Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Hidup Bersama Hemofilia

Masih sedikit sekali yang paham soal hemofilia, sehingga korban jiwa jatuh. Tema Hari Hemofilia Sedunia, 17 April, adalah mendongkrak kesadaran tentang penyakit ini. Pengidapnya bisa hidup puluhan tahun dan beraktivitas normal.

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jarum jam di tangan menunjukkan pukul 18.40 saat kereta ekonomi AC rute Jakarta-Bogor tiba di Stasiun Manggarai, Jakarta, Jumat dua pekan lalu. Begitu pintu terbuka, Antonius Ari Sudana melangkahkan kaki masuk ke gerbong. Gerakannya tak gesit karena panjang kedua kakinya tak sama. Penyebabnya adalah hemofilia, penyakit kelainan pembekuan darah, yang telah menggerogoti sendi tulang pahanya.

"Beginilah keseharian saya kalau pulang ke Bogor," kata Ari, yang aktif sebagai sukarelawan di Sekretariat Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Petang itu, kereta penuh sesak. Tempo, yang kebetulan berkereta api bersama Ari, melihat lajang 31 tahun ini harus bergelantungan dengan berpegangan pada logam yang dikaitkan tali, untuk menjaga keseimbangan.

Ritual berdesakan di kereta api untuk orang sehat tentu hal biasa, tapi bagi Ari, yang punya penyakit mematikankecelakaan kecil berisiko mengakibatkan perdarahan tak hentibisa berakibat fatal. "Kalau berangkat ke Jakarta, dari Stasiun Bogor, lebih enak. Saya bisa mencari tempat duduk," kata warga Cilendek Barat, Bogor, yang berkukuh menjalani aktivitas seperti orang sehat ini.

Hemofilia adalah kelainan perdarahan genetis yang biasa diderita laki-laki. Darah pengidapnya nyaris tak mau beku jika terjadi perdarahan, akibat absennya salah satu faktor pembeku darah. Untuk deteksi dini, jika seorang bocah gampang mengalami bercak-bercak lebam membiru dan bengkak saat belajar merangkak, patut dicurigai ia menderita hemofilia.

"Penderita hemofilia A mengalami kekurangan faktor pembeku VIII, sedangkan hemofilia B mengalami kekurangan faktor pembeku IX," kata Ketua HMHI Profesor dokter Moeslichan. Meski hemofilia disebut sebagai penyakit keturunan, Profesor Djajadiman Gatot, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Hemofilia RSCM, menyatakan hanya 70 persen yang bisa dilacak garis keturunannya, sedangkan 30 persen sisanya tidak. "Hemofilia bisa terjadi karena mutasi gen," katanya. Hingga sekarang, penyakit ini belum bisa disembuhkan, tapi bisa diterapi agar penderitanya bisa hidup dan beraktivitas seperti orang normal serta terhindar dari cacat atau kematian akibat perdarahan.

Prevalensi penyakit ini di Indonesia diperkirakan 20 ribu, sesuai dengan rumus angka kekerapan kejadian hemofilia internasional, yang tidak mengenal geografis, suku, dan ras, yakni 1 per 10 ribu orang. Meski begitu, jumlah penderita yang tercatat di HMHI baru 1.236 orang atau sekitar 5 persen.

Ada sejumlah dugaan kenapa angka yang tercatat masih sangat kecil. Hal itu bisa karena banyak orang belum memahami hemofilia sehingga tidak sadar ada di antara mereka yang mengidap penyakit ini, tidak mendapat diagnosis secara tepat, atau lantaran mati muda karena tak mendapatkan perawatan yang benar. Untuk itulah pada Hari Hemofilia Sedunia, 17 April lalu, kembali dikampanyekan agar publik lebih paham tentang hemofilia dan agar si penderita memperoleh perawatan yang benar. Di Indonesia, kegiatan dipusatkan di Surabaya, akhir pekan lalu.

Menurut sejarah, hemofilia acap disebut "The Royal Diseases" alias penyakit bangsawan. Sebutan itu muncul lantaran Ratu Inggris Victoria (1837-1901) merupakan pembawa sifat hemofilia (carrier). Leopold, anaknya yang kedelapan, adalah penderita hemofilia dan sering mengalami perdarahan, begitu British Medical Journal menulis pada 1868.

Dunia kedokteran modern telah menemukan cara agar penderita hemofilia bisa bertahan hidup dan tetap beraktivitas. Pada hemofilia A, mereka bisa mendapatkan transfusi faktor VIII dalam bentuk cryoprecipitate atau konsentrat murni faktor VIII. Sedangkan pengidap hemofilia B akan menerima transfusi fresh frozen plasma atau konsentrat faktor IX.

Pada peringatan Hari Hemofilia Sedunia 2010, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menyatakan adanya pengobatan gratis bagi penderita hemofilia yang miskin lewat Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. Program ini penting karena pemberian faktor pembeku darah untuk penderita hemofilia butuh jutaan rupiah saban bulan dan berlangsung seumur hidup.

Cryo pula yang rutin disuntikkan ke tubuh Ari sepekan sekali. Asupan itulah yang membuat Ari tetap mampu beraktivitas normal. Faktor pembeku darah itu diberikan untuk jaga-jaga (profilaksi) sebelum tubuh atau sendinya mengalami gangguan. Sedangkan saat sakit sudah mendera, giliran konsentrat yang dilesakkan lewat penyuntikan intravenanya. Kini terapi jenis terakhir sudah bisa dilakukan sendiri di rumah.

Ari sangat bersyukur bisa rutin mendapat perawatan. Dengan cara itulah, selain aktif di HMHI, alumnus Fisika Institut Pertanian Bogor ini bisa mengembangkan bakat menulisnya. Sejumlah buku semi-sains sudah dia produksi, seperti Surat Newton buat Kamu: Grr, Aku Berenergi, Surat Newton buat Kamu: Wow, Permukaan yang Menegangkan; dan Wow, Aku Bisa Seperti Einstein. Selain itu, anak pegawai negeri ini tengah menyiapkan buku motivasi.

"Saya berulang kali ditolak saat melamar pekerjaan di kantoran begitu mereka tahu saya hemofilia," kata Ari ihwal pilihannya bekerja di rumah. Nasib penderita lain, Agustaman Fajar Wirawan, 27 tahun, dan Muhammad Gunarso, 38 tahun, lebih beruntung. Kini Agus (penderita hemofilia tipe A) berkiprah di dunia perbankan, sedangkan Gunarso (hemofilia tipe B) menjadi anggota staf teknologi informasi di sebuah perusahaan sekuritas di Jakarta. Saat ditemui Tempo di Sekretariat HMHI, Senin pekan lalu, Agus sedang bersiap menyuntikkan konsentrat, sedangkan Gunarso sedang mengurus proses transfusi plasma di klinik hemofilia RSCM.

Tak hanya menopang vitalitas sehingga penderita hemofilia bisa bekerja laiknya orang normal, ketersediaan faktor pembeku darah berupa cryo, konsentrat, atau plasma sangat bermanfaat bagi penderita yang tetap ingin dikhitan. Tanpa zat itu, perdarahan setelah khitan bisa saja tak berhenti dan berbuntut kematian.

"Iya khitanlah," kata Kennedy Jinata, mahasiswa Universitas Bina Nusantara, penderita hemofilia B. Gunarso dan Agustaman juga disunat, tapi Ari tak. Ketidakcukupan faktor pembeku darah saat remaja menjadi alasan Ari tidak dikhitan. "Wah, enggaklah," kata Ari sembari ngakak saat ditanya soal kemungkinan ia disunat pada usia tua.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus