Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anak milenial berani mengeluarkan dana setara dengan biaya KPR untuk menyewa hunian di tengah Jakarta.
Generasi milenial memilih tinggal di tengah kota yang dekat dengan tempat kerja dan aktivitas lainnya.
Selain bekerja, mereka butuh berada di tengah kota agar bisa bergaul tanpa batas waktu.
SUASANA cukup sibuk mewarnai rumah kos Mendjangan Mansion di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Selasa, 16 Agustus lalu. Siang itu, beberapa petugas yang mengenakan pakaian hijau tosca tampak sibuk membersihkan berbagai ruangan di rumah kos eksklusif empat lantai tersebut. Seorang resepsionis berseragam hitam terlihat siaga dan kadang berlalu lalang di ruang lobi rumah kos itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo bertandang ke rumah kos Mendjangan Mansion itu untuk menemui Putra, 29 tahun, karyawan swasta yang menyewa kamar di sana. Siang itu, Putra keluar dari lift dengan mengenakan jaket hoodie dan celana pendek. Dia mengaku sedang menjalankan kerja dari rumah atau work from home. Dalam sepekan, dia hanya perlu datang satu atau dua hari ke kantornya yang berada di Jalan Tendean—sekitar 15 menit dengan berjalan kaki dari kosannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai pengolah data, dia bisa menuntaskan semua pekerjaannya dari jarak jauh. Namun lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini enggan tinggal di kota-kota penyangga Jakarta, meski ditawari harga rumah yang murah. Dia mengaku sebenarnya punya dana yang cukup untuk membeli sebuah rumah senilai ratusan juta rupiah secara tunai. “Harus berangkat dan pulang dengan jarak serta waktu yang panjang itu painfull (penuh penderitaan),” ucap Putra.
Sejak mulai bekerja pada 2016, Putra sudah berpindah-pindah hunian sewa. Dia juga sempat tinggal di rumah kos eksklusif di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) saat bekerja pada salah satu perusahaan sekuritas. Dia terbiasa menempuh perjalanan singkat dengan berjalan kaki atau naik ojek daring untuk menuju ke kantor.
Sthevia Idira Putri. Dok Pribadi
Putra tak mempermasalahkan harga sewa hunian yang tinggi. Saat ini, dia setidaknya harus merogoh kocek Rp 4 jutaan per bulan hanya untuk biaya sewa kamar kos. Angka tersebut belum termasuk biaya listrik, parkir, dan penatu. Tapi, menurut dia, fasilitas kamarnya cukup lengkap dengan kasur, lemari, meja kerja, air conditioner, lemari pendingin, microwave, dan air hangat untuk mandi. Setiap hari, petugas kos pun membersihkan kamar yang rata-rata berukuran 4 x 4 meter tersebut.
Selain kantor, ucap Putra, keputusan menyewa hunian di dalam Kota Jakarta menunjang pergaulannya. Putra mengaku sering menghabiskan waktu dengan sejumlah rekannya untuk hangout di kawasan Senopati, SCBD, dan Senayan. Pada beberapa kesempatan, kegiatan nongkrong tersebut bisa berlangsung hingga tengah malam. Jadi dia tak merasa khawatir karena bisa menempuh perjalanan singkat menuju kos atau tempat tinggal.
Soal finansial, menurut Putra, sebagian besar uangnya tersimpan dalam bentuk produk investasi keuangan di pasar modal. Hal ini jauh lebih menguntungkan dibanding uangnya habis untuk membeli hunian atau membayar cicilan kredit kepemilikan rumah (KPR). Keuntungan dari investasi ini pun menjadi modal untuk biaya bergaul dan berliburan.
“Saya bukan orang yang frugal living (hidup sangat hemat). Habis Rp 5-10 juta untuk refreshing bukan suatu masalah. Kan ini hasil kerja dan usaha,” katanya.
•••
RUMAH memang kerap menjadi tolok ukur kemapanan finansial seseorang. Kepemilikan atas hunian tapak ini pun seolah-olah menjadi jaminan ketenangan menjalani masa tua. Pemahaman ini kemudian mendorong sejumlah generasi dan keluarga muda membeli properti yang harganya terjangkau, meski lokasinya jauh dari tempat kerja dan kegiatan harian.
Namun sejumlah anak muda generasi milenial justru enggan memiliki tempat tinggal di pinggiran kota. Mereka juga tak tertarik pada iming-iming pengembang tentang kemudahan akses transportasi dan kelengkapan infrastruktur, seperti pendidikan hingga kesehatan di sejumlah kawasan baru tersebut. Kelompok ini lebih nyaman mengeluarkan dana tinggi untuk menyewa hunian di tengah kota atau dekat dengan pusat kegiatannya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi banyak generasi muda yang akan memilih menyewa hunian di tengah kota atau wilayah lain. Tapi dia menilai keputusan tersebut muncul akibat gap antara kemampuan finansial generasi muda dan harga hunian. Generasi muda dengan penghasilan terbatas ini hanya mampu menyewa hunian atau tinggal di rumah orang tua. Harga hunian memang terus meningkat seiring dengan pertambahan nilai tanah dan harga bahan baku bangunan.
Dalam beberapa tahun terakhir, para pekerja di Jakarta lebih banyak membeli rumah di sejumlah kota satelit, seperti Parung Panjang, Cisauk, Maja, Tigaraksa, Cilegon, dan beberapa daerah di Kabupaten Bekasi. Hunian dengan harga di bawah Rp 500 juta ini mengandalkan akses transportasi yang rata-rata menggunakan kereta Komuterline Jabodetabek dan jalan tol. Pembeli bisa mendapatkan skema iuran di bawah Rp 4 juta per bulan dengan tenor 15-20 tahun.
Diplomat Muda Kementerian Luar Negeri, Sthevia Idira Putri, 34 tahun, juga mengaku punya kemampuan untuk membeli hunian di kota penyangga Jakarta. Namun Sthevia memilih tetap menyewa apartemen atau kos di tengah kota untuk menunjang kegiatan kerja. Dia enggan harus menghabiskan waktu dua hingga empat jam setiap hari hanya untuk perjalanan menuju kantor. Durasi waktu tersebut, menurut dia, bisa dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih berguna, seperti menuntaskan tugas atau beristirahat. “Saya bukan orang yang ingin menghabiskan usia atau tua di jalan,” kata Sthevia.
Saat ini, Sthevia tengah menyewa sebuah apartemen senilai Rp 40 jutaan per tahun di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Setiap bulan dia juga harus membayar iuran pengelolaan lingkungan (IPL), biaya air bersih, listrik, dan parkir sekitar Rp 1 juta. Jadi aparatur sipil negara yang sempat bertugas di Meksiko ini harus mengeluarkan dana rata-rata Rp 5 juta per bulan.
Toh, menurut Sthevia, biaya tersebut sebenarnya cukup tipis dengan penghasilan atau gajinya di kementerian. Namun dia selalu berupaya mencari solusi dibanding memilih pindah ke pinggiran kota. Salah satunya, dia biasa menutupinya melalui tabungan yang dikumpulkan saat mendapat tunjangan dinas ketika menjadi diplomat di luar negeri.
Maulana Cesa saat ditemui di kawasan Sudirman, Jakarta, 19 Agustus 2022/TEMPO/M Taufan Rengganis
“Bagi saya, di era sekarang, waktu itu mahal sekali. Kesempatan bisa memiliki waktu panjang usai bekerja itu bagian dari work life balance. Termasuk mencintai diri sendiri,” ujarnya.
Setiap hari Sthevia mengaku lebih sering menggunakan mobil pribadi untuk berangkat dan pulang dari kantornya di daerah Pejambon, Jakarta Pusat. Rata-rata waktu tempuh perjalanannya hanya 15 menit dalam kondisi normal dan 30 menit jika macet. Dia pun bisa berangkat mendekati batas waktu kehadiran, yaitu pukul 8 pagi.
Menurut Sthevia, generasi muda saat ini tak ingin melanjutkan permasalahan hidup yang menjadi momok pada generasi sebelumnya. Orang tua yang kehilangan waktu berkualitas dengan pasangan dan anak karena lelah menempuh perjalanan panjang dari kantor menuju rumah. Ini juga yang membuat dia enggan tinggal di rumah keluarganya yang berada di Depok, Jawa Barat. “Orang dulu bilang rumah itu investasi. Zaman sekarang, investasi bisa banyak bentuknya, tak harus rumah,” ucapnya.
Selain itu, tutur Sthevia, kepemilikan rumah bagi ASN juga menjadi persoalan saat pemerintah berencana memindahkan ibu kota negara ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Dia mengatakan banyak pegawai negara yang kini mengalami dilema karena harus meninggalkan asetnya di Jakarta dan sekitarnya. Rumah sendiri adalah bangunan yang justru memerlukan perawatan ekstra saat kosong atau tanpa penghuni.
•••
PEKERJAAN juga menjadi alasan Maulana Cesa, 25 tahun, untuk memilih hunian yang berada dekat dengan kantor. Desainer user interface dan user experience sebuah platform digital ini menyewa sebuah kamar kos seharga Rp 2,5 juta per bulan di Mampang Prapatan. Biaya ini sudah termasuk parkir dan layanan pembersihan kamar. Dia hanya perlu menambah sekitar Rp 200 ribu untuk biaya listrik.
Pemuda asal Bekasi, Jawa Barat, ini pun hanya butuh waktu 15-20 menit menuju kantornya di Menara Mandiri di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan. Selain mobil pribadi, dia bisa berangkat menggunakan layanan ojek online dengan biaya murah sekitar Rp 16 ribu per perjalanan. Biaya dan durasi perjalanan yang sama juga bisa didapat jika pulang pada waktu fare rendah, sekitar pukul 8 malam. “Sebelumnya sempat tinggal di rumah teman di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur. Kalau lagi tak bawa mobil, naik ojol itu bisa Rp 30-40 ribu sekali jalan,” kata Cesa.
Cesa juga harus berangkat dua-tiga jam lebih awal untuk menerobos sejumlah titik macet. Adapun saat ini Cesa bahkan masih bisa kembali beristirahat selepas menunaikan salat subuh. Dia juga mampu mematok waktu keberangkatan sekitar 45 menit sebelum batas kehadiran, pukul 8 pagi.
Selain hemat waktu dan biaya, menurut Cesa, menyewa hunian di tengah kota memperlancar pergaulannya. Dia sering berkumpul dengan rekannya hingga dua kali per pekan. Mereka biasanya mengambil lokasi tempat nongkrong di kawasan Sudirman, Kuningan, dan SCBD. Beberapa pertemuan tersebut pun kerap berlangsung hingga larut.
“Nongkrong itu zaman sekarang kebutuhan untuk healing atau melepas penat pekerjaan. Kalau rumahnya jauh, baru jam 9-10 malam sudah harus pamit karena mengejar angkutan umum atau khawatir kemalaman,” ujarnya.
Ke depan, Cesa mengaku akan mengikuti keputusan kakaknya untuk mencari hunian sewa atau milik berupa apartemen di Jakarta setelah menikah. Menurut dia, beberapa apartemen masih menawarkan harga yang cukup terjangkau, di bawah Rp 1 miliar. Keputusan ini, kata dia, lebih tepat dibanding menggunakan uang yang sama untuk membeli rumah di pinggiran kota.
Penulis Agung Wijayanto atau Awi Chin/Dok Pribadi
Selain waktu dan tenaga, dia mengaku butuh berada dekat dengan anggota keluarganya. Dia tak ingin harus menempuh perjalanan hingga hitungan jam hanya untuk bertemu dengan orang tua dan saudaranya. Cesa menilai ada banyak momen berharga yang mungkin bisa terlewat karena kendala perjalanan panjang.
Penulis dan model, Agung Wijayanto atau Awi Chin, juga memilih tinggal di hunian tengah kota untuk menghemat waktu. Padahal dia sendiri sudah berhenti menjalani pekerjaan formal sebagai seorang desainer di salah satu perusahaan swasta. Dia juga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk mempersiapkan tulisan dan memberikan materi mentoring.
Meski demikian, pria 30 tahun ini mengatakan butuh berada dekat lokasi kebugaran atau fitness. Dia adalah anggota klub gym Fitness First yang salah satu lokasinya berada di Lotte Shopping Avenue. Hal ini yang kemudian membuat dia memilih sebuah tempat kos di kawasan Setiabudi, Kuningan, Jakarta Selatan.
Perantau asal Pontianak, Kalimantan Barat, ini tengah menyewa kos dengan biaya Rp 2,5 juta per bulan. Sebelumnya dia juga sempat menyewa sebuah apartemen sederhana dengan harga Rp 3,5 juta per bulan. Dia mengatakan hanya butuh hunian yang memiliki kelengkapan fasilitas berupa dapur dan lemari pendingin untuk mengolah makanan.
Dia pun merasa cukup dengan menyewa rumah kos di dalam kota. Penulis buku Yang Tak Kunjung Usai ini tak tertarik memiliki rumah di kawasan kota penyangga Jakarta. Menurut dia, lebih baik keluar uang cukup tinggi daripada kehilangan waktu karena perjalanan panjang. “Kalau pulang malam, (kos di tengah kota) mudah diakses. Kalau ambil hunian di luar Jakarta, pulang malam itu susah transportasinya,” ucapnya.
ECKA PRAMITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo