Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA perempuan bergaun putih duduk saling memunggungi di kursi yang ditata melingkar. Mereka kemudian serempak menjumput potongan kain perca yang berserakan di lantai. Satu per satu kain itu mereka sambung hingga memanjang dengan mesin jahit kecil berlistrik yang dipangku di atas paha. Bekerja sambil diam selama satu setengah jam, hanya suara mesin jahit yang bicara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertunjukan seni atau performance art garapan Kelompok Perempuan Pengkaji Seni asal Surabaya berjudul Rotary itu mengangkat soal perempuan. Tema itu merembet pada masalah pekerjaan harian, budaya patriarki, dan lingkungan yang terkena dampak industri kapitalis. Mereka sengaja mengumpulkan limbah kain dari industri garmen dan konfeksi untuk proyek seni itu sebagai upaya daur ulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut ketua tim Syska La Veggie, tren pakaian seperti fast fashion menimbulkan peningkatan limbah. Industri pakaian semacam itu lebih mengutamakan kuantitas produk dalam waktu singkat dengan beragam model tanpa terlalu mempertimbangkan kualitas bahan baku produk. “Serta biasanya membayar upah karyawan yang tidak sesuai dengan kapasitas kerjanya,” katanya.
Karya yang dilengkapi video dan instalasi artefak pertunjukan itu dinobatkan sebagai pemenang Bandung Contemporary Art Awards (BaCAA) ke-7 pada Jumat malam, 12 Agustus lalu, di Lawangwangi Art Space, Bandung. Dua pemenang lain dari total 15 finalis adalah Patriot Mukmin, yang mendapat hadiah berupa residensi seni di Intermondes, La Rochelle, Prancis; dan Victoria Kosasie, yang diganjar hadiah perjalanan ke pusat seni rupa internasional.
Seusai pengumuman pemenang sekaligus pembukaan pameran 15 finalis BaCAA, Victoria menampilkan karya performance art berjudul Basins. Dia merebahkan tubuhnya di sebuah meja kayu panjang berkaki pendek. Sebuah wadah plastik segi empat bening berisi air yang ditopang sepasang bingkai kayu dengan posisi miring mengangkangi bagian perut hingga dadanya. Air perlahan mengucur membasahi tubuhnya hingga jatuh ke lantai.
Sambil tiduran, ia membacakan 50 petuah ibu kepada anak putrinya yang ditulis dalam sehelai kertas panjang. Kucuran air itu bisa dimaknai sebagai bentuk penyucian dan represi. Beban masa lalu ibu seperti hendak dibersihkan lewat anaknya. Namun petuah itu juga bisa menanamkan rasa takut pada kehidupan putrinya. Selanjutnya, Victoria melepas gaun putih yang dipakainya untuk mengepel lantai yang basah. Air perasan dari bajunya dikembalikan ke wadah.
Discourses of the Disease karya Patriot Mukmin di pameran Bandung Contemporary Art Awards (BaCAA) ke 7 di Lawangwangi Creative Space, Bandung, Jawa Barat, 12 Agustus 2022. TEMPO/Prima Mulia
Akan halnya Patriot Mukmin membuat instalasi seni berjudul Discourses of the Disease. “Awalnya iseng bikin catatan harian singkat selama masa pandemi,” ujar dosen 35 tahun di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu. Catatan yang dibuatnya sejak 1 April 2020 hingga 19 April 2021 tersebut memuat berbagai lokasi yang didatangi serta orang-orang yang ditemui.
Ide itu berawal dari dorongan rasa takut Patriot terhadap pandemi Covid-19 sehingga, jika suatu saat tertular, ia bisa melacak dan menginformasikan kepada orang yang pernah berkontak. Sebanyak 384 catatan harian itu belakangan dibuat menjadi kode batang dua dimensi atau QR code. Pengunjung bisa memindai kode itu lewat aplikasi di telepon seluler untuk mengintip catatan senimannya. Di bagian tengah barisan kode itu, Patriot menyertakan karya video pendek berdurasi 3 menit 9 detik.
Lewat media sosial, dia mengajak teman-temannya mendekonstruksi berita bohong alias hoaks seputar pandemi. Caranya dengan meminta partisipan mengucapkan beberapa kata dalam berita hoaks secara bersamaan. Metode itu, menurut Patriot, ditujukan untuk memutus rantai sintagma atau gabungan kata sehingga hoaks menjadi tidak bermakna. Ide itu mengadopsi konsep sintagma-sosiatif dalam semiotika Ferdinand de Saussure.
Pemilihan pemenang BaCAA ke-7 itu ditentukan oleh penilaian dan selera dewan juri yang komposisinya kini berubah. Nihil akademikus dan penilai dari luar negeri, Direktur Artsociates Andonowati sebagai penggagas acara menggaet lima orang dari kalangan praktisi sebagai anggota dewan juri. Mereka adalah perupa sekaligus pengamat seni kontemporer F.X. Harsono, Direktur Art Fair Indonesia Tom Tandio, Direktur The Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara Aaron Seeto, serta dua kolektor seni, yaitu Evelyn Halim dan Wiyu Wahono. “Anggota dewan juri ini harus dari stakeholder art community,” kata Andonowati.
Penggalangan karya seniman BaCAA dimulai pada 10 Maret-17 Juni lalu. Penyaringan 30 dari 100-an karya peserta yang masuk dilakukan pada 1-5 Juli. Dewan juri kemudian menilai untuk menetapkan 15 seniman finalis pada 23-25 Juli, lalu memutuskan tiga pemenang. Menurut F.X. Harsono, konsep seni rupa kontemporer yang kuat lebih banyak hadir di Bandung. Dulu BaCAA didominasi oleh perupa Institut Teknologi Bandung atau perupa Bandung.
Namun sekarang kesan itu terkikis oleh seniman dari kota lain, seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Surabaya. Sebagai juri, kondisi itu membuat Harsono bergairah. “Ini menarik,” ujarnya. Faktor penyebabnya, menurut Harsono, adalah kesadaran para seniman kota lain untuk mengeksplorasi, belajar, dan berdiskusi soal karya konseptual yang kuat. Selain itu, bermunculan komunitas yang membuat semacam inkubator bagi para seniman muda untuk masuk ke dunia seni rupa kontemporer.
Dari belasan finalis yang lolos, beberapa karya mengangkat isu yang sama seputar media massa, hoaks, gender, pandemi, dan keluarga. Candrayani Yulis, yang membuat karya instalasi berupa sarang dari ranting-ranting kering berjudul Sarang Kosong #3, terinspirasi dari kesedihan ibu yang ditinggalkan anak-anak perempuannya untuk bersekolah di luar kota. Kesedihan lain akibat ibunya yang meninggal karena Covid-19 diungkapkan Suvi Wahyudianto lewat karya berjudul Eulogia: Lipatan Terakhir Baju Ibu.
Pandemi juga melatari instalasi berjudul Sounds of Nature karya Oberlan Monroe. Dia menghadirkan suasana alam di dalam ruangan akibat pembatasan gerak sosial. Suara lain yang menyita perhatian adalah instalasi berjudul Bising-bising Media Bodong (Sound of Hoax) garapan Arief Budiman. Menggantungkan delapan televisi secara melingkar lengkap dengan loudspeaker kecil, ia mengungkapkan soal kontroversi kabar di tanah Papua.
Bagi Kartika Oktorina, melalui seni instalasinya yang berjudul Screenplay, siapa pun kini bisa membuat opini publik dan mempengaruhi orang lain lewat pesan di media. Kondisi itu ditunjang oleh perkembangan teknologi yang membawa perubahan signifikan terhadap konsumsi media. Pemasangan sebuah layar di dalam ruangan yang tersambung ke sensor bisa membuat pengunjung berinteraksi dengan karya itu sebagai aktor, sutradara, atau cukup menjadi penonton.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo