Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bilah kawat baja berjajar itu dipasang berkelompok, ditempelkan pada bidang-bidang papan. Setiap kelompok memiliki panjang-pendek dan ukuran bilah yang berbeda. Ada yang besarnya 8 milimeter, ada yang 6 milimeter. Ujung bagian atas bilah-bilah dibaut dengan kayu. Para musikus berdiri menabuhkan stik logam kecil ke kawat-kawat baja lunak tersebut.
Tak dinyana, saat mereka bersama-sama mengetuk, kawat-kawat itu menghasilkan bunyi luar biasa, seperti gemuruh orgel tua. Itulah pentas komponis Aloysius Suwardi dalam pertunjukan musik bertajuk "Bukan Musik Biasa #43" di Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta. Al—demikian biasa Aloysius Suwardi biasa disapa—dikenal selama ini sebagai komponis karawitan yang suntuk bergelut menciptakan "instrumen gamelan" modifikasi sendiri.
Dengan alat-alat ciptaannya, Al agaknya bermaksud melakukan eksperimen resonansi, vibrasi, dengung, dan gaung. Komponis lulusan Akademi Seni Karawitan Surakarta yang melanjutkan studi di Wesleyan University, Connecticut, Amerika Serikat, ini juga dikenal sebagai ahli melaras. Sebagai pelaras gamelan, ia telah melaras berbagai gamelan sampai Amerika, Kanada, dan Eropa. Karena itu, tiap alat yang dibuatnya penuh perhitungan ilmu organologi.
Agar bisa menghasilkan suara harmonis yang kuat, para musikus di atas, misalnya, harus memukul bilah-bilah kawat itu pada titik tertentu. Dan, di Wisma Seni malam itu, selain melihat kawat-kawat baja tersebut, kita melihat berbagai "instrumen aneh" Al lainnya.
Kita melihat ada gender—yang diberi nama Al, gender vibraphone. Ini instrumen gender yang di bagian bawah bilah-bilahnya oleh Al ditambahkan tabung resonansi dari pralon. Di tiap pralon itu ada kumparan yang diputar dengan sebuah motor. Ini menyebabkan, bila gender ditabuh, akan mengeluarkan nada bergelombang atau vibrasi yang sangat berbeda dengan bunyi gender biasa.
Gender itu juga bisa dibunyikan dengan cara digesek—menggunakan penggesek rebab. Suaranya terdengar halus sayup-sayup. Perlu peralatan mikrofon sensitif jika memainkan alat musik itu di luar ruangan.
Kita juga melihat instrumen yang disebut gamelan genta. Al menciptakan genta-genta dari dua lapis lempeng logam yang dibentuk serupa bandul kalung sapi. Pembuatan gamelan itu terinspirasi dari GameÂlan Gentana milik Keraton Kasunanan Surakarta, yang belum pernah dia lihat saat membuatnya. "Saya dulu diberi tahu Pak Martopangrawit (almarhum) bahwa keraton memiliki gamelan genta pemberian Kerajaan Thailand. Gamelan itu jarang dimainkan. Baru beberapa tahun lalu saya bisa melihat wujud aslinya," ujarnya.
Atas imajinasinya sendiri, Al membuat rakitan genta. Ia membayangkan sebuah orkestra genta. Malam itu kita melihat ada rakitan genta yang posisinya rebah. Ada yang digantung, ada yang dimainkan dengan cara digetarkan seperti memainkan angklung. Al memberi nama Klunthung, Klonthang, dan Klinthing. "Saya namakan berdasarkan bunyinya," katanya.
Agaknya Al memberi nama instrumen ciptaan berdasarkan onomatope atau suara bunyi. Ada instrumen berupa satuan pipa potong kecil—alat itu dinamakan Thering. "Itu karena, bila saya goreskan stik di atasnya, bunyinya tringggg."
Tatkala menyajikan komposisi Nunggak Semi, semua alat itu dibunyikan. Komposisi Nunggak Semi adalah hasil eksplorasi Al atas komposisi dia sebelumnya: Planet Harmonik. Ini komposisi yang idenya didapat Al dari membaca buku yang berisi pemikiran Pythagoras tentang alam semesta. Pythagoras menyebutkan perputaran planet dalam alam semesta menimbulkan suara harmonis yang dinamakan music of the spheres.
Suara planet yang selalu bergerak itu memang tidak pernah terdengar di telinga manusia. Namun suara tersebut terus bergaung dalam imajinasi Al. Dia ingin membuat instrumen yang bisa mengeluarkan suara yang ada dalam benaknya itu. Ia mengaku berkali-kali gagal. Semula Al mencoba menggunakan balok besi. Cara membunyikannya dengan dilempar. Namun suara harmonisnya belum sesuai dengan imajinasinya. Sampai Al menemukan bilah-bilah kawat baja itu. Ia menerapkan teori Pythagoras: dawai merupakan instrumen yang memiliki seri harmonis yang teratur lantaran mempunyai keberaturan perbandingannya.
Meski bertolak dari komposisi gending, suara-suara dan alat-alat kreasi Al malam itu menghasilkan suasana avant-garde. Al termasuk komponis yang jarang tampil. Sesekalinya ia tampil malam itu, sayang hanya ada dua komposisi. Kita tiba-tiba menginginkan Al membuat sebuah konser besar tunggal. Tapi, dengan rendah hati, ia berkilah masih mengotak-atik instrumennya terus-menerus. "Semua masih proses. Konsep terus berkembang," katanya.
Seno Joko Suyono, Ahmad Rafiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo