenderung mendegradasi upah riil buruh. "Kenaikan upah 1-3 persen pada masa lalu tidak ada artinya karena kenaikan itu tidak mampu mengimbangi harga kebutuhan hidup sehari-hari buruh dan keluarganya. Inflasi tidak dapat dikendalikan pemerintah."
Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, sependapat bahwa regulasi pengupahan berkorelasi terhadap pertumbuhan investasi. Ketidakpastian soal upah bisa mengurangi minat investor berekspansi di dalam negeri, terutama untuk jangka panjang. Investor akan memilih lingkungan usaha yang lebih stabil. Saat ini sejumlah negara berlomba-lomba menawarkan insentif dan jaminan kepastian usaha buat menarik investasi.
Hambatan investasi terutama bakal terasa dampaknya di industri padat karya. Indonesia bakal makin sulit bersaing dengan Bangladesh, Vietnam, serta India yang tidak hanya menawarkan upah murah, tapi juga memberikan kepastian hukum soal pengupahan pekerjanya. "Pemerintah harus segera menyelesaikan regulasi pengupahan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi," ujar Deni.
Kepala Ekonom Bank Dananom Josua Pardede menyatakan perubahan upah minimum dapat mengurangi minat investasi jika dianggap terlalu tinggi dibanding produktivitas tenaga kerja. Selain itu, perubahan upah minimum berdampak pada keputusan perusahaan mengenai perekrutan dan retensi tenaga kerja. Jika upah dirasa terlalu tinggi, perusahaan mungkin beralih ke otomatisasi atau relokasi.
Buat Josua, ketidakpastian kebijakan soal pengupahan menunjukkan iklim usaha yang tidak stabil. "Stabilitas kebijakan pengupahan yang diimbangi dengan produktivitas tenaga kerja dan daya saing lokal sangat diperlukan untuk menarik investasi berkelanjutan."
Dia mengingatkan ketidakpastian kebijakan upah tidak hanya mempengaruhi perusahaan besar, tapi juga berdampak luas terhadap perekonomian dengan menurunkan produktivitas, menciptakan pengangguran, serta merusak citra investasi Indonesia di mata global.
Untuk mengantisipasi penurunan minat investasi akibat ketidakpastian regulasi pengupahan di Indonesia, Josua mengatakan pemerintah perlu memastikan bahwa regulasi pengupahan tidak sering diubah. Menurut dia, pemerintah juga perlu mendorong komunikasi dalam forum tripartit dengan melibatkan perwakilan pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk membahas kebijakan pengupahan secara rutin serta menyepakati kerangka kerja bersama. Selain itu, Josua mengusulkan agar penghitungan upah minimum dilakukan berbasis indikator ekonomi, seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi, serta transparansi dalam proses pengambilan keputusan.
Saat dimintai konfirmasi soal risiko terhambatnya investasi akibat perubahan regulasi pengupahan, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri irit bicara. "Kami dalam proses mengkaji (regulasi) yang pas," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Vedro Immanuel G. berkontribusi dalam penulisan artikel ini