Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI jelas bukan kabar gembira. Tidak seperti bunyi iklan televisi tentang obat dari ekstrak kulit buah. Ekstrak kesepakatan baru hak kekayaan intelektual, yang disebut Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights-Plus (TRIPS-Plus), berdampak pada akan makin sulitnya pasokan obat generik di Indonesia. "TRIPS-Plus, yang pembahasannya hampir rampung itu, akan mengancam akses terhadap obat generik," ujar Judit Rius Sanjuan, Manajer Kampanye Regional Amerika Jejaring Dokter tanpa Batas, di Hotel Ibis Jakarta, awal November lalu.
TRIPS-Plus berawal dari TRIPS, aturan tentang merek, hak cipta, dan paten di bidang pertanian, kesehatan, hingga teknologi digital yang disahkan pada 1 Januari 1995. Isinya mengikat semua anggota Badan Perdagangan Dunia (WTO). Anggota WTO, yang lebih dari 150 negara, terikat memasukkan beberapa pasal dasar TRIPS ke undang-undang paten di negara masing-masing. Nah, soal paten obat awalnya berlaku batas 20 tahun. Jika masa paten selesai, perusahaan farmasi lokal dan global baru boleh membuat versi generik, yang harganya pasti lebih murah.
Faktanya, masa 20 tahun terlalu lama. Penduduk dunia yang miskin tidak akan mampu membeli obat paten. Maka, pada 2001, muncul Deklarasi Doha, yang isinya memberikan kelonggaran agar negara berkembang bisa mendapatkan obat paten. Pemerintah negara berkembang bisa meminta lisensi untuk memproduksi obat yang belum habis masa patennya, karena sangat dibutuhkan masyarakat. Pemerintah pun bisa menunjuk perusahaan di negaranya untuk memproduksi obat tersebut. Syaratnya, pihak perusahaan membayar royalti kepada pemilik paten dan produknya tidak dijual komersial.
Sayangnya, jalan tengah ini malah dihadang Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. Pemerintah Barack Obama mulai 2010 menggiring sejumlah negara di kawasan Pasifik untuk menyetujui kesepakatan tambahan, yang dikenal sebagai TRIPS-Plus. Aturan ini berupaya memperpanjang masa paten, membatasi pemberian lisensi wajib, dan memperketat perlindungan paten obat. Amerika juga memasukkan klausul tambahan tersebut lewat perdagangan bebas bilateral Pakta Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership). Singapura merupakan salah satu negara yang sudah sepakat dengan usul perjanjian bilateral tersebut—sejak 2003.
Situs pembocor WikiLeaks pun membahas isu ini sejak tahun lalu. Dokumen teranyar yang dirilis 16 Oktober lalu menyebutkan Amerika memaksakan memegang kendali terhadap obat-obatan kategori penyelamat hidup (live saving), misalnya untuk kanker. Negara itu mengajukan 12 tahun monopoli untuk tipe obat tersebut.
Nah, dampak nyata bagi Indonesia adalah soal pengetatan lisensi wajib untuk mendapatkan izin memproduksi obat generik. Indonesia, misalnya, sudah merasakan manfaat kemudahan mendapatkan obat antiretroviral untuk penderita HIV. Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Dorodjatun Sanusi, lisensi wajib diajukan sejak zaman Presiden Megawati Soekarnoputri. "Kini setidaknya ada tujuh obat ARV yang terjangkau," ucapnya.
Jejaring Dokter tanpa Batas (Doctors without Borders)—organisasi doktor internasional yang berfokus pada pengobatan dan kesehatan penduduk miskin—telah merumuskan tujuh ancaman diterapkannya Trans-Pacific Partnership (lihat boks). "Indonesia memang tidak ikut dalam pakta ini, tapi pasti akan terpengaruh," ujar Judit Rius Sanjuan. Apalagi program jaminan kesehatan nasional sudah berjalan, sedangkan sumbangan dari donor akan berakhir, sekaligus status negara layak disantuni juga dicabut. Lembaga-lembaga donor, seperti Global Fund dan Gavi dari Yayasan Melinda dan Bill Gates, berpendapat bahwa kenaikan pendapatan per kapita penduduk membuat negeri ini sudah tidak pantas mendapatkan bantuan.
"Indonesia sekarang ada di simpang jalan," kata Profesor Hasbullah Tabrany dari Universitas Indonesia. Pakar ekonomi kesehatan ini mengatakan rakyat belum mampu membeli obat paten yang mahal, tapi status negara layak disantuni sudah dicabut. Penghalang tambahan memperoleh obat murah adalah TRIPS-Plus. Sudah pasti biaya kesehatan membengkak karena, menurut guru besar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat ini, 30 persen dari biaya kesehatan adalah untuk obat-obatan.
Memang saat ini pemerintah sudah memasukkan 930 jenis obat ke daftar yang masuk jaminan kesehatan—80 persen generik. Namun, menurut Dorodjatun, komponen biaya yang disumbang obat paten dengan obat generik sama. Artinya, meski hanya 20 persen obat paten, harganya bisa setara dengan 80 persen obat generik.
Ancaman kekurangan pasokan obat generik sudah dekat. Menurut Judit, tahun depan Malaysia meneken klausul TRIPS-Plus. "Amerika adalah negara penemu obat yang besar," ujar Dorodjatun. Banyak obat baru, khususnya untuk kanker, datang dari negara inisiator Trans-Pacific Partnership itu. Untuk mendapatkan fasilitas alat dan teknologi kesehatan berpaten— umumnya berasal dari Jepang—Indonesia juga akan menemui kesulitan.
Hasbullah mengingatkan pemerintah agar membuat kajian paripurna untung-rugi menjadi anggota Pakta Trans-Pasifik. "Kalau kami, jelas menolak apa pun klausul yang memperpanjang masa paten," kata Dorodjatun. Sebab, pengadaan obat generik adalah untuk publik.
Dianing Sari
Ancaman Ketentuan TRIPS-Plus
1. Batas paten. Trans-Pacific Partnership ingin modifikasi obat lama, meski tanpa manfaat baru, bisa memperoleh hak paten.
2. Metode medis. Muncul usul mematenkan metode bedah, terapi, dan diagnostik.
3. Keberatan pra-pemberian paten yang lemah dan tidak sah. Aturan baru melarang keberatan atas obat-obatan yang akan dipatenkan, tapi diduga tidak bermanfaat. Karena tidak ada izin, tak ada lagi pengawasan publik terhadap obat-obat yang ditengarai memiliki paten berlebih atau yang hanya mengalami peremajaan.
4. Eksklusivitas data. Badan pengawas obat di negara setempat dilarang menggunakan data klinis obat paten untuk memberi izin rilis obat generik.
5. Perpanjangan masa paten. Permintaan tambahan kompensasi 5 tahun dari status masa paten 20 tahun. Nantinya total masa paten diharapkan menjadi 25 tahun.
6. Tautan paten. Badan pengawas obat di negara setempat tidak boleh menerima pendaftaran obat generik untuk obat paten yang akan habis waktunya. Izin hanya boleh keluar jika perusahaan asalnya setuju atau memang masa patennya benar-benar selesai.
7. Penegakan hukum hak atas kekayaan intelektual baru. Mengizinkan petugas bea dan cukai menahan produk yang diduga melanggar hak atas kekayaan intelektual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo