BAHAN belanjaan mulai bertumpuk di berbagai pasar dan kaki-lima.
Warna-warni pakaian jadi tampak disampirkan berjajar di
sepanjang kaki-lima Jalan Malioboro, Yogyakarta. Tapi hingga
pertengahan bulan puasa Pasar Sriwedani, seperti pasar-pasar
lain dan kaki-lima di Yogya, belum terlalu sibuk.
Nyonya Atikah, istri seorang pegawai kantor Pos, angkat bahu:
"Sekarang 'kan musim pendaftaran sekolah," katanya. Juga musim
membayar macam-macam: "Bayar BP3, uang pakaian seragam beli
buku . . ." Jadi, apa boleh buat, lanjut nyonya tadi, "belanja
untuk menghadapi lebaran benar-benar harus pakai kalkulator!"
Tapi kian mendekat Hari Raya Idul Fitri, dapat dipastikan
suasana pasar di mana pun akan menggebu-gebu -- seperti
lazimnya. Di Jakarta malah sudah sejak awal Ramadhan suasana itu
terlihat. Kaki-lima di bilangan Jatinegara leI-ih luber dari
biasanya. Pedagang kakilima di sekitar Pasar Tanah Abang,
terutama di malam hari, sampai menelan tiga perempat jalanan.
Pengeras suara terpancang di sana-sini meneriakkan "obral besar"
atau ' harga murah". Orang-orang juga serentak, seperti takut
tak kebagian, berjubel di pusat-pusat pertokoan .
Tinggallah Permadi SH, Ketua YLK (Yayasan Lembaga Konsumen)
Jakarta, geleng kepala sambil berkata "Seandainya orang mau dan
bisa belanja jauh jauh hari sebelum lebaran . . ." Sebab lebih
berabe lagi di saat-saat sibuk seperti sekarang ini, seperti
dikhawatirkan Permadi, banyak barang yang tak layak dibeli siap
menerat konsumen.
Serasa ingin YLK menempelkan poster-poster di berbagai pusat
belanja unnlk memperingatkan khalayak. Misalnya begini jangan
beli sirup merk anu. Atau, beli saja saus tomat bikinan luar
negeri, sebab --bukan apa-apa yang buatan sini terbikin dari ubi
atau labu. Atau, kalau tak perlu sekali tak usah beli makanan
kalengan, banyak bahayanya (bukankah Balai Penelitian Kimia di
Semarang pernah mengatakan: menurut pengujian sayuran dalam
kaleng yang beredar di Jawa Tengah dan Jawa Timur 100% rusak?
Begitu pula buah dalam kaleng?).
Kecerewetan YLK makin meningkat sejak berdiri 7 tahun lalu. Ada
saja yang diutiknya - baik timbul dari keinginan kalangan
sendiri maupun karena pengaduan konsumen. Banyak dari
kegiatannya membeli bermacam-macam barang dari berbagai pasar.
Lalu mengirimkannya ke laboratorium milik pemerintah di Bogor,
Bandung maupun Jakarta untuk diuji mutunya.
Pengujian bersandar pada ketentuanketentuan yang ada. Misalnya
standar yang ditentukan Departemen Perdagangan dan Departemen
Kesehatan. Juga berdasarkan Undang-Undang tentang Barang (UU No.
10/1961). UU ini sebenarnya belum ada peraturan pelaksanaannya.
Namun sambil menunggu peraturan pelaksanaannya, Pemda DKI
mendahului mengorbitkan peraturan daerah tentang wajib-uji
barang hasil industri. Gubernur telah menetapkan standar bagi 75
jenis industri. Itulah yang juga merupakan senjata YLK untuk
menggbrak ke sana-ke mari.
Instansi yang mengeluarkan peratlrall sebenarnya telah
melakukan pen,awasan. Misalnya dilakukan Dinas Perindustrian
DKI Jakarta. Dinas ini menurut pimpinannya, Ir. Martono
Soemodinoto, berusaha melakukan pengujian terhadap komoditi-
yang terkena wajib-uji mulai kaus singlet batu bata, kue kering
sampai kabel. "Mestinya dilakukan setiap 3 bulan atau 6 bulan
sekali," kata Martono .
Tapi katanya lebih lanjut, ketentuan tersebut tak selalu dapat
dilaksanakan.
Terbentur dana operasi yang langka walaupun Pemda DKI
menyediakan tenaga dan biaya pengujian, termasuk contoh barang
yang akan diuji, ditanggung pengusaha.
Dengan cara pengujian tersebut, yaitu tidak mengambil contoh
dari pasar tempat konsumen membeli, memang memberi kesempatan
bagi pengusaha untuk membawa hasil produksinya yang terbaik ke
meja laboratorium. Tapi dengan cara ini pun para penguji masih
saja dapat menemukan berbagai barang yang tak memenuhi standar.
Misalnya ada 4 merk minyak goreng dari 34 merk yang diuji
ternyata tak memenuhi syarat. Ada 7 macam sirup dan 54 jenis
yang jika tak cukup kadar gulanya tentu terlalu banyak
menggunakan bahan pengawet, dan pemanis buatan Dan macam-macam
lagi.
Tapi Dinas Perindustrian tak pernah mengumumkan pada konsumen
merk merk mana yang bermutu, atau anjuran untuk tidak membeli
sesuatu jenis barang. "Tugas kami adalah membina pengusaha,"
kata Martono, "bukan mencabut nyawa mereka." Itulah sebabnya
hasil pengujian selalu diberikan secara tertutup kepada
pengusaha yang bersangkutan dengan disertai petunjuk seperlunya.
Kalau ada pengusaha yang bandel tak memperbaiki mutu? "Akan
dituntut ke pengadilan," kata Kepala Dinas Perindustrian
DKI--tanpa menyebutkan kasus yang pernah terjadi.
Berbeda dengan Dinas Perindustrian. YLK merasa tugasnya adalah
'membina" konsumen. Karenanya yayasan ini selalu menyebarluaskan
hasil penelitiannya disertai petunjuk kepada konsumen: barang
yang itu mutunya buruk sekali beli saja yang ini, mutunya lebih
baik atau baik sekali.
Cara YLK tentu saja tak mengenakkan banyak pengusaha misalnya
seperti dirasakan salah seorang pengusaha teh dalam botol yang
"kena hukum". Pasaran Galilia lagi menanjak, 800 krat (@ 20
botol) sehari, ketika teh buatan R.B. Hidayat yang berpabrik di
Jalarl Dewi Sartika (Jakarta) dinilai YLK kurang bermutu karena
mengandung bahan pengawet berlebihan.
Hidayat mengakui memang ada mencampurkan sodium benzoat dua kali
lebih banyak dari semestinya. Tapi sebelum YLK mengumumkan hal
itu, katanya ia telah mengubahnya sesuai dengan petunjuk balai
penelitian yang melakukan pengujian. Tapi pukulan YLK datang
tanpa ampun. Keruan saja omset Galilia menukik turun sampai
tinggal seperempat. Sehingga ia harus memberhentikan separuh
buruh pabriknya. "Kerugian uang sekitar Rp 4 juta,' keluh
Hidayat.
Dengan susah payah Hidayat mencoba bangkit lagi. Kekesalannya
terhadap LK setengah mati. "Kita bukan hidup model orang
Amerika," katanya. "Kalau ada apa-apa laporkan saja ke Dinas
Perindustrian, biar mereka yang menegur kami." Toh, katanya
pula, "tak ada pengusaha yang mau meracuni masyarakat.
Minuman jenis cola yang beredar di sini, yaitu Coca-cola, Pepsi
Cola dan R(. Cola, pernah pula kena jurus YLK: dituduh terlalu
banyak mencampurkan kafein sampai 6 s.d. 7 kali lipat dari ang
diperkenankan di Amerika, negeri asalnya. Standar kafein di
negeri asal Coca-cola, menurut YLK, paling banyak 200 ppm
(particles per-millioni. Sedangkan yang beredar di sini sampai
1200 s.d. 1400 ppm.
Pengusaha Pepsi, misalnya, tidak membantah ketika YLK
mengumumkan hasil pengujiannya beberapa tahun lalu.
Perusahaannya, seperti pernah dikatakan seorang manajernya
kepada TEMPO, merasa tak dibebani tanggung jawab mengenai
kesehatan konsumen. Apalagi pemerintah, kata manajer tadi, belum
mempunyai standar tentang penggunaan kafein untuk minuman
(TEMPO, Ek-Bis, 10 September 1977).
PT (Coca-Cola Indonesia, segencar apa pun kritik YLK, tak pernah
berniat mengubah resepnya--seperti dikatakan Direktur
Administrasi perusahaan tersebut, E. Pohan. Sebab, katanya,
hasil pengujian YLK tidak benar adanya. Ditunjukannya hasil
pengujian laboratorium Ditjen POM Pengawasan Obat, Makanan &
Minuman) yang menyatakan. kadar kafein yang terdapat pada
minuman jenis cola di sini tak lebih dari 0,02% (200 ppm). Vah,
kalau begitu harus percaya YLK atau Ditjen POM?
Tak semua pengusaha menyesali YLK. Produsen kayu lapis cap Kuda
Laut, misalnya. PT Tjipta Rimba, produsennya, tak membantah
hasil pengujian YLK yang menyatakan mutu kayu lapis bikinannya
buruk. "Tapi kami tak menipu konsumen," kata Eric dari Tjipta
Rimba yang berkantor di Jakarta Utara. Kuda Laut, katanya,
memang diperuntukkan bagi konsumen yang menghendaki mutu kelas
dua - bukankah harganya memang murah?
Barang tersebut kini tak dibuat lagi. "ukan karena kritik YLK,"
kata Eric. Tapi pasaran lokal maupun luar negeri memang lagi
sepi.
Minuman dan kayu lapis tersebut adalah beberapa dari lebih 80
komoditi ang tercatat dalam kegiatan pengujian YLK. Untuk
melakukan pengujian YLK tidak menerima contoh dari tangan
pengusaha, tapi lebih suka belanja di berbagai pasar atau dari
toko tempat konsumen biasa belanja. Biayanya tentu saja tidak
sedikit.
YLK memperoleh dana dari berbagai pihak. Presiden membantu Rp 6
juta dan Gubernur DKI Jakarta Rp 10 juta setiap tahun.
Belakangan Bulog, melalui kerjasama dalam berbagai urusan yang
berkenaan dengan bahan kebutuhan pojok, mengedrop Rp 8 juta
lebih setahun. Tapi menurut Permadi, dana tersebut tak cukup
untuk biaya operasi termasuk menggaji 23 tenaga yang bekerja
tetap di sana). Tekor.
Jadi, bila tahun-tahun sebelumnya YLK dapat melakukan pengujian
terhadap sekitar 12 komoditi/tahun, tahun ahli menurut Permadi
mungkin tak mampu belanja lagi. Paling-paling mencari
kesempatan bekerjasama dengan lembaga lain--seperti dilakukan
selama ini dengan organisasi konsumen dari Belanda (untuk
pengujian kondom), Belgia (baterai kering) dan AS (rokok).
"Tapi kami akan tetap cerewet," kata Permadi di kantornya di
Jalan Ciasem yang dipinjami Bulog. Sebab masih banyak yang bisa
dilakukan dengan dana sekecil itu. Misalnya melayani pengaduan
atau meneriaki berbagai bentuk promosi.
Sampai Juli kemarin YLK telah menerima 160 Pengaduan dalam
daftar untuk 1980. Tahun lalu 228 pengaduan seperti tahun-tahun
sebelumnya, banyak mengenai makanan & minuman. Tahun ini
pengaduan lebih menonjol soal jasa: keluhan langganan telepon,
listrik PLN atau air PAM.
Biasanya YLK menyelesaikan pengaduan dengan cara begini membawa
sebuah kloset, misalnya, ke perusahaan yang membuatnya. Di situ
diterangkan keluhan kosumen an si pengusaha dimintai
pertanggungjawaban. Hasilnya tak lama kemudian YLK mengucapkan
selamat kepada konsumen dengan kloset barunya. Atau, YLK
mengirimkan sebotol mentega-kacang ke laboratorium, untuk
membuktikan protes seorang konsumen yang hampir saja tertelan
pecahan kaca.
Terhadap perusahaan yang mencantumkan nama, alamat pembuat, atau
nomor pendaftaran dari instansi yang berwenang, YLK tak begitu
repot menyalurkan yengaduan dan tuntutan konsumen. Tapi di pasar
banyak terdapat barang tanpa label yang cukup untuk ditelusuri
siapa pembuatnya. Ada pengusaha yang enggan mencantumkan dirinya
dan nomor pendaftarannya. Tapi banyak pula barang baik asal
lokal maupun eks impor yang beredar secara gelap.
Dirjen POM Dr. Midian Sirait tentu saja tahu akan hal itu.
"Barang yang tak terdaftar seharusnya tak boleh beredar,"
katanya. Tak dirazia? "Wah, bisa semua pasar kami bongkar!"
katanya pula. Padahal, lanjut Dirjen, sebenarnya tak repot benar
untuk mendaftarkan barang jualan ke instansinya. Apalagi uang
pendaftaran sudah diturunkan: dari Rp 10 ribu untuk buatan dalam
negeri dan Rp 100 ribu dari luar negeri menjadi masing-masing
hanya Rp 1.000 untuk setlap macam.
Proses penelitiannya pun, sebelum dinomori, telah dipercepat.
"Itulah kebijaksanaan sementara ini," ujar Midian, "agar di
pasar tetap tersedia barang tapi tetap tidak berbahaya."
Midian bisa menerima kebawelan YLK terhadap pengusaha makanan &
minuman yang berada di bawah pengawasannya. "Tapi," katanya,
"cara melontarkan informasi hendaknya jangan sampai membuat
konsumen panik--angan hanya api kecil lalu disebut sebagai
kebakaran."
Seperti melayani pengaduan, bicara banyak tentang cara pengusaha
memromosikan barang dagangannya, yang dinilai YLK selama ini
sudah keterlaluan, juga tak membutuhkan biaya khusus. Melalui
Warta Konsumen, misalnya, YLK menuduh banyak cara mempromosikan
barang dengan menipu konsumen. Katanya, banyak ibu-ibu pengumpul
tutup botol kecap atau pembungkus sabun tertentu, tapi dengan
berbagai alasan si pengusaha tidak memberikan hadiah seperti
yang pernah dijanjikan.
Katanya pula, ada "penipuan internasional oleh pengusaha rokok
internasional," dengan cara menjanjikan konsumen pembeli
rokoknya menonton pertandingan tenis di Wimbledon. Tapi menurut
YLK, sampai pertandingan selesai, tak pernah diumumkan
siapa-siapa pembeli rokok yang mendapat tiket percuma ke
Inggris.
Pada setiap kesempatan, seminar atau ceramah-ceramah, Permadi
tak bosanbosan mengulas soal iklan yang dianggapnya dapat
menyesatkan konsumen. Misalnya: siapa bilang aerosol, obat anti
serangga, tidak berbahaya bagi manusia bila cara-cara
pemakaiannya seperti dipertunjukkan seorang bintang film di
televisi? Ada pula pil vitamin A dan F. dosis tinggi di iklan
sebagai obat jerawat bagi remaja. Padahal, menurut brosur lari
pabrik obarnya sendiri, pil tersebut diperuntukkan bagi orang
berusia setengah tua yang mendapat gangguan fungsional dan
proses keunduran: ketulian atau ketegangan sebelum haid.
Dalam kasus begitu, menurut Sekjen P31 (Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia) Indra Abi, lin, apa yang dikecam YLK benar
juga. "Iklan memang tidak boleh menipu dari segi data maupun
angka," katanya. Seperti misalnya, katanya, itu iklan kapsul
yang disebut sebagai "sarapan kedua". Atau sebuah alat olahraga
yang diiklankan sebagai alat untuk meninggikan badan.
Juga iklan bumbu masak yang digambarkan dipakai oleh ibu-ibu
berbagai macam bangsa. Kelihatan hendak mengesankan peredarannya
di banyak negara atau bermutu internasional. Nah, terhadap
iklan-iklan begituan menurut Indra, P31 telah menyiapkan surat
teguran bagi anggotanya.
Usaha YLK, menurut Indra, boleh jugalah. Hanya saja: apakah YLK
punya wewenang begitu jauh untuk mengumbar hasil penelitiannya?
Seperti Indra bilang: "Lembaga Konsumen, menurut saya, banyak
menikmati kebebasan bersuara dengan dalih perlindungan bagi
konsumen . . ."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini