Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cihnane luwih, yan suganda nelikup, Hyang kala wus prapta….
Secuil doa, itu saja yang sempat didaraskan Sri Tanjung kepada dewata. Dalam simpuhnya, perempuan jelita itu menyadari hidupnya tak akan lama. Saat doa ditutup, Sida Paksa, pria yang baru menikahinya, menghunjamkan keris dengan kemarahan membabi-buta. Gending selonding pun riuh rentak.
Tubuh Sri Tanjung terkulai. Perlahan sukmanya menghadap ke kahyangan. Tapi pintu tertutup rapat, sebab saat kematiannya belumlah tiba. Dalam keremangan, muncul Btari Durga, penguasa kuburan. Sosoknya membara, pertanda dia hendak mengembalikan kesucian yang telah terenggut. Dengan tirai transparan membalut tubuh Sri Tan-jung, Durga meruwat perempuan itu, dan Sri Tanjung kembali hidup.
Lakon klasik asal Bali, Sri Tanjung, itu dipentaskan dalam aroma baru oleh Kadek Suardana. Mengambil tajuk Sri Tanjung: The Scent of Innocence, Kadek mengolah komposisi musik dan tari kontemporer dengan napas klasik yang tetap terasa. Pergelaran di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada awal Maret itu berlangsung sete-lah pertunjukan perdana sukses di Denpasar, Bali, pada akhir Februari.
Berdurasi satu setengah jam, drama tari itu diantarkan dalam dialog dan tembang berbahasa Jawa Kuno dan Jawa Tengahan. Ini sengaja untuk mengikat penonton pada koreografi dan komposisi musik. ”Kata hanya membantu untuk menunjukkan emosi,” kata Kadek seusai pertunjukan.
Kisah dalam lakon itu berpusat pada asmara segitiga antara Sida Paksa (Gusti Ngurah Supratama), Sri Tanjung (Gusti Ayu Kencana Merudewi), dan Prabu Sulakrama (Wayan Sira). Sida Paksa dan Sri Tanjung merupakan dua sejoli yang tengah mabuk kepayang. Ketika Sida Paksa menikahi dan memboyong Sri Tanjung ke kerajaan, muncul petaka. Prabu Sulakrama, sang penguasa, kepincut pada kemolekan Sri Tanjung.
Untuk memisahkan Sida Paksa dari Sri Tanjung, sang Raja mengutus Sida Paksa ke surgaloka, menghadap Dewa Indra. Adegan Sida Paksa di surgaloka disajikan melalui pertunjukan wayang kulit. Menurut Kadek, hal ini merupakan simbolisasi surgaloka yang berbeda dengan alam manusia. ”Namun yang paling penting untuk menjaga stamina penari. Bisa mati mereka kalau menari terus-menerus,” kata pria 53 tahun itu, tertawa.
Saat Sida Paksa berangkat ke surga, Sulakrama merayu Sri Tanjung. Sri Tanjung, yang setia, menolak rayuan sang Raja. Nafsu berahi meruap, Sulakrama memerkosa Sri Tanjung. Sang Raja lalu memutarbalikkan kejadian ini. Kepada Sida Paksa, yang kembali dengan selamat, dia justru menuduh Sri Tanjung merayunya. Sida Paksa lebih percaya kepada sang penguasa ketimbang kepada belahan jiwanya. Tragedi pun terjadi.
Dalam pewayangan di Bali, lakon itu kerap diangkat untuk upacara panglukatan atau ruwatan. Selain itu, ia sering ditampilkan dalam arja atau sendratari dan drama gong pada pertunjukan rakyat. Kadek dan Mari Nabeshima sengaja memilihnya untuk menuturkan kembali cerita roman dan kekuasaan. ”Yang menarik, bagi saya, justru karakter Sida Paksa, di mana doktrin kekuasaan adalah mutlak,” kata Kadek.
Mereka berdua mengolah secara khusus adegan roman. Komposisi musiknya diambil dari kidung Jayenggriya, bukan dari kidung Sri Tanjung sendiri. Alasan Mari, lirik kidung Jayenggriya jauh lebih romantis. Selain itu, komposisi musiknya cukup langka karena memiliki tujuh nada, sedangkan kidung lain hanya lima nada. ”Tentu sangat menarik untuk diolah menjadi komposisi baru,” kata Mari.
Kadek memboyong alat musik modern, seperti violin, piano, dan flute. Kidung-kidung klasik dalam olahan kontemporer, dengan peranti musik modern, mengalun mulus dan otentik. Begitu pula alat-alat musik tradisional gending, gambang, selonding, gender wayang, arja, serta teknik vokal yang ada pada gambuh. Hasilnya, bukan musik tradisi Bali biasa, merupakan buah dari ketepatan dan kepatuhan pada komposisi—jiwa dari pertunjukan itu. Bukan hal mudah bagi penabuh musik dan penari yang terbiasa dengan tradisi. Tapi, ”Toleransi saya berikan bila emosi pemusik dan penari tak bisa melebur pada suatu adegan,” kata Kadek.
Di akhir lakon, Sri Tanjung dan Sida Paksa dipertemukan kembali. Apakah mereka akan bersanding kembali? Begitu banyak versi Sri Tanjung, dari Banyuwangi hingga Bali. Semuanya memiliki akhir yang berbeda. Kadek rupanya tak hendak menjadi tirani. Dia serahkan interpretasinya kepada penonton, karena tak penting bagaimana akhirnya. Bagaimana kisah diantarkanlah yang utama—dan itulah yang dilakukan Kadek.
Sita Planasari Aquadini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo