Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sorotan cahaya yang menyirami badan dan atap Candi Brahu membuat candi setinggi 25,7 meter dan lebar 20,7 meter itu tampak megah. Aura candi tertua di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, yang berstruktur batu bata menyerupai bentuk genta tersebut terasa lain.
Seorang laki-laki dan perempuan duduk di bagian kanan dan kiri badan candi. Laki-laki itu berperan sebagai Mpu Prapanca yang membacakan kisah Gayatri dalam kitab Nagarakretagama dengan bahasa Jawa kuno. Sedangkan sang perempuan sesekali mendendangkan teks berkenaan dengan Gayatri itu.
Jumat malam, 21 November, candi ini menjadi latar dari sebuah pementasan tari berkisah tentang Gayatri, tokoh perempuan di balik kejayaan Majapahit. Gayatri disebut-sebut sebagai permaisuri utama dari lima istri pendiri Majapahit, Raden Wijaya, yang bergelar Kertajasa Jayawardhana (memerintah pada 1293-1309), yang dibaca dua orang itu menuntun koreografi.
Dalam sejarah, Wijaya tercatat memperistri empat putri raja Kerajaan Singhasari, Kertanagara, termasuk Gayatri. Setelah Kerajaan Singhasari runtuh karena diserang Kerajaan Kadiri, Raden Wijaya bersama Gayatri mendirikan Majapahit. Kemampuan Gayatri menentukan transisi pemerintahan Majapahit itu menjadi inspirasi pementasan.
Pelataran Candi Brahu diberi tambahan panggung yang terbuat dari susunan batu bata. Sebelum dimulai pementasan, masyarakat lokal pelestari sejarah Trowulan melakukan pradaksina mengelilingi candi. Pradaksina merupakan ritual mengelilingi bangunan suci. Semua pengiring musik gamelan hingga pemain juga mengikuti prosesi ini. Setelah pradaksina selesai, pertunjukan pun dimulai.
Tarian empat penari—Restu Kusumaningrum, Ayu Bulantrisna Djelantik, Cok Istri Ratih, dan Heri Lentho—selama 30 menit itu dibagi dalam tiga adegan. Adegan pertama menceritakan Raja Kertanagara, bersama anak-anaknya, hingga Kertanagara mangkat. Adegan kedua menggambarkan Gayatri memadu kasih dengan Raden Wijaya hingga mendampingi Raden Wijaya jadi raja pertama dan pendiri Majapahit. Adegan terakhir menceritakan sosok-sosok utama yang dibimbing Gayatri sampai Majapahit berada pada masa kejayaan.
Menurut Ayu Bulantrisna, gerakan tari yang ia lakukan bersama penari lain berdasarkan jalan cerita dan intuisi. "Kami berintuisi saja dan berkreasi untuk membuat gerakan yang lebih menentukan perasaan," katanya. Gerakan tari yang ia tampilkan diyakini sebagai akar dari tari Bali ataupun Jawa dan tidak sampai menonjolkan warna tari tertentu. "(Gerakan itu) akar dari tari Bali ataupun Jawa. Jadi kami berusaha jangan sampai menari Bali atau Jawa," ucapnya.
Dalam pertunjukan ini, Ayu Bulantrisna menambahkan, para penari mencoba memvisualkan sejarah. Visualisasi gerakan tari berdasarkan sejarah dalam kitab Nagarakretagama itu diinterpretasikan oleh penari masing-masing. "Kami buat interpretasi sendiri sehingga menjadi sebuah kisah semisejarah walaupun enggak terlalu jauh dari (sejarah dalam) buku-buku yang ditulis," katanya. Ayu menyebut Gayatri sebagai wanita di balik kejayaan Majapahit. "Dia sebenarnya kingster-nya," katanya. Kemampuan Gayatri dalam berpolitik dan bernegara didapat dari ayahnya, Kertanagara. Sosok Gayatri, menurut dia, jarang disebut dalam sejarah Majapahit.
Hal yang sama disampaikan penari lain, Restu Kusumaningrum, bahwa gerakan tari Rajapatni pada intinya mengikuti jalan cerita Gayatri berdasarkan Nagarakretagama. Pada dasarnya gerakannya mengikuti kidung. Setiap penari juga harus mengetahui isi cerita dalam Nagarakretagama. "Kami mengerti isinya, lalu diambil dalam imajinasi gerak yang setiap penari punya interpretasi berbeda dan kami menyatukannya dalam koreografi," ujarnya.
"Kita enggak boleh terlalu Jawa Tengah atau Bali. Kita enggak boleh terpaku pada pakem," Restu menambahkan.
Pementasan kidung tari dengan tokoh sentral Gayatri ini salah satu rangkaian Festival Trowulan Majapahit untuk memperingati hari jadi Majapahit ke-721. Festival ini merupakan agenda komunitas Mandala Majapahit, yang menjadi pusat pemberdayaan sosial dan budaya masyarakat Trowulan, yang didirikan di Dusun Jatisumber, Desa Watesumpak, Trowulan, Mojokerto, pada Juni 2014.
"Festival Trowulan Majapahit merupakan inisiatif warga dan disambut baik oleh para pegiat seni," kata Adrian Perkasa, Koordinator Mandala Majapahit sekaligus Direktur Eksekutif Badan Pelestarian Pusaka Indonesia.
Menurut Adrian, cerita dalam kitab Nagarakretagama ini difokuskan pada kisah Gayatri. "Kami angkat Gayatri karena dia sosok perempuan yang luar biasa di balik kejayaan Majapahit," ujarnya.
Dari ide cerita itu, Adrian berkomunikasi dengan salah satu penari, Restu Kusumaningrum, dan Restu menyambut baik. Restu kemudian mengajak penari lain bergabung: Ayu Bulantrsina Djelantik, Cok Istri Ratih, dan Heri Lentho. Keempat penari itu kemudian menggarap koreografi yang mengisahkan Gayatri sebagai rajapatni atau pendamping raja berdasarkan cerita sejarah dalam Nagarakretagama.
Heri ditunjuk sebagai sutradara dan Restu sebagai direktur artistik. Untuk mengiringi koreografi para penari ini, komposer kondang Rahayu Supanggah didaulat menjadi direktur musik. Supanggah menyajikan musik ansambel yang didominasi gamelan. Pementasan ini juga melibatkan Kelompok Studi Arek Jawa Timur di Solo (Kedirek Jatim-Lo).
Heri berperan sebagai tiga tokoh sekaligus, yakni ayah Gayatri, Kertanagara; suami Gayatri, Raden Wijaya; dan mahapatih Gajah Mada. Restu berperan sebagai Gayatri semasa muda dan Ayu Bulantrisna menjadi Gayatri semasa dewasa hingga tua. Adapun Cok Ratih berperan sebagai anak Gayatri, Tribhuana Wijayatunggadewi, yang menjadi Raja Majapahit menggantikan Jayanegara.
Heri mengatakan latihan untuk mementaskan tari ini dilakukan selama tiga bulan dan berpindah-pindah: Jakarta, Surakarta, dan Candi Brahu, Trowulan, sebagai tempat pertunjukan. Para pemain berasal dari Bali, Jakarta, Surakarta, dan Surabaya. "Temanya mengangkat Dewi Gayatri, perempuan luar biasa yang membawa spirit kenusantaraan," katanya.
"Pakaian dan gaya rambut kami sesuaikan berdasarkan gambar di relief dan peninggalan terakota," kata Restu. Model dan bentuk pakaiannya simpel dan sederhana. Kostum yang digunakan lebih berupa balutan kain yang melilit bagian tubuh.
Gelung rambut yang digunakan juga disesuaikan dengan bukti di relief dan terakota. "Kami bisa melihat perempuan Majapahit gelung rambutnya seperti apa," katanya. Gelung rambut penari yang memerankan tokoh perempuan tampak panjang, lebat, dan cukup besar.
Ayu Bulantrisna menambahkan, meski pakaian zaman itu masih sederhana, kalangan bangsawan sudah memakai emas sebagai perhiasan. "Jadi kami juga memakai replika perhiasan emas pada setiap karakter," ujarnya.
Karena pertunjukan digelar pada malam hari, bayang-bayang Brahu terasa natural. "Kayaknya baru kali ini ditarikan, kalau dikidungkan sudah banyak," ujarnya.
Gayatri kecewa terhadap penobatan Jayanegara (Kala Gemet) sebagai raja yang kala itu masih berusia 16 tahun. "Semasa Jayanegara memerintah, timbul banyak kekacauan dan pemberontakan," kata Ayu. Jayanegara memerintah pada 1309-1328. Pada saat terjadi banyak kekacauan itu, muncul Gajah Mada. Kemampuan Gajah Mada dalam meredam konflik itu dimanfaatkan Gayatri sebagai aset yang mampu menjaga keamanan kerajaan.
Gayatri pun mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih. Pengangkatan Gajah Mada itu keputusan sulit bagi Gayatri karena Gajah Mada berasal dari golongan sudra atau rakyat biasa. Sepeninggal Jayanegara, Gayatri berhasil mendudukkan putrinya, Tribhuana Wijayatunggadewi, sebagai raja. Semasa pemerintahan Tribhuana Tunggadewi, Majapahit makmur dan aman dengan mahapatihnya, Gajah Mada.
Tribhuana Tunggadewi memerintah pada 1328-1350, lalu digantikan Hayam Wuruk, yang memerintah pada 1350-1389. Gayatri bisa membimbing Majapahit hingga mencapai puncak kejayaan. Memasuki usia senja, Gayatri, yang sudah merasa cukup mengawal dan menjaga kejayaan Majapahit, mulai meninggalkan kepentingan duniawi. Di akhir hayatnya, ia menjadi biksuni hingga tutup usia. "Kami meraba-raba sosok Gayatri, kita buat interpretasi sendiri dalam gerak," kata Ayu.
Ishomuddin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo