Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPORAN Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tentang rekening tambun sepuluh kepala daerah kepada Jaksa Agung pekan lalu sesungguhnya tak mengejutkan kita. Setelah PPATK melansir hasil risetnya, dua tahun lalu, kita tak lagi mudah dikejutkan berita rekening jumbo pejabat negara.
Digarap selama tujuh tahun, 2005-2012, riset itu menyimpulkan pemerintah daerah merupakan institusi birokrasi yang rentan korupsi. Temuan itu diperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mencatat sekitar 60 persen kepala daerah di Indonesia tersangkut rasuah. Laporan di atas mengindikasikan terjadi transaksi mencurigakan di sejumlah akun dengan jumlah dana raksasa, lebih dari Rp 1 triliun.
Jaksa Agung Prasetyo, yang dilantik Presiden Joko Widodo tiga pekan lalu, bisa "meminjam" momentum ini untuk melahirkan kejutan, yakni segera mengusut kasus ini secara transparan. Penjelasan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Widyopramono bahwa rekening mencurigakan sepuluh kepala daerah itu merupakan kasus lama justru menunjukkan ada yang salah: kasus lama jalan di tempat. Padahal semua rekening ini layak usut karena "tak sesuai dengan profil pendapatan"—terma santun untuk rekening mencurigakan.
Berbekal info Pusat Pelaporan, jaksa penyidik seharusnya bisa bergerak cepat menemukan nama-nama baru, karena korupsi dan pencucian uang tak dilakukan secara solo. Kongkalikong yang berulang telah menciptakan setidaknya tiga modus transaksi yang bisa menjadi pijakan pengusutan penyidik. Pertama, transaksi terlapor dengan pihak ketiga selain keluarga dan aparat birokrasi. Lazimnya kroni swasta. Kedua, transaksi dengan orang-orang di jalur birokrasi yang dia pimpin semacam staf terdekat atau pejabat yang terkait dengan proyek. Ketiga, transaksi dengan pihak keluarga—ini termasuk modus "favorit".
Informasi Pusat Pelaporan tentulah baru bersifat sepihak. Perlu diingat, lembaga ini tak punya kewenangan aspek pidana. Otoritasnya sebatas memeriksa dan mencurigai halal-haramnya tranÂsaksi dalam sistem perbankan. Aparat penegak hukum, dalam hal ini jaksa, polisi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mesti menelusuri dan membongkarnya. Di titik ini perlu dipertimbangkan investigasi silang, atau paling tidak kerja sama penyidikan antara kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Konflik kepentingan, potensi penghentian kasus melalui perintah penghentian penyidikan (SP3), harus dihindari. Juga jauhkan aparatur dari tindakan pemerasan pemilik rekening dan tawar-menawar kasus. Memang bukan pilihan mudah. Sudah sering terjadi, alih-alih bekerja sama, kejaksaan dan kepolisian enggan dipelototi KPK dalam pengusutan kasus korupsi. Mekanisme kerja Komisi yang tak kenal "gigi mundur" justru perlu dimanfaatkan secara maksimal.
Laporan Ketua PPATK tentang rekening gendut sepuluh kepala daerah ini perlu kita apresiasi. Langkah selanjutnya adalah membagi temuan yang sama ke KPK serta kepolisian. Perlu kerja sama padu antarlembaga penegak hukum untuk mewaspadai dan memberantas kejahatan korupsi para pejabat publik. Modus yang kian canggih dibungkus melalui pencucian uang perlu dihadapi lebih strategis. Ungkapan lama ini perlu lebih sering diterapkan dalam bongkar-usut kejahatan korupsi: beberapa kepala akan melahirkan lebih dari satu solusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo