Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

<font color=#CC6633>Bludrek</font> Menyerang Desa

Menurut penelitian terbaru, hipertensi lebih banyak menyerang penduduk desa ketimbang kota. Penyebabnya: stres tinggi dan asupan makanan tak sehat.

16 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Euis Nurhayati sudah dalam keadaan terkapar ketika tiba di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Perempuan 36 tahun penduduk Banjaran, Kabupaten Bandung, itu didiagnosis terkena serangan jantung akibat tekanan darah tinggi. Padahal dia tak punya riwayat hipertensi.

Penduduk desa seperti Euis kini memang semakin ”disukai” hipertensi. Menurut Ketua Perhimpunan Hipertensi Indonesia dokter Adre Mayza, pengidap hipertensi di pedesaan meningkat satu setengah kali lebih tinggi dibanding di perkotaan. ”Diperkirakan makin banyak penduduk desa yang menyantap makanan mengandung garam berlebihan,” katanya.

Dokter Handrawan Nadesul sewaktu berdinas di pusat kesehatan masyarakat di wilayah Bogor mengamati, angka hipertensi penduduk desa yang berobat ke tempatnya cukup tinggi. Selidik punya selidik, mereka ternyata banyak makan lauk ikan asin. Rata-rata mereka makan sembilan gram atau sekitar dua sendok teh garam. Padahal tubuh hanya butuh paling banyak dua setengah gram garam.

Dulu, hipertensi memang dianggap sebagai penyakit orang perkotaan. Bludrek umumnya berkait erat dengan problem gaya hidup orang kota yang banyak pikiran, terlalu mengutamakan uang, stres dalam persaing­an usaha, dan malas bergerak karena sangat tergantung mobil berpenyejuk udara. Itu masih ditambah dengan kebiasaan merokok, minum minum­an beralkohol, dan mengkonsumsi makanan berkolesterol tinggi. Orang kota yang konsumtif dan egoistis merupakan sasaran empuk hipertensi. Sedangkan penduduk desa yang hidup adem ayem pasti jauh dari penyakit ini.

Namun kondisinya kini terbalik. Seperti kata Adre dan Handrawan, yang diperkuat penelitian oleh Riset Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan Indonesia, peta hipertensi telah berubah. Penyakit penyebab kematian nomor satu di Indonesia ini lebih banyak menjangkiti orang desa dalam dua tahun belakangan. Prevalensi penderita tekanan darah tinggi di perkotaan 30,8 persen, sedangkan di desa 32,2 persen. Hasil riset tersebut dibahas dalam pertemuan para ahli hipertensi di Hotel Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, awal Maret lalu.

Hidup di desa memang tidak lagi identik dengan hidup damai dan nyaman. Menurut Adre, yang juga dokter spesialis saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, tingkat stres di pedesaan tinggi karena tingkat pengangguran besar. ”Hipertensi juga merupakan refleksi kondisi sosial ekonomi,” katanya.

Neurolog dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Teguh A.S. Ranakusuma, menyatakan hal yang sama. ”Dulu, sewaktu saya masih kecil, makanan petani adalah makanan rumah yang sehat. Sekarang mereka cukup membawa mi instan, yang lalu direbus, bahkan kadang dipanaskan di dalam plastiknya,” katanya.

Angka kematian akibat hipertensi di pedesaan juga lebih tinggi dibanding di kota. Selain akibat perubahan gaya hidup, ”Itu karena tidak ada pelayanan kesehatan yang cukup di sana,” ujar Adre. Padahal satu-satunya cara mencegah kemerosotan kualitas kesehatan akibat hipertensi adalah pemeriksaan rutin tekanan darah.

Apalagi, secara umum, sangat sedikit orang menyadari sedang mende­rita hipertensi. Sebab, bludrek sering menyerang tanpa memunculkan sinyal. Si penderita pun merasa sehat-sehat saja meski tekanan darahnya mencapai 170/100 mmHg, bahkan 200/100 mmHg—normalnya 120/80 mmHg. Padahal, dengan rentang tekanan darah atas (sistolik) 121-139 mmHg dan tekanan terbawah (diastolik) 81-89 mmHg, si penderita sudah harus mendapat penanganan medis.

l l l

Siapa pun yang diserang bludrek, orang desa atau kota, menurut dokter Teguh, itu disebabkan oleh aterosklerosis, yaitu dinding arteri menjadi lebih tebal dan kurang lentur—akibat pengumpulan lemak di bawah lapisan sebelah dalam dinding arteri.

Misalnya, seseorang sedang mengalami stres. Kondisi tersebut membuat aliran darah banyak dipompa ke jantung. Tekanannya menciptakan gesekan pada dinding pembuluh darah, yang kemudian bereaksi sehingga menimbulkan proses aterosklerosis. ”Karena hipertensi adalah hasil resultan kerja jantung, pembuluh darah, dan darah,” kata Teguh.

Aterosklerosis bisa terjadi pada arteri di otak, jantung, ginjal, organ vital lainnya, dan lengan serta tungkai. Jika aterosklerosis terjadi di dalam arteri yang menuju otak (arteri karotid), itu bisa mengakibatkan stroke. Jika aterosklerosis terjadi di dalam arteri yang menuju jantung (arteri koroner), bisa terjadi serangan jantung.

Karena itulah pengobatan darah tinggi, menurut Profesor Dede Kusmana, ahli jantung Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, bukan sekadar menurunkan tekanan darah, tapi harus memperhitungkan faktor-faktor lain. ”Manusia itu sangat kompleks, harus dilihat dari banyak sisi. Bukan hanya tekanan darahnya tinggi, tapi juga memiliki emosi atau faktor risiko yang lain,” katanya.

Misalnya, seorang pasien mempu­nyai faktor risiko jantung koroner, darah tinggi, kencing manis, koleste­rol, dan kebiasaan merokok. Dokter harus efektif memilih obat. Memilih obat yang tepat dan efektif, menurut Dede, tak sulit karena prinsip dasar peng­obatan darah tinggi itu nonfarmako­logi. Artinya, sebisa mungkin pasi­en disembuhkan tanpa menggunakan obat. ”Harus dilakukan usaha seperti diet yang baik, garam diku­rangi, ko­lesterol dan lemak dikurangi,” ujarnya.

Kalau tekanan darah pasien masih tinggi, baru dipikirkan obat-obatannya. Tentu saja pemilihan obatnya harus disesuaikan dengan karakter pasien, apakah dia punya penyakit yang berhubungan dengan kolesterol, diabetes, atau lainnya.

Dokter juga harus bisa memilihkan obat yang tepat untuk pasiennya. Jika seorang dokter memilihkan obat yang mahal, misalnya, yang ternyata tidak terjangkau oleh pasien, tak ada artinya. ”Apalagi pengobatan darah tinggi itu seumur hidup. Harus ada skala pilihan,” ujarnya.

Nah, dengan makin banyaknya penduduk desa—terutama yang berstatus ekonomi menengah ke bawah—terkena hipertensi, pilihan atas obat menjadi faktor krusial. Harus tersedia obat murah atau gratis. Bila tidak, akan makin banyak saja penduduk desa yang tumbang akibat bludrek.

Ahmad Taufik, Agung Sedayu

Alirah Darah, Jantung dan Otak

  • Aterosklerosis: dinding arteri menjadi lebih tebal dan kurang lentur, akibat penimbunan bahan lemak di bawah lapisan sebelah dalam dinding arteri.
  • Hipertensi merupakan resultan kerja jantung, pembuluh darah dan darah.
  • Tekanan darah naik, maka aliran darah banyak dipompa ke jantung.
  • Terjadi gesekan pada dinding pembuluh darah. Dinding pembuluh darah bereaksi, menimbulkan proses aterosklerosis.
  • Aterosklerosis bisa terjadi pada arteri di otak, jantung, ginjal, organ vital lainnya dan lengan serta tungkai.
  • Aterosklerosis arteri yang menuju ke otak (arteri karotid): stroke.
  • Aterosklerosis dalam arteri menuju ke jantung (arteri koroner): serangan jantung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus