DUA remaja asyik duduk di bawah pohon nangka. Yang satu
komat-kamit. Lainnya kelihatan menunduk. Pemandangan yang sama
terlihat di bawah pohon kelapa, di bawah pohon nangka dan
pohon-pohon lain yang rindang di sekitar Pesantren Karang Asem
-- Paciran -- Lamongan, Jawa Timur. Apa yang sedang terjadi.
"Menghafal Qur'an memang harus berpasangan," ujar M. Yasin, satu
dari 8 pembimbing menghafal Qur'an di pesantren itu."Yang satu
menghafalkan dan pasangannya menyimak -- cocok atau tidak dengan
teks aslinya." Di pesantren itu kini dapat ditemukan 95 orang
murid yang belajar menghafal Qur'an. Di antaranya terdapat 20
orang tua, 27 remaja putra dan sisanya remaja putri.
Pesantren yang didirikan pada 1948 itu memang sejak mula
tersohor sebagai tempat menghafal Qur'an. "Saya selalu
menekankan, para santri yang bermukim di sini supaya
mementingkan hafal Qur'an," kata KH Abdurrahman, 55 tahun,
pendiri dan pemimpin santren. Ia sendiri sudah mulai menghafal
Qur'an sejak berusia 18 tahun di Tulungagung. "Waktu itu saya
juga tidak tahu untuk apa menghafal, tapi karena kiai saya
memaksa, saya turuti. Yang jelas bukan karena ingin masuk
surga," katanya menambahkan, "sebab kalau mau jadi muballigh
yang baik mesti dan harus hafal Qur'an."
Tak Semua Berhasil
Kader pesantren itu sudah banyak !ang jadi muballigh. Beberapa
di antaranya dikirimkan oleh DDI (Dewan Da' wah Islamyah
pimpinan Moh. Natsir) ke luar Jawa. "Di samping tidak memalukan,
kalau sewaktu-waktu jadi pemimpin agama, bisa lebih berwibawa,"
kata Abdurrahman lebih lanjut.
Di lingkungan keluarga kiai itu sendiri ada 7 yang hafal
Qur'an--termasuk 3 orang anaknya. "Seandainya seluruh kitab suci
dan semua barang cetakan yang ada di dunia ini terbakar,"
ujarnya kemudian, "maka Qur'anlah yang bisa cepat dicetak lagi
sesuai dengan aslinya. Maka benarlah firman Allah, kalau banyak
yang hafal Qur'an maka Qur'an itu ter)aga aman."
Menurut Abdurrahman, kalau tekun, seluruh isi kitab suci itu
dapat dihafal dalam waktu dua tahun. Dengan bantuan delapan
asistennya setiap hari kiai itu melatih para santrinya. Setiap
orang secara teratur mehyetorkan ayat-ayat yang sudah
dihafalnya. Yang muda bisa menyetor satu sampai dua halaman tiap
subuh. Yang tua sekitar setengah halaman. Dalam acara menyetor
tersebut seorang santri bergiliran melafadzkan ayat-ayat,
sementata ustadz ngecek hafalan dan cara membacanya. Setelah
usai diteruskan acara menghafal dengan cara berpasangan, untuk
mempersiapkan setoran subuh berikutnya.
Supaya tetap ingat, setiap malam Jum'at para santri diwajibkan
menyetorkan hafalan 1 juz di belakang. "Mengingat dalam Qur'an
banyak sekali kata-kata di awal ayat yang bunyinya sama, saya
ambil pedoman bagaimana bunyi akhir ayat sebelumnya," kata A.
Kholiq seorang pelajar yang sudah hafal 20 juz dalam 2 tahun.
Pelajar ini tidak hanya menghafal Qur'an, paginya ia masih
sekolah di Aliyah--toh pelajarannya tak terganggu. "Saya ingin
jadi muballiqh yang baik," katanya memberi alasan.
Tidak semua santri tersebut berhasil. Ada yang berminat besar
tapi tak sehalaman pun bisa hafal. Jadi di samping usaha, soal
bakat juga perlu. Sering ada yang menangis karena gagal. Bahkan
yang sudah hafal, bisa lupa lagi karena menghafal yang
berikutnya. "Saya sendiri juga kalau dites disuruh membaca ayat
sekian surat sekian, harus memulai dari awal. Tidak bisa spontan
di tengah," kata salah seorang kiai.
Dorongan Pribadi
Setiap kali ada perhelatan di Paciran, umumnya didahului dengan
khataman Qur'an dari mereka yang sudah hafal yang disebut
hafidz. "Kalau membaca cepat, dnulaisehabis maghrib sudah bisa
khatam waktu subuh. Tapi kalau bacaan mau baik betul, harus 18
jam," kata Zaini.
Di Pekalongan, bulan November tahun lalu pernah diadakan tadarus
khusus oleh para penghafal Qur'an dari seluruh Jawa. Waktu itu
Paciran mengirimkan 20 orang.
Tidak hanya di Paciran. Di Surabaya juga ada tempat untuk
menghafal Qur'an yakni Raudlatul Tahfidzil Qur'anil Kariem
pimpinan KH Dahlan Basuni. Tak kurang dari 40 orang santri
didikan Basuni sekarang. Mereka selalu mengisi acara tadarusan
di RRI Surabaya setiap Ramadhan (mulai pukul 20.00, selama 2
jam). "Yang mendorong saya menghafal Qur'an adalah janji Allah
yang akan tetap menjaga utuh mayat seseorang di dalam kubur
kalau hafal Qur'an," kata kiai yang kini berusia 55 tahun itu.
Sementara itu di Pancor--Lombok Timur ada seorang bernama
Mahfudz Mahyuddin yang mengaku menghafal Qur'an karena dorongan
pribadinya. Gara-gara di dekat rumahnya ada Perguruan Tinggi
yang mengkhususkan diri pada Al Qur'an dan hadith. Ia memasuki
perguruan itu pada 1972. Dalam tempo 1 minggu ia sudah hafal 1
juz menurut kurikulum perguruan, dalam seminggu hanya 2 kali
setor. Dan tidak ada lagi sistem takrir -- pengulangan kembali
hafalan. Otomatis harus diingat-ingat sendiri oleh setiap
mahasiswa.
Diakuinya usaha menghafal itu berat. Harus persis, tidak boleh
kurang satu titik pun. Pertama-tama dalam menghafal Mahfudz, 26
tahun, melihat tafsir terjemahannya dulu, kemudian baru ayat
demi ayat Kadangkala ia melakukannya sambil berjalan-jalan.
Hanya dalam tempo 1 tahun ia sudah hafal seluruh isi kitab suci
yang 30 juz itu.
Baginya ada 2 gangguan dalam meng hafal. Wanita dan ekonomi.
Tapi tak jarang juga ia menangis kalau mengalami kesulitan dalam
menghafal. Sempat sampai pingsan. "Sebab Jika lupa, ada
sanksinya seperti yang dicantumkan dalam hadith Nabi. Yaitu dosa
besar," ujar anak muda itu.
Untuk tetap ingat, ia suka melagukannya. Kini sehari tak kurang
dari 5 juz ia takrirkan. Setiap usai sembahyang ia mengulang 1
juz. Meskipun ia kini sudah tinggal di Jakarta selama 3 tahun,
hafalannya serta Al Qur'annya tetap ia rawat. Jarang mengunjungi
tempat hiburan. Tak heran kalau dalam usia semuda sekarang ia
sudah disebut kiai.
Di Solo Abdul Karir mulai menghafal sejak 1977. Ia mengatakan
bahwa cara menghafal di Solo klasik. Tidak pakai metode. Kalimat
demi kalimar dibaca. Berbeda dengan di Lombok, di Solo tiap hari
menyetor hafalan menurut kemampuan. Ia sendiri merasa waktu 3
tahun untuk-menghafal termasuk layak. Sebab menurut pemuda usia
24 tahun ini, menghafal bukan sekedar hafal, harus ada peresapan
supaya isi Al Qur'an menjadi darah daging. Untuk itu ia selalu
mengingat-ingat dalam keadaan bagaimana pun juga. Sedang
berjalan ataupun lagi memasak. "Di pesantren kami sudah biasa
santri memasak dengan mentakrirkan hafalannya," ujarnya.
Muhaimin
Di Yogyakarta ada cara mentakrir yang spesial. Menurut Nurhadi
Thayib, 23 tahun -- yang menjadi hafi dalam waktu 3
tahun--penghafal tidak mentakrirkan sendiri-sendiri. Semua orang
berkumpul dalam masjid. Masing-masing 2 orang kemudian membaca
bergiliran tanpa henti. Sang kiai mengawasi dengan rotan. Jika
seorang t ak hafal atau lupa dan bertanya pada rekannya,
serta-merta mampirlah rotan di punggungnya. Ia sendiri pernah
menangis karena sulit menghafal. Gangguannya adalah wanita.
Seorang wanita yang tak dikenalnya, entah bagaimana sudah sempat
melayangkan sebuah surat cinta. "Saya masih heran bagaimana dia
bisa tahu saya," ujarnya, "mungkin itulah cobaan menghafal Al
Qur'an."
Drs. HA. Muhaimin Zein dari Pesantren Tebuireng, Jombang,
mengaku bisa hafal hanya dalam 1 tahun. "Mungkin karena saya
menghafal pada waktu berusia 13 tahun," ujarnya, "atas dorongan
masyarakat daerah saya. Karena mereka takut kehilangan penghafal
Qur'an. Saya sendiri tak melihatnya dari sudut materi." Sejak
mulai menghafal, Muhaimin, 31 tahun, memang merasa tidak ada
lagi kebebasan waktu.
Tapi semua itu sudah berlalu dan barangkali mungkin boleh
dikatakan dapat imbalan baik sekarang. Sebab kini Muhaimin
menjadi staf ahli di Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur'an DKI
Jaya. "Tapi menghafal Qur'an bukan untuk mendapatkan pekerjaan
kok," ujarnya. Ia menyebutkan contoh Mesir dan Turki. Katanya
tak terhitung jumlah orang yang hafal Qur'an di kedua negeri
itu, karena sejak sebelum masuk SD sudah diharuskan. "Hampir
setiap ahli agama Islam di Timur Tengah hafal Qur'an," ujarnya.
Lilik Munifah -- mahasiswi IIQ (Institut llmu Al Qur'an)
Jakarta, mengatakan tidak ada halangan kuat dalam menghafal
Qur'an. "Paling-paling itu terasa jika datang bulan," katanya,
"tapi justru saat itu enak untuk hiburan pikiran." Di IIQ
peraturan menentukan: harus hafal dalam waktu 3 tahun. Tempo
itu tidak dirasakan berat oleh seorang Masruchan yang menghafal
Qur'an di Pesantren Kiai Mufid Yogyakarta. Ia berhasil memenuhi
target itu setelah tamat Muallimat (Sekolah Guru Wanita) di
Yogyakarta.
Yahya Arief di Aceh tidak memakai metode tersendiri untuk
menghafal Qur'an. Ia hanya mengulangi setiap minggu apa yang
sudah dihafalnya. "Selama puasa saya istirahat total," ujarnya.
Kini ia memiliki 500 orang murid. Sebagai ustadz (guru) ia
mengatakan bahwa hidupnya cukup terjamin. Tetapi ia tak mau
menyebutkan berapa pendapatannya. Barangkali memang pekerjaan
menghafal Qur'an tidak ada hubungannya dengan soal rezeki.
Kiai Muhammad Rusydi dari Kudus, 52 tahun, setuju menghafal
Qur'an bukan untuk cari rezeki. Ia berasal dari keluarga yang
tidak mampu. Karena tujuannya untuk mengabdi pada agama tidak
pernah goyah, meskipun ada halangan dalam soal materi, ia tetap
gigih menghafal Qur'an. "Kalau tidak ada yang saya miliki, maka
saya hanya makan sehari sekali," ujarnya. Baginya satu-satunya
tujuannya dalam menghafal Qur'an adalah ibadah kepada Allah. "Al
Qur'an adalah bendera Islam. Barangsiapa yang memuliakannya
berarti memuliakan Allah," ujarnya dengan yakin .
Berdosa
"Banyak hikmah yang diperoleh dengan membaca Al Qur'an, untuk
hidup di dunia ini," kata Fahmi Muchtar scorang ustadz di Desa
Simabur--96 kilometer di utara Padang. Ia juga menjabat Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan Pariangan, Padangpanjang. Hikmah
yang disebutnya antara lain, setelah lama mengkhususkan diri di
bidang membaca kitab suci itu, kini ia merasakan hidupnya
tenang. Ia memang telah belajar keras siang dan malam selama 6
tahun tanpa memilih tempat. "Bila perlu, di mobil ketika dalam
perjalanan saya juga membaca Al Qur'an," ucapnya.
Sementara itu di Yogya Masduki Amin yang masih belajar di Pondok
Pesantren Krapyak Yogya mengatakan bahwa ia tidak pernah merasa
bosan membaca Qur'an: "Saya tidak punya keinginan untuk jadi
masyhur karena hafal Qur'an," katanya tandas. Ia yang
sebenarnya berasal dari Cirebon, kini sudah hafal 20 juz, tapi
belum pernah dipanggil untuk sebuah acara dan diberikan honor.
"Bukan itu tujuan saya," ujarnya, "kalau nanti setelah hafal
seluruhnya lalu di kampung ada yang memanggil saya, kemudian
memberi honor, itu urusan paling belakang." Saya ini petani."
Lalu mengapa ia menghafal Qur'an? Anak muda itu segera menjawab
yang agaknya dapat dianggap sebagai salah satu jawaban yang umum
pada masa ini. "Dalam sebuah kecamatan setidak-tidaknya harus
ada satu orang yang hafal. Begitu sebuah ayat Qur'an mengatakan.
"Kalau tidak, maka warga Islam di situ berdosa. Maka saya
mengalah supaya warga kecamatan saya selamat dengan menghafal
Qur'an."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini