Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zaman digital menawarkan segala kemudahan. Tekan tombol pemutar cakram CD-VCD-DVD-MP3, maka puluhan jenis musik siap memanjakan kuping. Praktis. Tapi toh masih ada selapis orang yang lebih suka bersusah payah dengan segala kerepotan untuk mendengar alunan musik dari corong kecubung gramofon tua.
Padahal menikmati gramofon adalah kerepotan. Bak cah no yu, upacara minum teh ala Jepang, butuh ritual panjang untuk memainkan alat yang ditemukan pada akhir abad ke-19 ini. Pertama, pasang piringan hitam atau pelat khusus yang cuma berisi rekaman satu lagu tiap sisi. Lalu, putar engkol di samping kotak kayu gramofon. Rumusnya, sepuluh putaran engkol untuk satu lagu. Lalu, tempelkan kotak suara (sound box) berujung jarum baja lancip di atas pelat. Kresek-kresek. Pelat berputar pelan, alunan musik merambati gendang telinga. Inilah ritual warisan zaman yang tidak tergesa-gesa. Zaman ketika banyak hal bisa dinikmati dengan nyaman.
Satu lagu ta-mat, pegas kehilangan daya putarnya, musik pun senyap. Ingin tambah? Baliklah piringan untuk mendengar lagu lain. Tentu, pegas harus diengkol lagi. "Repot, sih," kata Endro Nugroho, 45 tahun, pengusaha dari Yogyakarta. Tapi, "Justru itulah seni memainkan gramofon," katanya.
Endro tidak sendirian menikmati pesona gramofon. Dia rajin kongko-kongko dengan sesama pencinta gramofon di Yogyakarta. Lihat misalnya yang mereka lakukan dua pekan lalu. Bertempat di ruang tamu keluarga Iman Mulyono di Langensastran Kidul, tak jauh dari Alun-alun Selatan Yogyakarta, enam gramofon dipajang. Bahkan sebelum diputar pun gramofon itu sudah menjadi topik pembicaraan. Apalagi salah satunya, kata Iman, adalah peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, yang meninggal pada 1939.
Satu demi satu pelat gramofon dimainkan. Selusin undangan yang hadir terdiam menikmati lagu Arm Den Haag yang didendangkan Wieteke van Dort, biduanita Belanda. "Rasanya seperti terlempar ke zaman penjajahan," kata Slamet, 53 tahun. Dulu, pada zaman Belanda, hanya tuan dan nyonya Belandaserta selapis tipis kaum ningrat pribumiyang sanggup memiliki barang mewah setaraf gramofon. Kadang kala mereka menyewakan gramofon kepada warga yang sedang punya hajat pesta dengan ongkos tinggi.
Lagu Arm Den Haag usai. Endro Nugroho segera memasang pelat berisi Si Gadis Manis dan Rayuan Penjual Bunga, dua lagu keroncong Betawi ciptaan Moh. Sjah, keluaran tahun 40-an. Hm...! Para penggila gramofon di ruangan itu lagi-lagi seperti terlempar ke masa silam. Kepala mereka manggut-manggut, mata pun merem-melek. Inilah orang-orang yang sedang nglaras, menikmati sesuatu yang benar-benar jadi kesayangan.
Tentu saja suara gramofon tidak gegap-gempita seperti stereo set zaman sekarang. Kadang musik yang nyaris lirih itu pun masih terganggu kemresek (noise) yang tidak tersaring. Namun, bagi Godod Sutejo, pelukis dekoratif asal Yogyakarta, inilah kekhasan yang membuat gramofon jadi asyik.
Merasa jatuh cinta, sejak tahun 1976, Godod mulai berburu gramofon. Dia rajin berkelana ke Ponorogo, Madiun, Malang, Yogyakarta, dan kota-kota lain yang pernah jadi lokasi perkebunan, pabrik, dan permukiman Belanda. Ia berharap bisa melacak orang-orang yang mungkin masih menyimpan gramofon warisan kakek, buyut, atau majikan mereka. Dengan cara ini, gramofon tua bisa digaet dengan rentang harga Rp 2,5 hingga 7,5 juta, tergantung merekada His Master's Voice, Capitol, Victordan kondisi barang.
Godod tentu tidak melupakan pasar loak. Hanya, berburu gramofon di pasar loak perlu strategi khusus. "Biasanya sudah tidak utuh lagi. Onderdilnya terpisah-pisah," kata Godod. Tapi tak apa, kumpulkan satu demi satu, lalu bawa ke teknisi khusus yang piawai menyatukan berbagai komponen gramofon. Suku cadang yang sudah tidak lagi beredar di pasaran biasanya diganti onderdil tiruan yang dibuat semirip mungkin dengan bentuk asli.
Nah, dari hasil perburuan ini Godod pernah memiliki 15 gramofon tua. Belakangan, dia terpaksa melepas sebagian koleksinya. "Saya butuh duit," katanya. Kini koleksi Godod tinggal tujuh gramofon.
Seperti Godod, Ilham Affan juga gandrung pada gramofon dan piringan hitam. Baginya, perangkat sound system kuno ini mewakili seni dan semangat perfeksionis para penggila audio (audiophile). Itulah sebabnya segala kerepotan yang menyertai gramofon bukan persoalan besar.
Sedikitnya sebulan sekali, Ilham merawat koleksi gramofon dan ribuan pelat miliknya. Satu per satu baut-mur-sekrup dilepas dengan hati-hati. Mesin pemutar-gir-jarum juga harus ditetesi minyak pelumas khusus. "Saya menikmati setiap detail ritual itu," kata Ilham, yang menyebutkan umurnya baru deket-deket 50 tahun.
Maklum, barang kesayangan, Ilham tidak mau serampangan memutar gramofonnya. Hanya ketika ia bisa benar-benar santai, alat itu ia keluarkan. Untuk mendengar musik sehari-hari, Ilham memindahkan rekaman pelat ke dalam CD dan memutarnya dengan perangkat sound system modern. "Biar koleksi saya tetap terjaga," kata Ilham, yang pernah mengasuh acara musik di beberapa stasiun radio di Jakarta.
Ilham memang tergolong kolektor fanatik. Tak seperti Godod dan kawan-kawannya yang tidak keberatan menggunakan onderdil tiruan, Ilham sama sekali ogah. Baginya, hanya onderdil asli yang boleh dipakai. Memang susah. Tapi, "Onderdil tiruan hanya membuat koleksi cacat dan merosot nilainya," kata dia.
Ada lagi karakter yang membedakan Ilham dari kebanyakan kolektor. Dia tidak sekadar mengumpulkan gramofon dan piringan hitam. Gramofon peninggalan ndoro Belanda dari tahun 1800-an, umpamanya, tidak bakal dilirik Ilham karena benda itu tak ada urusannya dengan kehidupannya. Bagi dia, setiap koleksi harus punya jejak dan kaitan yang cukup dalam dengan perjalanan kehidupan pribadinya. "Karena saya bangga dan menikmati tahun-tahun ketika saya tumbuh," katanya.
Ilham terutama membanggakan ta-hun 60 dan 70-an, ketika dunia dipe-nuhi romantisme generasi bunga, saat musik rock dengan karakter yang kuat berkibar-kibar. Tak mengherankan bila musik zaman psikedelik 70-an sangat kental mewarnai koleksi ribuan pelat Ilham. Yang paling dia gandrungi adalah piringan hitam versi bootlegpertunjukan yang direkam sembunyi-sembunyi lalu dijual kepada kolektordari Led Zeppelin, band Inggris yang dianggapnya paling sukses meramu blues dan rock.
Kebanggaan tahun 60 sampai 70-an juga yang membuat Ilham lebih terfokus pada koleksi pemutar pelat (turntable) pada era yang sama. Pada zaman ini, gramofon sudah berevolusi menjadi turntable berpenggerak tenaga listrik. Pelat yang digunakan pun telah berkapasitas lebih besar, sekitar lima lagu tiap sisi. Koleksi turntable milik Ilham yang paling tua adalah Siemens (1962), yang merupakan peninggalan sang ayah, almarhum Affan, yang juga penggemar musik.
"Saya memang European minded," kata Ilham mengawali penjelasan tentang koleksi pemutar piringan hitam atau turntable miliknya. Ada pemutar bermerek Sigfred (1959), Grundig (60-an), dan ITT (1977)semuanya buatan Eropa. Tapi ada juga satu pemutar pelat produk Jepang, yakni Pioneer (1974), yang melengkapi koleksi Ilham. Benda ini dia pilih karena menyuguhkan kualitas suara surround yang pada masanya betul-betul terobosan baru. Hebatnya, seluruh koleksi ini masih terjaga komplet dengan kemasan dan label dari toko.
Puaskah? "Tentu saja," jawab Ilham mantap. Nilai koleksinya kini tidak terkira. Ilham pun merasa tidak perlu lagi berburu turntable atau piringan hitam. Semua penanda dinamika audio pada zaman yang dia banggakan, tahun 60 dan 70-an, telah direngkuh. Sebagai kolektor, katanya, "Saya sudah khatam."
Mardiyah Chamim, L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Berawal dari Edison
1982:
1945 :
1939:
1925:
1917:
1912:
1902:
1888:
1877:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo