Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH truk kontainer merah berhenti di sebuah lahan kosong di Desa Tamansari, Setu, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Lima orang langsung membongkar muatan berisi 18 ribu kaleng susu formula senilai sekitar Rp 2 miliar. Pistol polisi sempat menyalak memperingatkan aktivitas mereka. Kelima orang itu pun ditangkap. Terungkap susu formula tersebut dibawa dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, dan akan dikirim ke gudang di Kawasan Industri Delta Silikon, Cikarang. ”Saya diiming-imingi Rp 100 juta bila menggelapkan susu ini,” kata Irwan, salah seorang yang ditangkap, kepada polisi Senin pekan lalu.
Insiden tersebut makin membuat publik khawatir dengan keamanan susu formula. Belum lagi tuntutan membuka nama-nama susu formula yang ditelisik peneliti Institut Pertanian Bogor pada 2006 dipenuhi pemerintah, susu yang datang dari Cina menambah ancaman pada konsumen susu khusus bayi ini.
Susu formula memang bisnis menggiurkan karena nutrisi ini masih menjadi incaran ibu-ibu untuk asupan anak mereka. Bahkan, untuk memenuhi permintaan industri susu formula di dalam negeri, bahan susu olahannya harus diimpor. ”Produk susu dalam negeri masih belum mencukupi. Impor susu olahan mencapai 69 persen dari pasar susu di Indonesia,” ujar pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio.
Impor susu olahan datang dari Australia, Selandia Baru, dan Cina. Perjanjian perdagangan bebas antara negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) dan Cina yang membebaskan bea masuk bahan baku impor tidak hanya membuat bahan baku asal Cina membanjiri Indonesia, tapi juga menyebabkan susu formula kemasan made in China ikut menyusup ke sini.
Sebenarnya, susu formula Cina dan sejumlah produk makanan yang mengandung susu asal Cina pernah dilarang beredar oleh pemerintah pada September 2008—setelah sedikitnya enam anak meninggal dan 300 ribu lainnya sakit di Cina akibat mengkonsumsi susu yang mengandung melamin. Enam bulan setelah itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan mengeluarkan surat edaran yang melarang produk susu dan bahan baku susu dari Cina masuk Indonesia. Tak hanya susu, bikarbonat dan tepung telur yang berasal dari Cina juga dilarang digunakan produsen, importir, dan distributor produk pangan.
Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Kustantinah, pengawasan dilakukan secara komprehensif sesuai dengan kaidah internasional, yang meliputi pengawasan sejak produk belum beredar (pre-market control) hingga produk diedarkan di pasar. Post-market control dilakukan secara rutin, antara lain, melalui inspeksi terhadap sarana produksi untuk pemenuhan penerapan persyaratan cara produksi pangan yang baik. ”Diambil sampling produk dari peredaran untuk diuji di laboratorium,” katanya.
Susu dan makanan berbahan baku susu olahan asal Cina tetap saja membanjiri pasar. Karena penjagaannya cenderung lemah sehingga masih saja kebobolan, konsumenlah yang harus cerdik. Pedoman dasarnya, susu yang baik harus tak menimbulkan gangguan saluran cerna, seperti diare, muntah, atau kesulitan buang air besar. Susu yang cocok tidak akan menimbulkan gangguan lain, seperti batuk, sesak, dan gangguan kulit. Penerimaan tubuh setiap anak terhadap susu sangat berbeda. Anak tertentu, misalnya, bisa menerima susu A, tapi anak lain bila minum susu A akan menderita diare, muntah, atau malah sulit buang air besar.
Gangguan akibat ketidakcocokan susu formula bisa saja berakibat fatal (lihat ”Reaksi Simpang Susu Formula”). Karena itu, dokter Saptawati Bardosono, Sekretaris Jenderal Persatuan Dokter Gizi Medik Indonesia, menyarankan pembelian susu formula disamakan dengan obat-obatan: harus dengan resep atau rekomendasi dokter. Apalagi, di Indonesia, publik belum terlalu sadar akan bahaya yang menanti di kemudian hari bila si jabang bayi dibiarkan mengkonsumsi susu formula secara tak bijak.
Air susu ibu (ASI) jelas merupakan makanan terbaik untuk bayi. Susu formula dalam kondisi sebaik apa pun, menurut dokter spesialis anak Asti Praborini, tidak memiliki zat kekebalan sebaik ASI. Zat seperti ini tidak bisa ditambahkan ke dalam susu kemasan. Susu yang berasal dari sapi memang memiliki kelebihan natrium dibanding ASI. Tapi, ketika susu masuk ke tubuh dan menjadi garam, bayi akan rentan terhadap risiko hipertensi, stroke, obesitas, dan penyakit kardiovaskuler.
Memang akan menjadi masalah bila bayi tak dapat mengkonsumsi ASI cukup karena beberapa kondisi. Susu formula pun menjadi alternatif. Di sinilah diperlukan pilihan cerdas dan tepat. Sebab, bila susu formula yang dipilih tidak cocok, bisa timbul gangguan tumbuh kembang bayi yang terjadi terus-menerus dalam jangka panjang. Prinsip pemilihan susu yang tepat dan baik harus sesuai dan bisa diterima sistem tubuh anak.
Semua susu formula yang beredar di Indonesia dan di dunia harus sesuai dengan standar Recommendation Dietary Allowance (RDA). Standar RDA untuk susu formula adalah jumlah kalori, vitamin, dan mineral harus sesuai dengan kebutuhan bayi untuk mencapai tumbuh kembang optimal.
Setiap perusahaan susu harus memenuhi beberapa standar kesehatan internasional, seperti Hazard Analytical Critical Control Point dan Good Manufacturing Practices. Pemeriksaan itu dilakukan oleh auditor khusus, juga oleh petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan. Ketika ada pengalengan susu yang tak sempurna, ada cacat, atau ada lubang pada kaleng, susu harus dibuang. Kerusakan seperti itu menjadi pintu masuk bagi bermacam bakteri, seperti Salmonella, yang menyebabkan tifus, atau E. coli, yang memicu diare. ”Susu punya komposisi yang bagus untuk manusia, sekaligus sebagai tempat tumbuh bakteri,” ujar guru besar bidang mutu pangan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Roosita Lobo Balia.
Menurut Roosita, dari proses pembuatannya, susu bubuk seharusnya telah steril dari segala bakteri. Sebab, susu yang dipancarkan dengan kuat itu sekaligus dipanaskan dengan suhu 150-260 derajat Celsius dalam hitungan detik agar kualitasnya tidak rusak. Namun, setelah proses itu, bakteri punya celah masuk ketika susu bubuk ditambahi formula dengan beragam fungsi. Misalnya vitamin A, D, E, dan K serta asam amino yang mencerdaskan otak dan probiotik supaya bayi memiliki bakteri pencerna yang bagus dalam usus.
Proses penambahan formula itu terjadi dalam suhu kamar sekitar 37 derajat Celsius, yang memungkinkan bakteri seperti Enterobacter sakazakii—bakteri berbahaya penyebab meningitis—masih bisa tumbuh. ”Bakteri itu akan ikut pada penambahan apa saja pada temperatur yang tidak steril,” ujar doktor mikrobiologi pangan dari University of New South Wales, Australia, itu.
Untuk itulah, jangan terlalu tergiur oleh zat-zat ”ajaib” yang ditambahkan ke dalam susu formula. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian asam lemak AA dan DHA pada bayi prematur memang bermanfaat. Tapi, bagi bayi yang lahir cukup bulan (bukan prematur), pemberian kedua zat itu tidak memberikan faedah signifikan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun merekomendasikan pemberian AA dan DHA hanya pada bayi prematur.
Jadi bijaklah memilih susu formula. Ingat celetukan iklan: ”Buat anak kok coba-coba.”
Ahmad Taufik, Sorta Tobing, Harun Mahbub (Jakarta), Anwar Siswadi (Bandung)
Reaksi Simpang Susu Formula
Bayi bisa menderita gangguan akibat ketidakcocokan susu formula. Reaksi yang muncul bisa cepat atau timbulnya gejala kurang dari delapan jam. Reaksi lambat atau gejala baru timbul setelah lebih dari delapan jam, atau kadang setelah minum susu lima atau tujuh hari baru muncul keluhan. Tanda dan gejala ketidakcocokan susu formula atau alergi susu hampir sama dengan alergi makanan. Gangguan tersebut dapat menyerang semua organ tubuh, terutama pencernaan, kulit, dan saluran napas.
ANAK
Sering batuk, batuk lama (kurang dari dua minggu), pilek (terutama malam dan pagi, siang hari hilang), sinusitis, bersin, sesak, asma, dan suara serak.
Mulut berbau, sulit buang air besar, kotoran bulat-bulat seperti kotoran kambing, berbau tajam, warna hijau tua atau hitam, dan nyeri perut.
Reaksi simpang makanan, seperti ketidakcocokan susu formula, terutama mengganggu sistem saluran cerna. Gangguan saluran cerna kronis bisa mengakibatkan gangguan fungsi saraf otak yang pada akhirnya berujung pada gangguan perilaku, seperti gangguan konsentrasi, emosi, tidur, dan keterlambatan bicara.
BAYI
Sering timbul bintik atau bisul kemerahan, terutama di pipi, telinga, dan daerah yang tertutup popok. Kerak di daerah rambut. Timbul bekas hitam seperti tergigit nyamuk. Kotoran telinga berlebihan. Kulit kepala berkerak. Pembesaran kelenjar di belakang kepala atau leher. Berkeringat berlebihan, kepala, telapak tangan, atau telapak kaki sering terasa hangat (sumer).
Sering muntah (gumoh), kembung, cegukan, sering buang angin, sering mengejan, rewel, gelisah atau kolik (terutama malam hari), sering minta minum, sering buang air besar (lebih dari tiga kali per hari), dan tidak BAB tiap hari. Kotoran berbau tajam, warna hijau, atau berak darah. Lidah dan mulut sering berwarna putih. Sering mengejan berisiko terjadi hernia pusar dan tekanan berlebih pada pembuluh darah.
Napas berbunyi grok-grok, kadang disertai batuk ringan, terutama malam dan pagi hari. Sering bersin, pilek, dan kotoran hidung banyak. Bila tidur, kepala sering miring ke salah satu sisi karena hidung buntu sebelah. Minum ASI sering tersedak atau minum dominan hanya di satu sisi payudara. Mata sering berair atau sering timbul kotoran mata (belekan).
Gangguan perilaku dan motorik:
Neuroanatomis: Mudah kaget bila ada suara yang mengganggu. Gerakan tangan, kaki, dan bibir sering gemetar. Sakit kepala, migrain.
Gerakan motorik berlebihan atau hiperkinetik:
Usia di bawah 6 bulan: Mata bayi sering melihat ke atas, kepala terdongak. Tangan dan kaki bergerak berlebihan.
Usia di atas 6 bulan:
sering minta turun atau sering bergerak; sering menggerakkan kepala ke belakang dan membentur-benturkan kepala. Sering bergulung-gulung di kasur, menjatuhkan badan di kasur, dan sering memanjat. Tampak perilaku tomboi pada anak perempuan.
Gangguan tidur (biasanya malam hari):
Gelisah, bila tidur posisi nungging, berbicara, tertawa, dan berteriak dalam tidur. Pada anak lebih besar, malam sering terbangun, duduk, mimpi buruk, dan beradu gigi (gemeretak).
Agresif dan emosi meningkat:
Sering memukul kepala sendiri, orang lain, atau benda di sekitarnya. Sering menggigit, menjilat, mencubit, dan menjambak (seperti gemas). Mudah marah, keras kepala, dan sering berteriak.
Gangguan konsentrasi dan belajar:
Cepat bosan terhadap suatu aktivitas (kecuali nonton televisi, baca komik, atau main game), tidak bisa belajar lama, terburu-buru, tak mau antre, tak teliti, sering kehilangan barang, atau sering lupa. Nilai pelajaran tertentu baik, yang lainnya buruk. Sulit menyelesaikan pelajaran sekolah dengan baik, sering ngobrol dan mengganggu teman saat pelajaran, biasanya tampak cerdas dan pintar.
Gangguan koordinasi dan keseimbangan motorik dasar:
erakannya bolak-balik; terlambat duduk dan merangkak. Berjalan terburu-buru dan sering terjatuh. Sering menabrak, jalan jinjit, duduk membentuk huruf W (kaki tertekuk ke belakang). Gangguan mengunyah atau menelan, tidak mau makan makanan berserat, seperti sayur atau daging. Terlambat mampu makan nasi tim (normal usia 9 bulan) atau nasi (normal usia 1 tahun).
Keterlambatan bicara:
dari lima kata pada umur 15 bulan; kemampuan bicara atau ngoceh hilang dari yang sebelumnya bisa. Bila tidak ada gangguan kontak mata, gangguan pendengaran, dan gangguan intelektual, biasanya usia lebih dari 2 tahun, kondisi si bayi membaik.
Memperberat gejala dan perilaku ADHD
(gangguan perkembangan dalam bentuk peningkatan aktivitas motorik, menyebabkan aktivitas tidak lazim dan berlebihan), serta autisme; hiperaktif, keterlambatan bicara, dan gangguan sosialisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo