Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

MEE Membalas ?

Setelah MEE mengenakan kuota terhadap ekspor tekstil Indonesia ke Inggris, juga akan memberlakukan kuota terhadap pakaian jadi yang di ekspor ke Benelux, dan tanggapan pemerintah Indonesia atas sikap MEE.

9 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASYARAKAT Ekonomi Eropa nampaknya akanbertindak lebih jauh lagi. Setelah mengenakan kuota terhadap ekspor tekstil berbagai negara Asia yang masuk ke Inggris, MEE juga ingin memagari liran tekstil yang masuk ke Benelux-Belgia, Nederland (Negeri Belanda) dan Luxemburg. Seperti halnya Inggris, Benelux juga meminta MEE untuk memberlakukan kuota tehadap tiga golongan pakaian jadi. Golongan enam: celana tenunan untuk anak-anak dan orang dewasa. Golongan tujuh: blus dan blus kemeja wanita serta gadis dan pakaian bayi. Golongan delapan: kemeja tenunan untuk pria dewasa dan anak-anak. Tapi mengapa Benelux? Bukankah trio anggota MEE itu keadaannya lebih baik dari Inggris? Dirjen Perdagangan LN Dr. Suhadi Mangkusuwondo mengakui Benelux lebih berhasil dalam memodernisir mesin-mesin tektilnya dibandingkan Inggris. Tapi tentang rencana MEE yang baru itu dia belum bisa banyak bicara. "Tentang itu masih akan dirundingkan di Brussels," katanya. Bagaimana pun mlaksud MEE untuk memagari arus tekstil tertentu yang masuk ke Benelux, itu cukup membuat kecut para pengusaha di Indonesia. "Belum lagi Indonesia berhasil membujuk Inggris, sudah diganggu dengan ancaman baru," kata kalangan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Mereka lalu menunjuk pada suara Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro yang dianggap mulai "lunak" terhadap Inggris. Selepas menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha akhir bulan lalu, Radius Prawiro tak menunjukkan kesan bahwa pemerintah Indonesia sudah melaksanakan tindakan balasan terhadap Inggris Kepada pers ia memang berkata "Pemerintah Indonesia tetap tegas dalam masalah pembatasan kuota ekspornya ke Inggris." Tapi sang Menteri yang sebelumnya bersuara lantang, menjelaskan, "sekarang ini Indonesia masih menginginkan suasana baik agar terbuka kesempatan pembicaraan untuk berikutnya dengan pihak Inggris .." Basa-basi Mundurkah Indonesia? Seorang anak buah Radius tak menafsirkan demikian. Menurut dia,siapa pun tak layak untuk bicara keras bila balu bertemu dengan Presiden. Keterangan Menteri Radius itu memang diucapkan di 'pekarangan' Bina Graha. Basa-basi itu, demikian katanya, tak membuat pemerintah mengubah keputusannya. Untuk tahun ini Indonesia hanya kebagian jatah 700 ribu potong pakaian jadi ke Inggris. Suatu jumlah yang paling buncit bila dibandingkan dengan negeri pengekspor tekstil Asia lain. Mereka umumnya mendapat kuota jutaan potong. Merasa kecewa, pemerintah Indonesia kabarnya sudah memutuskan untuk membatalkan beberapa rencana pembeliannya, antara lain 2 pesawat Hawker Siddeley-748 dan sejumlah jembatan darurat (TEMPO, 2 Agustus). Dirjen Perhubungan Udara Marsekal Madya Sugiri membenarkan pembatalan dua pesawat HS-748 yang dipesan untuk PT Merpati Nusantara Airlines dari Inggris. Dan rencana pembelian dialihkan ke Belanda dengan memesan Fokker-27, yang menurut Sugiri lebih murah. Berapa harga sebuah HS itu Dirjen Sugiri tak mengungkapkannya. Tapi sebuah sumer TEMPo yang mengetahui menerangkan, sebuah HS-748 itu berharga kontrak US$ 7 juta. Adapun rencana pembangunan dan pemasangan jembatan darurat -- biasa disebut jembatan Bailey--kabarnya meliputi jumlah Rp 7 milyar. Tak seberapa memang. Sampai sekarang baru sekitar 3.000 meter jembatan Bailey yang tersebar di Indonesia. Dan Indonesia membutuhkan 60.000 meter, terutama untuk luar Jawa. Siapa yang akan menggantikan Inggris, belum diketahui. Leveransir pemasangan jembatan darurat itu, PT Mega Eltra di Jalan Menteng Raya, Jakarta, tak bersedia memberi keterangan ketika dihubungi. Tapi mengenai tak diikutsertakannya Inggris dalam tender perluasan pengilangan minyak di Cilacap dan Balikpapan, pihak Pertamina menyangsikannya. Selain kedua proyek itu tak ditenderkan, untuk masing-masing proyek Pertamina sudah menunjuk kontraktor utamanya: perusahaan Fluor dari AS untuk Cilacap dan perusahaan Bechtel untuk Balikpapan. Menurut seorang di Pertamina, yang di Balikpapan itu memang Bechtel dari Inggris, tak ada hubungan dengan perusahaan kontraktor Bechtei di AS yang terkenal itu. "Namun tidak ada masalah dengan mereka karena kontraknya sudah ditandatangani," kata sumber tadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus