Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANTAI dua ruang Galeri R.J. Katamsi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta berubah menjadi arena pemberontakan. Cat minyak pada kanvas itu membentuk figur-figur yang melawan penindas. Rombongan petani tebu menengadahkan kepala sembari mengangkat pacul, membelakangi lori kereta. Pasukan Belanda mengokang senjata laras panjang dengan mata yang membelalak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah-tengah mereka muncul Sakera, tokoh perlawanan rakyat yang memimpin sabotase buruh. Sakera digambarkan sedang ngremo bersama Tandak Samira, seorang waria. Dalam legenda, Sakera selalu muncul apabila Tandak Samira menari di panggung beriring alunan gending khas masyarakat agraris dan pesisir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perupa asal Tulungagung, Jawa Timur, Moelyono, mengangkat cerita ludruk pada lukisan berukuran 170 x 270 sentimeter berjudul Tandak Samira. Lukisan yang dibuat pada 2022 ini satu dari 64 karya seni yang dipajang dalam pameran berjudul “Konvergensi: Pasca-Tradisionalisme”, 12 Agustus-12 September 2022.
Pameran itu digelar untuk memperingati 125 tahun R.J. Katamsi, pendiri dan direktur pertama Akademi Seni Rupa Indonesia atau ASRI, cikal bakal ISI Yogyakarta. Katamsi adalah peletak dasar pendidikan formal. Selain itu, pameran ini bertujuan merayakan 72 tahun pendidikan tinggi seni rupa di Indonesia. Semua peserta yang ikut berpameran adalah jebolan ISI. Moelyono pernah menghebohkan ISI 37 tahun lalu. Dia membuat karya berupa bangunan yang menggambarkan Desa Tulungagung yang mengingatkan orang pada pesta demokrasi pemilihan lurah.
Karya yang diberi judul Kesenian Unit Desa sebagai persyaratan mengikuti ujian tingkat sarjana mahasiswa Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain itu ditolak ISI. Rupanya, penolakan tersebut justru membuat Moelyono makin kukuh mempertahankan kekhasannya, menciptakan karya yang bertolak dari desa. “Dua karya saya semuanya dari desa. Ini refleksi kritis untuk perguruan tinggi,” kata Moelyono saat ditemui dalam pembukaan pameran, Jumat, 12 Agustus lalu.
Karya Moelyono berjudul Praksis ECCD, pada pameran bertajuk Konvergensi: Pasca-Tradisionalisme di Galeri R.J. Katamsi, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 12 Agustus 2022. TEMPO/Shinta Maharani
Seperti biasa, karya Moelyono lahir dari analisis sosial-politik untuk penyadaran kritis. Selain mengeksplorasi kesenian rakyat ludruk, dia membuat karya seni instalasi tentang pembelajaran untuk anak-anak di Pesantren Ar Rosyaad, Balong, Kediri, Jawa Timur. Di lantai yang sama, perupa 65 tahun itu menyulap satu ruangan menjadi pesantren. Suara anak-anak mengeja Iqro’ terdengar nyaring lewat pengeras suara.
Properti lembaga pendidikan tradisional Nahdlatul Ulama ada di situ. Bendera Fatayat hingga madrasah terpajang. Kain sarung, sandal berjejer, Al-Quran, foto-foto guru, dan mainan anak-anak melengkapi pesantren berdinding hijau. Moelyono memberi judul karya itu Praksis ECCD: TPPA Ponpes Ar Rosyaad, Balong, Kediri. “Tentang pentingnya pendidikan anak usia emas,” ujarnya. Moelyono prihatin terhadap situasi di pesantren, misalnya kekerasan seksual yang banyak terjadi. Tapi karya itu sama sekali tak menyinggung kritik ataupun persoalan-persoalan di pesantren. Dia hanya menggambarkan, memindahkan satu ruang belajar pesantren menjadi etalase di galeri. Dalam berkarya, Moelyono kerap melibatkan komunitas. Pengalamannya bekerja di organisasi non-pemerintah membuat dia berhasil menjadikan komunitas yang ia dampingi mandiri dan berkelanjutan.
Karya yang mengeksplorasi tradisi juga muncul pada seni instalasi keramik ciptaan Endang Lestari. Alumnus ISI tahun 1995 ini membuat keramik berbentuk bulat kecil-kecil yang digantung dengan tali-tali. Sekilas keramik-keramik itu seperti menjelma menjadi buah rambutan yang bergerombol. Endang memberi judul karya tahun 2022 itu Niche of Offerings. “Temanya relung sesaji, bagaimana memaknai tradisi,” kata Endang.
Ia berinteraksi dengan warga Desa Bayat, Klaten, Jawa Tengah, yang merupakan perajin gerabah. Endang yang tinggal di sekitar Kecamatan Kalasan, yang dikelilingi Candi Prambanan, Candi Kedulan, dan situs Ratu Boko, menggali cerita di balik munculnya gerabah. Perupa yang pernah mengajar di Universiti Malaysia Sarawak ini meriset perajin keramik yang menggunakan teknik putar miring dalam membuat gerabah untuk menjaga tradisi leluhur. Sunan Pandanaran, murid Sunan Kalijaga, adalah tokoh penyebar Islam di Jawa yang pertama kali menemukan dan mengenalkan teknik putar miring.
Karya Endang Lestari, Niche of Offerings di Galeri R.J. Katamsi, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 12 Agustus 2022. TEMPO/Shinta Maharani
Sunan Pandanaran menciptakan teknik putar miring supaya perempuan perajin gerabah yang berjarit tetap bisa produktif menghasilkan gerabah dengan cara duduk menyamping. Teknik itu menggunakan meja yang dibuat miring sekitar 30 derajat yang diputar dengan mengayuh pedal dari bambu dan tali yang dihubungkan ke pangkal penyangga meja seperti permainan gasing. Posisi perajin duduk menyamping dengan satu kaki mengayuh pedal bambu dan tangan bisa leluasa membentuk tanah liat. Saat menggunakan tanah liat dari Bayat, Endang secara khusus berziarah ke makam Sunan Pandanaran di Bayat, Klaten. Ziarah itu sebagai bagian dari penghormatannya terhadap Sunan Pandanaran.
Karya yang dipajang di galeri berlantai empat itu terlihat menampilkan perupa lintas generasi. Ada 58 seniman dan enam komunitas seni yang terlibat. Sebagian seniman yang diundang adalah perupa moncer. Mereka di antaranya Eko Nugroho, F.X. Harsono, Heri Dono, Nyoman Masriadi, Nasirun, Titarubi, Entang Wiharso, dan Ugo Untoro. Komunitas seni yang memajang karya mereka antara lain Ruang MES 56, HONF, Ace House Collective, dan Basarub.
Tapi tak semua karya yang dipajang menampilkan kebaruan. Sebagian karya merupakan karya lama. Karya F.X. Harsono yang dipamerkan, misalnya, bertarikh 2011. Lukisan Nyoman Masriadi berjudul Watercan karya tahun 2019. Salah satu kurator pameran, Asmudjo J. Irianto, menyebutkan kurasi karya mempertimbangkan keberagaman karya. Kurator berharap para seniman yang diundang mengirim karya terbaru. Tapi sebagian seniman menyodorkan karya lama. “Bisa jadi karya terbaru mereka sudah laku,” tutur Asmudjo.
Kurator lain, Rain Rosidi, mengatakan komunitas seni menarik karena menawarkan alternatif, aksi kolektif, dan praktik media baru. Sebagian dari mereka adalah seniman muda yang muncul pada 2000-an. MES 56, misalnya, membuat karya seni instalasi dalam satu ruangan yang merekam perjalanan hingga capaian anggotanya. Karya mereka berupa meja dan kursi yang ditaruh melingkar, dapur, video, kamar kos, dan diagram praktik seni komunitas itu.
Rain melihat ada pergeseran praktik seni dari semula yang berbasis kritik menjadi terbuka dengan sains, teknologi, dan ilmu sosial. “Yang terlihat berkembang adalah berbaur dengan masyarakat,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo