Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

30 Juz Dalam Kepalanya

Suka duka para penghapal al-quran di berbagai pesantren. (sd)

9 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA remaja asyik duduk di bawah pohon nangka. Yang satu komat-kamit. Lainnya kelihatan menunduk. Pemandangan yang sama terlihat di bawah pohon kelapa, di bawah pohon nangka dan pohon-pohon lain yang rindang di sekitar Pesantren Karang Asem -- Paciran -- Lamongan, Jawa Timur. Apa yang sedang terjadi. "Menghafal Qur'an memang harus berpasangan," ujar M. Yasin, satu dari 8 pembimbing menghafal Qur'an di pesantren itu."Yang satu menghafalkan dan pasangannya menyimak -- cocok atau tidak dengan teks aslinya." Di pesantren itu kini dapat ditemukan 95 orang murid yang belajar menghafal Qur'an. Di antaranya terdapat 20 orang tua, 27 remaja putra dan sisanya remaja putri. Pesantren yang didirikan pada 1948 itu memang sejak mula tersohor sebagai tempat menghafal Qur'an. "Saya selalu menekankan, para santri yang bermukim di sini supaya mementingkan hafal Qur'an," kata KH Abdurrahman, 55 tahun, pendiri dan pemimpin santren. Ia sendiri sudah mulai menghafal Qur'an sejak berusia 18 tahun di Tulungagung. "Waktu itu saya juga tidak tahu untuk apa menghafal, tapi karena kiai saya memaksa, saya turuti. Yang jelas bukan karena ingin masuk surga," katanya menambahkan, "sebab kalau mau jadi muballigh yang baik mesti dan harus hafal Qur'an." Tak Semua Berhasil Kader pesantren itu sudah banyak !ang jadi muballigh. Beberapa di antaranya dikirimkan oleh DDI (Dewan Da' wah Islamyah pimpinan Moh. Natsir) ke luar Jawa. "Di samping tidak memalukan, kalau sewaktu-waktu jadi pemimpin agama, bisa lebih berwibawa," kata Abdurrahman lebih lanjut. Di lingkungan keluarga kiai itu sendiri ada 7 yang hafal Qur'an--termasuk 3 orang anaknya. "Seandainya seluruh kitab suci dan semua barang cetakan yang ada di dunia ini terbakar," ujarnya kemudian, "maka Qur'anlah yang bisa cepat dicetak lagi sesuai dengan aslinya. Maka benarlah firman Allah, kalau banyak yang hafal Qur'an maka Qur'an itu ter)aga aman." Menurut Abdurrahman, kalau tekun, seluruh isi kitab suci itu dapat dihafal dalam waktu dua tahun. Dengan bantuan delapan asistennya setiap hari kiai itu melatih para santrinya. Setiap orang secara teratur mehyetorkan ayat-ayat yang sudah dihafalnya. Yang muda bisa menyetor satu sampai dua halaman tiap subuh. Yang tua sekitar setengah halaman. Dalam acara menyetor tersebut seorang santri bergiliran melafadzkan ayat-ayat, sementata ustadz ngecek hafalan dan cara membacanya. Setelah usai diteruskan acara menghafal dengan cara berpasangan, untuk mempersiapkan setoran subuh berikutnya. Supaya tetap ingat, setiap malam Jum'at para santri diwajibkan menyetorkan hafalan 1 juz di belakang. "Mengingat dalam Qur'an banyak sekali kata-kata di awal ayat yang bunyinya sama, saya ambil pedoman bagaimana bunyi akhir ayat sebelumnya," kata A. Kholiq seorang pelajar yang sudah hafal 20 juz dalam 2 tahun. Pelajar ini tidak hanya menghafal Qur'an, paginya ia masih sekolah di Aliyah--toh pelajarannya tak terganggu. "Saya ingin jadi muballiqh yang baik," katanya memberi alasan. Tidak semua santri tersebut berhasil. Ada yang berminat besar tapi tak sehalaman pun bisa hafal. Jadi di samping usaha, soal bakat juga perlu. Sering ada yang menangis karena gagal. Bahkan yang sudah hafal, bisa lupa lagi karena menghafal yang berikutnya. "Saya sendiri juga kalau dites disuruh membaca ayat sekian surat sekian, harus memulai dari awal. Tidak bisa spontan di tengah," kata salah seorang kiai. Dorongan Pribadi Setiap kali ada perhelatan di Paciran, umumnya didahului dengan khataman Qur'an dari mereka yang sudah hafal yang disebut hafidz. "Kalau membaca cepat, dnulaisehabis maghrib sudah bisa khatam waktu subuh. Tapi kalau bacaan mau baik betul, harus 18 jam," kata Zaini. Di Pekalongan, bulan November tahun lalu pernah diadakan tadarus khusus oleh para penghafal Qur'an dari seluruh Jawa. Waktu itu Paciran mengirimkan 20 orang. Tidak hanya di Paciran. Di Surabaya juga ada tempat untuk menghafal Qur'an yakni Raudlatul Tahfidzil Qur'anil Kariem pimpinan KH Dahlan Basuni. Tak kurang dari 40 orang santri didikan Basuni sekarang. Mereka selalu mengisi acara tadarusan di RRI Surabaya setiap Ramadhan (mulai pukul 20.00, selama 2 jam). "Yang mendorong saya menghafal Qur'an adalah janji Allah yang akan tetap menjaga utuh mayat seseorang di dalam kubur kalau hafal Qur'an," kata kiai yang kini berusia 55 tahun itu. Sementara itu di Pancor--Lombok Timur ada seorang bernama Mahfudz Mahyuddin yang mengaku menghafal Qur'an karena dorongan pribadinya. Gara-gara di dekat rumahnya ada Perguruan Tinggi yang mengkhususkan diri pada Al Qur'an dan hadith. Ia memasuki perguruan itu pada 1972. Dalam tempo 1 minggu ia sudah hafal 1 juz menurut kurikulum perguruan, dalam seminggu hanya 2 kali setor. Dan tidak ada lagi sistem takrir -- pengulangan kembali hafalan. Otomatis harus diingat-ingat sendiri oleh setiap mahasiswa. Diakuinya usaha menghafal itu berat. Harus persis, tidak boleh kurang satu titik pun. Pertama-tama dalam menghafal Mahfudz, 26 tahun, melihat tafsir terjemahannya dulu, kemudian baru ayat demi ayat Kadangkala ia melakukannya sambil berjalan-jalan. Hanya dalam tempo 1 tahun ia sudah hafal seluruh isi kitab suci yang 30 juz itu. Baginya ada 2 gangguan dalam meng hafal. Wanita dan ekonomi. Tapi tak jarang juga ia menangis kalau mengalami kesulitan dalam menghafal. Sempat sampai pingsan. "Sebab Jika lupa, ada sanksinya seperti yang dicantumkan dalam hadith Nabi. Yaitu dosa besar," ujar anak muda itu. Untuk tetap ingat, ia suka melagukannya. Kini sehari tak kurang dari 5 juz ia takrirkan. Setiap usai sembahyang ia mengulang 1 juz. Meskipun ia kini sudah tinggal di Jakarta selama 3 tahun, hafalannya serta Al Qur'annya tetap ia rawat. Jarang mengunjungi tempat hiburan. Tak heran kalau dalam usia semuda sekarang ia sudah disebut kiai. Di Solo Abdul Karir mulai menghafal sejak 1977. Ia mengatakan bahwa cara menghafal di Solo klasik. Tidak pakai metode. Kalimat demi kalimar dibaca. Berbeda dengan di Lombok, di Solo tiap hari menyetor hafalan menurut kemampuan. Ia sendiri merasa waktu 3 tahun untuk-menghafal termasuk layak. Sebab menurut pemuda usia 24 tahun ini, menghafal bukan sekedar hafal, harus ada peresapan supaya isi Al Qur'an menjadi darah daging. Untuk itu ia selalu mengingat-ingat dalam keadaan bagaimana pun juga. Sedang berjalan ataupun lagi memasak. "Di pesantren kami sudah biasa santri memasak dengan mentakrirkan hafalannya," ujarnya. Muhaimin Di Yogyakarta ada cara mentakrir yang spesial. Menurut Nurhadi Thayib, 23 tahun -- yang menjadi hafi dalam waktu 3 tahun--penghafal tidak mentakrirkan sendiri-sendiri. Semua orang berkumpul dalam masjid. Masing-masing 2 orang kemudian membaca bergiliran tanpa henti. Sang kiai mengawasi dengan rotan. Jika seorang t ak hafal atau lupa dan bertanya pada rekannya, serta-merta mampirlah rotan di punggungnya. Ia sendiri pernah menangis karena sulit menghafal. Gangguannya adalah wanita. Seorang wanita yang tak dikenalnya, entah bagaimana sudah sempat melayangkan sebuah surat cinta. "Saya masih heran bagaimana dia bisa tahu saya," ujarnya, "mungkin itulah cobaan menghafal Al Qur'an." Drs. HA. Muhaimin Zein dari Pesantren Tebuireng, Jombang, mengaku bisa hafal hanya dalam 1 tahun. "Mungkin karena saya menghafal pada waktu berusia 13 tahun," ujarnya, "atas dorongan masyarakat daerah saya. Karena mereka takut kehilangan penghafal Qur'an. Saya sendiri tak melihatnya dari sudut materi." Sejak mulai menghafal, Muhaimin, 31 tahun, memang merasa tidak ada lagi kebebasan waktu. Tapi semua itu sudah berlalu dan barangkali mungkin boleh dikatakan dapat imbalan baik sekarang. Sebab kini Muhaimin menjadi staf ahli di Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur'an DKI Jaya. "Tapi menghafal Qur'an bukan untuk mendapatkan pekerjaan kok," ujarnya. Ia menyebutkan contoh Mesir dan Turki. Katanya tak terhitung jumlah orang yang hafal Qur'an di kedua negeri itu, karena sejak sebelum masuk SD sudah diharuskan. "Hampir setiap ahli agama Islam di Timur Tengah hafal Qur'an," ujarnya. Lilik Munifah -- mahasiswi IIQ (Institut llmu Al Qur'an) Jakarta, mengatakan tidak ada halangan kuat dalam menghafal Qur'an. "Paling-paling itu terasa jika datang bulan," katanya, "tapi justru saat itu enak untuk hiburan pikiran." Di IIQ peraturan menentukan: harus hafal dalam waktu 3 tahun. Tempo itu tidak dirasakan berat oleh seorang Masruchan yang menghafal Qur'an di Pesantren Kiai Mufid Yogyakarta. Ia berhasil memenuhi target itu setelah tamat Muallimat (Sekolah Guru Wanita) di Yogyakarta. Yahya Arief di Aceh tidak memakai metode tersendiri untuk menghafal Qur'an. Ia hanya mengulangi setiap minggu apa yang sudah dihafalnya. "Selama puasa saya istirahat total," ujarnya. Kini ia memiliki 500 orang murid. Sebagai ustadz (guru) ia mengatakan bahwa hidupnya cukup terjamin. Tetapi ia tak mau menyebutkan berapa pendapatannya. Barangkali memang pekerjaan menghafal Qur'an tidak ada hubungannya dengan soal rezeki. Kiai Muhammad Rusydi dari Kudus, 52 tahun, setuju menghafal Qur'an bukan untuk cari rezeki. Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Karena tujuannya untuk mengabdi pada agama tidak pernah goyah, meskipun ada halangan dalam soal materi, ia tetap gigih menghafal Qur'an. "Kalau tidak ada yang saya miliki, maka saya hanya makan sehari sekali," ujarnya. Baginya satu-satunya tujuannya dalam menghafal Qur'an adalah ibadah kepada Allah. "Al Qur'an adalah bendera Islam. Barangsiapa yang memuliakannya berarti memuliakan Allah," ujarnya dengan yakin . Berdosa "Banyak hikmah yang diperoleh dengan membaca Al Qur'an, untuk hidup di dunia ini," kata Fahmi Muchtar scorang ustadz di Desa Simabur--96 kilometer di utara Padang. Ia juga menjabat Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Pariangan, Padangpanjang. Hikmah yang disebutnya antara lain, setelah lama mengkhususkan diri di bidang membaca kitab suci itu, kini ia merasakan hidupnya tenang. Ia memang telah belajar keras siang dan malam selama 6 tahun tanpa memilih tempat. "Bila perlu, di mobil ketika dalam perjalanan saya juga membaca Al Qur'an," ucapnya. Sementara itu di Yogya Masduki Amin yang masih belajar di Pondok Pesantren Krapyak Yogya mengatakan bahwa ia tidak pernah merasa bosan membaca Qur'an: "Saya tidak punya keinginan untuk jadi masyhur karena hafal Qur'an," katanya tandas. Ia yang sebenarnya berasal dari Cirebon, kini sudah hafal 20 juz, tapi belum pernah dipanggil untuk sebuah acara dan diberikan honor. "Bukan itu tujuan saya," ujarnya, "kalau nanti setelah hafal seluruhnya lalu di kampung ada yang memanggil saya, kemudian memberi honor, itu urusan paling belakang." Saya ini petani." Lalu mengapa ia menghafal Qur'an? Anak muda itu segera menjawab yang agaknya dapat dianggap sebagai salah satu jawaban yang umum pada masa ini. "Dalam sebuah kecamatan setidak-tidaknya harus ada satu orang yang hafal. Begitu sebuah ayat Qur'an mengatakan. "Kalau tidak, maka warga Islam di situ berdosa. Maka saya mengalah supaya warga kecamatan saya selamat dengan menghafal Qur'an."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus