Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktu telah menabrak jadwal yang dijanjikan pukul delapan malam. Lima belas menit terbuang percuma. Penonton tak sabar: mereka berteriak berirama, seperti mars tentara. "Maksim, Maksim, Maksim!"
Lampu seketika redup. Sesosok jangkung ceking, berambut gaya awut-awutan dengan highlight putih, muncul sambil mengulum senyum. Mengenakan vest, otot bisepnya tampak kering. Di semua jari tangannya terpasang cincin karet hitam, tersambung satu dengan yang lain, yang berakhir pada belasan lilitan di kedua pergelangan tangan. Ia terlihat seperti musisi punk rock pada akhir 1970-an tapi sekaligus sangat modis.
"Good evening, Jakarta!" suara baritonnya langsung tenggelam dalam pekik histeris penonton yang tiada kunjung habis.
Tak ada yang salah dengan segala keriuhan itu. Bukankah sang bintang selalu membuat gila penggemarnya di mana saja? Tapi panggung di Stadion Tennis Indoor, Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta Selatan, pada Selasa pekan lalu itu tak sedang menghadirkan konser rock 'n' roll, yang bisa membuat penonton menjerit sesukanya.
Lihatlah lelaki langsing itu duduk, berkonsentrasi sejenak, sebelum menggeber grand piano Yamaha di hadapannya dengan kecepatan penuh. The Flight of the Bumble-Bee karya Nikolay Andreyevich Rimsky-Korsakov (1844-1908)salah seorang peletak pilar Era Romantikpun langsung menderu, melejit-lejit dari jemarinya yang berkelebat segesit lebah madu di atas bilah nada. Komposisi yang merupakan bagian dari The Tale of the Tsar Saltan op. 57 itu seperti menjadi appetizer yang lezat bagi sekitar 3.000 penonton. Ada "lapar" akibat penayangan intensif klip video lagu ini di sejumlah stasiun televisi beberapa hari sebelumnya yang terpuaskan.
Namun repertoar itu bukan bagian dari sebuah konser musik klasik yang lazim. Inilah "penyimpangan" berikutnya: sekitar tiga-empat bar sebelum musik usai, tepuk tangan penontonyang sudah hafal musik segera berakhirkembali menggelegar, menyebabkan wajah tirus sang pianis merona. "You guys are excellent," katanya.
Maksim Mrvica (baca: Maravitsa) mungkin tak pernah menyangka betapa di Jakarta, ribuan kilometer dari tanah kelahirannya di pantai Laut Adriatik, Kroasia, publik menyambutnya begitu mesra. Mereka hafal pula 13 lagunya di album debutan The Piano Player, mulai dari komposisi Barok Sarabande dari George Frideric Handel (1685-1759) sampai nomor kontemporer yang sangat "Latin-esque" berjudul Cubana Cubana. Setiap lagu berganti, penonton selalu menumpahkan antusiasme sepenuh hati. Mereka menjerit-jerit.
Konser malam itu, harap maklum, memang mutasi separuh-klasik-separuh-pop yang mendapat predikat keren sebagai classical crossover. Istilah ini populer pada awal 1990-an, ketika Vanessa Mae Vanakorn Nicholson, violinis berdarah Thailand-Inggris, mencengangkan dunia saat memainkan Toccata and Fugue in D Minor gubahan Johann Sebastian Bach (1685-1750) dengan pusar terbuka dan tubuh meliuk seliar Madonna (baca Saya Tak Akan Dikenang Lama).
Maksim memang tak menggoyang tubuhnya sepanas Ricky Martintentu saja, karena ia duduk di belakang piano. Tapi setiap kali wajah Kaukasianya terpampang di tiga layar besar di dalam gedung, penonton masih saja seperti tersetrum daya magis.
Sebagian lain dari histeria penonton terdorong oleh perkawinan dentum bas elektrik dan deram tambur yang menjadi fondasi rhythm section musiknya. Penebalan suara keyboard dan string sectionenam dari tujuh violinis perempuan di panggung adalah musisi lokalmembuat campuran suara yang dihasilkan menjadi sangat eklektik. Gedung pertunjukan bagai ruang disko. Maka di tangan Maksim sah-sah saja Piano Concerto in A Minor dari Edvard Grieg (1843-1907) dicuplik hanya sebagian kecil untuk dikemas dalam aransemen yang menonjolkan beat dan lebih funky.
Meski begitu, pianis yang membawa sendiri pick-up pianonya dari Londonkarena tak tersedia di Jakarta dan Singapuraitu tahu ada penonton "tua" yang ingin mendengar kekayaan khazanah klasik. Ia menyodorkan sesi khusus berisi tiga komposisi murni piano, termasuk Nocturne dari Frederic Chopin (1810-1849) dan sebuah komposisi yang ditulisnya sendiri, Variations on a Theme of Paganini, untuk membuktikan bahwa ia tak semata mengandalkan wajah tampan dan kemampuan ala kadarnya. "Dari sesi ini terlihat dasar klasiknya memang sangat kuat. Ia layak disebut virtuoso. Kalau dasar sudah kuat, dibentuk ke mana pun jadi," ujar Dwiki Dharmawan, pianis grup Krakatau dan direktur sekolah musik Farabi, kepada TEMPO.
Bukan tak ada kekurangan. Secara komposisi, Maksim dan band-nya belum mengeksplorasi sepenuhnya kekayaan harmoni. Ketika memainkan Olympic Dream, nomor ciptaannya yang terpilih sebagai salah satu lagu Olimpiade 2004, Maksim tak seprogresif, katakanlah, Yanni atau John Tesh, yang rajin menjelajahi harmoni, atau Rick Wakeman, keyboardman flamboyan dari grup progressive rock Yes yang ternyata sama sekali tak dikenalnya.
Namun, barangkali, faktor itu pun tak penting benar. Karena kehadirannya, pertunjukannya, adalah Spektakel (dengan "S" besar) yang memanjakan mata dan telinga, meski panggung yang disediakan terhitung minimalis. Maksim fever sudah melanda dunia, termasuk Jakarta. Karena itu, promotor Adrie Subono dari Java Musikindo, yang membayar US$ 30 ribu (untuk sang virtuoso), sudah sejak siang tersenyum. Tiket yang dicetak 3.000 lembar (seharga Rp 200 ribu dan Rp 400 ribu) ludes diserbu peminat. "Padahal, kalau saya tambah 2.000 lagi pasti juga sold out semudah ini," katanya sembari menjetikkan jari.
Dari sisi itu, pasti, konser Maksim merupakan salah satu nocturno terindah yang pernah dirasakan Adrie.
Akmal Nasery Basral
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo