Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hiburan

Menunggu di Kemayoran

Musik pop, etnik, dan aneka macam jazz mewarnai festival tahun ini. Tahun depan Java Jazz bakal dipindahkan ke Kemayoran. Kini pembiayaannya dibantu pemerintah.

16 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Because love is the saddest thing
when it goes away....

Kalimat itu diucapkan penuh perasaan. Kata demi kata demikian diresapi. Suara penyanyi itu seolah betul-betul keluar dari lubuk hati terdalam. Dalam tempo lambat ia seolah berkisah tentang kenestapaan yang melanda dirinya sendiri. Ia seolah curhat kepada penonton. Itulah gaya Dianne Reeves menyanyikan Once I Loved.

Penyanyi jazz yang beberapa kali meraih Grammy Award untuk kategori jazz vocal itu mampu menggelayutkan suasana sedih gedung Assembly 3, Jakarta Convention Center, Senayan. Ia seolah meneruskan mata rantai tradisi jazz yang dibangun penyanyi Ella Fitzgerald bahwa akar penciptaan jazz sesungguhnya sama dengan blues: penderitaan.

Dianne Reeves mulanya minum segelas air yang diletakkan di atas meja piano. Sebuah lagu lain berjudul I’m in Love Again baru saja dikumandangkan. Dan kemudian Once I Loved, karya komponis Brasil, Antonio Carles Jobim, itu. Lagu ini populer ke dunia lewat suara penyanyi Brasil, Astrud Gilberto, yang hijrah ke New York. Tapi, sementara dalam penjiwaan Astrud lagu ini lebih bergaya samba, Reeves menyuapnya jadi musik yang perih dan dramatik. Di akhir lagu, ketika ia melafalkan kalimat cinta yang pergi itu, Reeves mengepalkan tangannya kuat-kuat, seolah menahan rasa sakit.

Kedatangan Dianne Reeves menambah panjang deretan penyanyi gaek jazz yang datang ke Jakarta. ”Saya pertama kali datang ke sini… ugh, Jakarta sangat macet, ya…,” katanya, disambut tawa penonton. Diiringi Ron King Orchestra, ia melantunkan lagu-lagunya yang rata-rata bersuasana muram dengan iringan suasana big band yang lembut. Pertunjukan Reeves mampu membangun suasana yang intim. Ia seolah menandaskan bahwa jazz bukanlah berangkat dari suasana elite atau mewah, melainkan dari persoalan sehari-hari orang biasa yang tinggal di pinggiran, di sudut-sudut kumuh kota.

l l l

Java Jazz memang sebuah perayaan. Kita melihat para penyanyi jazz tua tahun demi tahun meluangkan waktu ke Jakarta. Tahun ini Dianne Reeves. Tahun-tahun lalu kita menyaksikan penampil­an Tania Maria, Chaka Kan, Patti Austin, dan seterusnya. Kita dapat membandingkan ekspresi dan gaya mereka masing-masing. Dalam barisan se­sepuh komponis pria, ajang ini pernah diha­diri musisi hebat seperti George Clinton, James Brown, George Duke, Deodato, Ron Carter, Gino Vannelli, dan Sadao Watanabe.

Selain mengundang para jawara tua, Java Jazz tampak ingin terus mengukuh­kan benchmark-nya sebagai festival gaya hidup terbaru. Menghadirkan para penyanyi dunia—tak peduli yang semi-jazz atau pop yang sedang menjadi idola anak-anak muda—adalah obsesi Java Jazz. Tahun lalu, kita melihat Jamie Cullum, yang mengentak-entakkan kaki di atas tuts piano membuat histeris perempuan-perempuan Jakarta. Dan kini Jason Mraz.

Musisi pop yang dikabarkan membeli lahan perkebunan dan bertani alpokat di San Diego, California, ini tampil dengan gaya lugas, sederhana. Penampilannya tidak neko-neko. Mengenakan kaus, celana jins, dan topi, ia memainkan gitar yang menyuarakan campuran reggae, pop, funk. Ringan dan menggoda orang untuk menggoyangkan kaki. Sebagai headline pertunjukan, ia memberikan kejutan, karena ia me­ngajak duet Dira, penyanyi jazz indie Indonesia, menyanyikan salah satu lagunya: Lucky.

Telah lima kali Java Jazz dilaksanakan. Yang setia mengikuti Java Jazz sejak 2005 bisa melihat bahwa Java Jazz 2009 ini banyak dihadiri musisi yang pernah tampil di Java Jazz sebelumnya. Ron King dan Gary Anthony—epigon Frank Sinatra—misalnya, manggung dalam Java Jazz tahun lalu. Laura Fygi datang pada 2005.

Betapapun demikian, ada artis yang ingin datang tahun sebelumnya tapi baru bisa terlaksana sekarang. Matt Bianco, misalnya, yang batal datang tahun lalu, kini menggempur penonton dengan hit-nya yang cocok untuk lagu pesta, seperti Dancing in the Street dan Don’t Blame It on That Girl. Sementara tahun lalu kita menyaksikan kerancakan harmoni Manhattan Transfer, kini ada anak-anak New York yang menama­kan diri New York Voices. Kuartet itu memang tidak sedinamis Manhattan Transfer, tapi ketika mereka menyanyikan lagu Sing, Sing, Sing, telah terasa kualitas kekompakannya.

Pertunjukan lain yang menyedot penonton adalah Alex Ligertwood. Ia bekas penyanyi Santana. ”Saya 16 tahun bersama Santana,” serunya dari atas panggung. Wajahnya bercambang putih. Ia mengenakan topi koboi dan kemeja. Nada-nada melengking tinggi masih bisa dicapainya. Pertunjukan menarik lain adalah kolaborasi Mike Stern dan Dave Weckl. Pada musisi seperti Mike Stern, kita bisa menyaksikan bagaimana musisi jazz terus berusaha mencari teknik baru cara membunyikan gitar. Intonasi gitar Mike, misalnya, bisa keras tapi kemudian seolah berbisik dan senyap.

Java Jazz juga menjadi ajang unjuk gigi musisi-musisi kita yang mengadu nasib di luar negeri. Pianis Nial Djuliarso, yang tinggal di New York dan hidup sehari-hari dari bermain piano di kafe dan hotel, tampil. Ia telah menghasilkan dua album, Nial Djuliarso at Julliard dan New Day Hope. Sementara pada album pertama ia banyak membawakan komposisi orang lain, sebagian besar album keduanya merupakan ciptaannya sendiri. Malam itu, di ruang Merak, ia memulai dengan Horace, sebuah komposisinya. ”Selanjutnya ini tafsir saya atas Sabda Alam karya Ismail Marzuki,” katanya.

l l l

Tapi yang menggairahkan di Java Jazz adalah musik-musik di luar mainstream yang mampu memberikan warna jazz lain. Masih lekat dalam ingatan pada Java Jazz 2006, seorang lelaki setengah baya, dengan rambut gondrong, berdiri di dekat pintu masuk Jakarta Convention Center, menyandang sebuah gitar. Ia lalu memainkan sebuah gypsy jazz. Kocokan gitarnya membawa imajinasi kita ke karavan-karavan yang melintasi lembah, pinggir sungai, mengajak orang biasa berdansa. Ia adalah Harry Stojka. ”Saya adalah penerus tradisi Django Reinhardt,” katanya menyebut nama seorang trubador, maestro gypsy jazz. Pada 2008 juga ada Chico & The Gypsies, yang penampilannya mengingatkan kita pada kelompok Gypsi King.

Dan sekarang warna jazz yang lain itu kita dapat dari seorang jazzer Timur Tengah yang kini bertempat tinggal Dubai bernama Kamal Mussalam. Kamal, 39 tahun, adalah seorang pengelana. Ia lahir di Kuwait. Dan kemudian ia ke Libanon untuk sekolah arsitek. Ia lalu tinggal selama empat tahun di Swiss dan Prancis untuk belajar jazz. Sedari kecil ia menyerap hawa lagu klasik Arab. Ia tumbuh dalam kenangannya atas lagu-lagu Fairuz, penyanyi populer di Timur Tengah. Maka ia pernah menghasilkan album berjudul Zaman, yang berisi tafsirnya atas kompilasi lagu-lagu klasik Arab. Di Jakarta, ia tampil bersama rekan-rekannya: Rony Afif dan Elie Afif dari Libanon serta Mounir Troudi dan Nawefel Manaa dari Tunisia.

”Wah, ini jazz Arab,” bisik seorang penonton. Ia tak kuasa bergoyang. Lirik lagu yang berbahasa Arab langsung mendapat aplaus meriah. Kamal menyi­langkan jazz rock dan nuansa Timur Tengah. Kocokan gitarnya mengingatkan kita pada Al Di Meola atau Pat Metheny.

Mereka yang membawa suasana lain juga adalah para jazzer India. Para musisi India telah dikenal partisipasinya dalam belantika jazz dunia. Pemain ta­bla Zakir Hussein, misalnya, sangat terkenal karena terlibat dalam The Mahavishnu Orchestra. Dan kini enam band dari India, Dhruv Ghanekar, Thermal and a Quarter, Something Relevant, Monn Ara, Purple Circle, dan Prasanna, datang ke Senayan.

Yang paling menarik adalah Prasanna. Seorang kritikus menyebut Prasanna bagaikan Salman Rushdie dengan gitar Gibson Les Paul. Pintar mencampur warna-warna suara raga India dengan jazz-rock-fusion, Prasanna disebut menyuarakan sebuah raga jazz. ”Ini sebuah lagu dari album saya, Electric Ganesha Land,” katanya. Electric Ganesha Land adalah album yang dipersembahkannya kepada almarhum Jimi Hendrix, yang album terakhirnya berjudul Electric Lady Land. Di panggung, Prasanna memamerkan kepiawaiannya mengaduk teknik ragas ke dalam gitar. Ia memainkan pedal yang menimbulkan distorsi ala Hendrix. Ia mengajak drummer Gilang Ramadhan bergabung.

Pukul 00.00, Ahad dua pekan lalu, gedung Assembly 3. Seorang pemain trompet asal Cile bernama Christian Cuturrufo tampil. Musisi Amerika La­tin memang banyak mewarnai Java Jazz dari tahun ke tahun. Masih hangat dalam ingatan ketika pada 2007 perkusionis Airto Moreira seorang diri memainkan aneka instrumen perkusi sembari melantunkan scat singing—bernyanyi dengan permainan suku kata tanpa makna. Dan kini Christian Cuturrufo meniup trompet seolah-olah tanpa pernah kehabisan napas. Suara trompet itu parau, terjal, ganas, berkelok-kelok, dengan tenaga yang dinamis. Sosok Christian Cuturrufo yang pendek dan gempal, rambut dan cambangnya awut-awut­an, membuat permainannya bertambah ekspresif. Sayang, penampilannya malam itu sepi penonton.

Tahun depan, Java Jazz pindah ke Kemayoran. Itu untuk mengantisipasi jumlah penonton yang terus membeludak dan juga sewa harga Jakarta Convention Center yang makin tinggi. Di Kemayo­ran tentu akan ada outdoor dan indoor, ada bantuan dari Kementerian Perdagangan, dan harga tiketnya pun bisa lebih murah. Jazz, seperti lirik lagu Dianne Reeves, ekspresi semua kalangan.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus