Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Silahkan Belanja, Tapi Pasar Bisa...

Menurut pengujian lembaga konsumen, banyak barang-barang yang beredar di pasaran yang bermutu di bawah standar/tak memenuhi syarat. hasil-hasil pengujian lembaga konsumen membuktikan hal itu.

9 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHAN belanjaan mulai bertumpuk di berbagai pasar dan kaki-lima. Warna-warni pakaian jadi tampak disampirkan berjajar di sepanjang kaki-lima Jalan Malioboro, Yogyakarta. Tapi hingga pertengahan bulan puasa Pasar Sriwedani, seperti pasar-pasar lain dan kaki-lima di Yogya, belum terlalu sibuk. Nyonya Atikah, istri seorang pegawai kantor Pos, angkat bahu: "Sekarang 'kan musim pendaftaran sekolah," katanya. Juga musim membayar macam-macam: "Bayar BP3, uang pakaian seragam beli buku . . ." Jadi, apa boleh buat, lanjut nyonya tadi, "belanja untuk menghadapi lebaran benar-benar harus pakai kalkulator!" Tapi kian mendekat Hari Raya Idul Fitri, dapat dipastikan suasana pasar di mana pun akan menggebu-gebu -- seperti lazimnya. Di Jakarta malah sudah sejak awal Ramadhan suasana itu terlihat. Kaki-lima di bilangan Jatinegara leI-ih luber dari biasanya. Pedagang kakilima di sekitar Pasar Tanah Abang, terutama di malam hari, sampai menelan tiga perempat jalanan. Pengeras suara terpancang di sana-sini meneriakkan "obral besar" atau ' harga murah". Orang-orang juga serentak, seperti takut tak kebagian, berjubel di pusat-pusat pertokoan . Tinggallah Permadi SH, Ketua YLK (Yayasan Lembaga Konsumen) Jakarta, geleng kepala sambil berkata "Seandainya orang mau dan bisa belanja jauh jauh hari sebelum lebaran . . ." Sebab lebih berabe lagi di saat-saat sibuk seperti sekarang ini, seperti dikhawatirkan Permadi, banyak barang yang tak layak dibeli siap menerat konsumen. Serasa ingin YLK menempelkan poster-poster di berbagai pusat belanja unnlk memperingatkan khalayak. Misalnya begini jangan beli sirup merk anu. Atau, beli saja saus tomat bikinan luar negeri, sebab --bukan apa-apa yang buatan sini terbikin dari ubi atau labu. Atau, kalau tak perlu sekali tak usah beli makanan kalengan, banyak bahayanya (bukankah Balai Penelitian Kimia di Semarang pernah mengatakan: menurut pengujian sayuran dalam kaleng yang beredar di Jawa Tengah dan Jawa Timur 100% rusak? Begitu pula buah dalam kaleng?). Kecerewetan YLK makin meningkat sejak berdiri 7 tahun lalu. Ada saja yang diutiknya - baik timbul dari keinginan kalangan sendiri maupun karena pengaduan konsumen. Banyak dari kegiatannya membeli bermacam-macam barang dari berbagai pasar. Lalu mengirimkannya ke laboratorium milik pemerintah di Bogor, Bandung maupun Jakarta untuk diuji mutunya. Pengujian bersandar pada ketentuanketentuan yang ada. Misalnya standar yang ditentukan Departemen Perdagangan dan Departemen Kesehatan. Juga berdasarkan Undang-Undang tentang Barang (UU No. 10/1961). UU ini sebenarnya belum ada peraturan pelaksanaannya. Namun sambil menunggu peraturan pelaksanaannya, Pemda DKI mendahului mengorbitkan peraturan daerah tentang wajib-uji barang hasil industri. Gubernur telah menetapkan standar bagi 75 jenis industri. Itulah yang juga merupakan senjata YLK untuk menggbrak ke sana-ke mari. Instansi yang mengeluarkan peratlrall sebenarnya telah melakukan pen,awasan. Misalnya dilakukan Dinas Perindustrian DKI Jakarta. Dinas ini menurut pimpinannya, Ir. Martono Soemodinoto, berusaha melakukan pengujian terhadap komoditi- yang terkena wajib-uji mulai kaus singlet batu bata, kue kering sampai kabel. "Mestinya dilakukan setiap 3 bulan atau 6 bulan sekali," kata Martono . Tapi katanya lebih lanjut, ketentuan tersebut tak selalu dapat dilaksanakan. Terbentur dana operasi yang langka walaupun Pemda DKI menyediakan tenaga dan biaya pengujian, termasuk contoh barang yang akan diuji, ditanggung pengusaha. Dengan cara pengujian tersebut, yaitu tidak mengambil contoh dari pasar tempat konsumen membeli, memang memberi kesempatan bagi pengusaha untuk membawa hasil produksinya yang terbaik ke meja laboratorium. Tapi dengan cara ini pun para penguji masih saja dapat menemukan berbagai barang yang tak memenuhi standar. Misalnya ada 4 merk minyak goreng dari 34 merk yang diuji ternyata tak memenuhi syarat. Ada 7 macam sirup dan 54 jenis yang jika tak cukup kadar gulanya tentu terlalu banyak menggunakan bahan pengawet, dan pemanis buatan Dan macam-macam lagi. Tapi Dinas Perindustrian tak pernah mengumumkan pada konsumen merk merk mana yang bermutu, atau anjuran untuk tidak membeli sesuatu jenis barang. "Tugas kami adalah membina pengusaha," kata Martono, "bukan mencabut nyawa mereka." Itulah sebabnya hasil pengujian selalu diberikan secara tertutup kepada pengusaha yang bersangkutan dengan disertai petunjuk seperlunya. Kalau ada pengusaha yang bandel tak memperbaiki mutu? "Akan dituntut ke pengadilan," kata Kepala Dinas Perindustrian DKI--tanpa menyebutkan kasus yang pernah terjadi. Berbeda dengan Dinas Perindustrian. YLK merasa tugasnya adalah 'membina" konsumen. Karenanya yayasan ini selalu menyebarluaskan hasil penelitiannya disertai petunjuk kepada konsumen: barang yang itu mutunya buruk sekali beli saja yang ini, mutunya lebih baik atau baik sekali. Cara YLK tentu saja tak mengenakkan banyak pengusaha misalnya seperti dirasakan salah seorang pengusaha teh dalam botol yang "kena hukum". Pasaran Galilia lagi menanjak, 800 krat (@ 20 botol) sehari, ketika teh buatan R.B. Hidayat yang berpabrik di Jalarl Dewi Sartika (Jakarta) dinilai YLK kurang bermutu karena mengandung bahan pengawet berlebihan. Hidayat mengakui memang ada mencampurkan sodium benzoat dua kali lebih banyak dari semestinya. Tapi sebelum YLK mengumumkan hal itu, katanya ia telah mengubahnya sesuai dengan petunjuk balai penelitian yang melakukan pengujian. Tapi pukulan YLK datang tanpa ampun. Keruan saja omset Galilia menukik turun sampai tinggal seperempat. Sehingga ia harus memberhentikan separuh buruh pabriknya. "Kerugian uang sekitar Rp 4 juta,' keluh Hidayat. Dengan susah payah Hidayat mencoba bangkit lagi. Kekesalannya terhadap LK setengah mati. "Kita bukan hidup model orang Amerika," katanya. "Kalau ada apa-apa laporkan saja ke Dinas Perindustrian, biar mereka yang menegur kami." Toh, katanya pula, "tak ada pengusaha yang mau meracuni masyarakat. Minuman jenis cola yang beredar di sini, yaitu Coca-cola, Pepsi Cola dan R(. Cola, pernah pula kena jurus YLK: dituduh terlalu banyak mencampurkan kafein sampai 6 s.d. 7 kali lipat dari ang diperkenankan di Amerika, negeri asalnya. Standar kafein di negeri asal Coca-cola, menurut YLK, paling banyak 200 ppm (particles per-millioni. Sedangkan yang beredar di sini sampai 1200 s.d. 1400 ppm. Pengusaha Pepsi, misalnya, tidak membantah ketika YLK mengumumkan hasil pengujiannya beberapa tahun lalu. Perusahaannya, seperti pernah dikatakan seorang manajernya kepada TEMPO, merasa tak dibebani tanggung jawab mengenai kesehatan konsumen. Apalagi pemerintah, kata manajer tadi, belum mempunyai standar tentang penggunaan kafein untuk minuman (TEMPO, Ek-Bis, 10 September 1977). PT (Coca-Cola Indonesia, segencar apa pun kritik YLK, tak pernah berniat mengubah resepnya--seperti dikatakan Direktur Administrasi perusahaan tersebut, E. Pohan. Sebab, katanya, hasil pengujian YLK tidak benar adanya. Ditunjukannya hasil pengujian laboratorium Ditjen POM Pengawasan Obat, Makanan & Minuman) yang menyatakan. kadar kafein yang terdapat pada minuman jenis cola di sini tak lebih dari 0,02% (200 ppm). Vah, kalau begitu harus percaya YLK atau Ditjen POM? Tak semua pengusaha menyesali YLK. Produsen kayu lapis cap Kuda Laut, misalnya. PT Tjipta Rimba, produsennya, tak membantah hasil pengujian YLK yang menyatakan mutu kayu lapis bikinannya buruk. "Tapi kami tak menipu konsumen," kata Eric dari Tjipta Rimba yang berkantor di Jakarta Utara. Kuda Laut, katanya, memang diperuntukkan bagi konsumen yang menghendaki mutu kelas dua - bukankah harganya memang murah? Barang tersebut kini tak dibuat lagi. "ukan karena kritik YLK," kata Eric. Tapi pasaran lokal maupun luar negeri memang lagi sepi. Minuman dan kayu lapis tersebut adalah beberapa dari lebih 80 komoditi ang tercatat dalam kegiatan pengujian YLK. Untuk melakukan pengujian YLK tidak menerima contoh dari tangan pengusaha, tapi lebih suka belanja di berbagai pasar atau dari toko tempat konsumen biasa belanja. Biayanya tentu saja tidak sedikit. YLK memperoleh dana dari berbagai pihak. Presiden membantu Rp 6 juta dan Gubernur DKI Jakarta Rp 10 juta setiap tahun. Belakangan Bulog, melalui kerjasama dalam berbagai urusan yang berkenaan dengan bahan kebutuhan pojok, mengedrop Rp 8 juta lebih setahun. Tapi menurut Permadi, dana tersebut tak cukup untuk biaya operasi termasuk menggaji 23 tenaga yang bekerja tetap di sana). Tekor. Jadi, bila tahun-tahun sebelumnya YLK dapat melakukan pengujian terhadap sekitar 12 komoditi/tahun, tahun ahli menurut Permadi mungkin tak mampu belanja lagi. Paling-paling mencari kesempatan bekerjasama dengan lembaga lain--seperti dilakukan selama ini dengan organisasi konsumen dari Belanda (untuk pengujian kondom), Belgia (baterai kering) dan AS (rokok). "Tapi kami akan tetap cerewet," kata Permadi di kantornya di Jalan Ciasem yang dipinjami Bulog. Sebab masih banyak yang bisa dilakukan dengan dana sekecil itu. Misalnya melayani pengaduan atau meneriaki berbagai bentuk promosi. Sampai Juli kemarin YLK telah menerima 160 Pengaduan dalam daftar untuk 1980. Tahun lalu 228 pengaduan seperti tahun-tahun sebelumnya, banyak mengenai makanan & minuman. Tahun ini pengaduan lebih menonjol soal jasa: keluhan langganan telepon, listrik PLN atau air PAM. Biasanya YLK menyelesaikan pengaduan dengan cara begini membawa sebuah kloset, misalnya, ke perusahaan yang membuatnya. Di situ diterangkan keluhan kosumen an si pengusaha dimintai pertanggungjawaban. Hasilnya tak lama kemudian YLK mengucapkan selamat kepada konsumen dengan kloset barunya. Atau, YLK mengirimkan sebotol mentega-kacang ke laboratorium, untuk membuktikan protes seorang konsumen yang hampir saja tertelan pecahan kaca. Terhadap perusahaan yang mencantumkan nama, alamat pembuat, atau nomor pendaftaran dari instansi yang berwenang, YLK tak begitu repot menyalurkan yengaduan dan tuntutan konsumen. Tapi di pasar banyak terdapat barang tanpa label yang cukup untuk ditelusuri siapa pembuatnya. Ada pengusaha yang enggan mencantumkan dirinya dan nomor pendaftarannya. Tapi banyak pula barang baik asal lokal maupun eks impor yang beredar secara gelap. Dirjen POM Dr. Midian Sirait tentu saja tahu akan hal itu. "Barang yang tak terdaftar seharusnya tak boleh beredar," katanya. Tak dirazia? "Wah, bisa semua pasar kami bongkar!" katanya pula. Padahal, lanjut Dirjen, sebenarnya tak repot benar untuk mendaftarkan barang jualan ke instansinya. Apalagi uang pendaftaran sudah diturunkan: dari Rp 10 ribu untuk buatan dalam negeri dan Rp 100 ribu dari luar negeri menjadi masing-masing hanya Rp 1.000 untuk setlap macam. Proses penelitiannya pun, sebelum dinomori, telah dipercepat. "Itulah kebijaksanaan sementara ini," ujar Midian, "agar di pasar tetap tersedia barang tapi tetap tidak berbahaya." Midian bisa menerima kebawelan YLK terhadap pengusaha makanan & minuman yang berada di bawah pengawasannya. "Tapi," katanya, "cara melontarkan informasi hendaknya jangan sampai membuat konsumen panik--angan hanya api kecil lalu disebut sebagai kebakaran." Seperti melayani pengaduan, bicara banyak tentang cara pengusaha memromosikan barang dagangannya, yang dinilai YLK selama ini sudah keterlaluan, juga tak membutuhkan biaya khusus. Melalui Warta Konsumen, misalnya, YLK menuduh banyak cara mempromosikan barang dengan menipu konsumen. Katanya, banyak ibu-ibu pengumpul tutup botol kecap atau pembungkus sabun tertentu, tapi dengan berbagai alasan si pengusaha tidak memberikan hadiah seperti yang pernah dijanjikan. Katanya pula, ada "penipuan internasional oleh pengusaha rokok internasional," dengan cara menjanjikan konsumen pembeli rokoknya menonton pertandingan tenis di Wimbledon. Tapi menurut YLK, sampai pertandingan selesai, tak pernah diumumkan siapa-siapa pembeli rokok yang mendapat tiket percuma ke Inggris. Pada setiap kesempatan, seminar atau ceramah-ceramah, Permadi tak bosanbosan mengulas soal iklan yang dianggapnya dapat menyesatkan konsumen. Misalnya: siapa bilang aerosol, obat anti serangga, tidak berbahaya bagi manusia bila cara-cara pemakaiannya seperti dipertunjukkan seorang bintang film di televisi? Ada pula pil vitamin A dan F. dosis tinggi di iklan sebagai obat jerawat bagi remaja. Padahal, menurut brosur lari pabrik obarnya sendiri, pil tersebut diperuntukkan bagi orang berusia setengah tua yang mendapat gangguan fungsional dan proses keunduran: ketulian atau ketegangan sebelum haid. Dalam kasus begitu, menurut Sekjen P31 (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) Indra Abi, lin, apa yang dikecam YLK benar juga. "Iklan memang tidak boleh menipu dari segi data maupun angka," katanya. Seperti misalnya, katanya, itu iklan kapsul yang disebut sebagai "sarapan kedua". Atau sebuah alat olahraga yang diiklankan sebagai alat untuk meninggikan badan. Juga iklan bumbu masak yang digambarkan dipakai oleh ibu-ibu berbagai macam bangsa. Kelihatan hendak mengesankan peredarannya di banyak negara atau bermutu internasional. Nah, terhadap iklan-iklan begituan menurut Indra, P31 telah menyiapkan surat teguran bagi anggotanya. Usaha YLK, menurut Indra, boleh jugalah. Hanya saja: apakah YLK punya wewenang begitu jauh untuk mengumbar hasil penelitiannya? Seperti Indra bilang: "Lembaga Konsumen, menurut saya, banyak menikmati kebebasan bersuara dengan dalih perlindungan bagi konsumen . . ."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus