Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Anjing Gila Menggila

Korban tewas berjatuhan. Bali paling terancam, meski penanggulangan sudah dilakukan.

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERSELIP di antara petunjuk jalan dan baliho komersial, papan-papan pengumuman itu mencuri perhatian orang. Terpacak setinggi sekitar tiga meter, papan peringatan itu berisi pesan senada: awas rabies, waspada gigitan anjing, dilarang membawa anjing! Begitulah secuil pemandangan di jalan utama menuju Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali. Peringatan serupa—dalam bahasa Inggris—juga dijumpai di sejumlah obyek wisata Pulau Dewata.

Tentu, rabies berpotensi mengancam sektor pariwisata. Sejak September lalu, misalnya, pemerintah Amerika Serikat dan Australia mempertanyakan perkembangan penanganan rabies melalui konsulat mereka di Bali ke pemerintah daerah dan pelaku bisnis wisata setempat. Meski belum ada pembatalan atau pengalihan destinasi oleh biro wisata, rabies menjadi ancaman terhadap berkurangnya potensi kunjungan akhir tahun (year end), yang biasanya melonjak dibanding bulan-bulan biasa. Dari catatan Dinas Pariwisata Bali, pada akhir tahun, kunjungan wisatawan mancanegara di Bali bisa mencapai 7.000 orang per hari, meningkat dibanding bulan biasa yang sekitar 5.000 per hari.

Wabah rabies memang masih menghantui Bali, sejak virus itu diketahui menyebar di sana pada November 2008—saat itu ditemukan empat orang meninggal dengan gejala radang otak dan memiliki riwayat pernah digigit anjing. Hingga kini, ancaman itu masih nyata. Senin dua pekan lalu, Nengah Sabri, 60 tahun, meregang nyawa di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Ketika dibawa ke rumah sakit, kondisinya sudah menunjukkan gejala tertular rabies, seperti gelisah dan takut pada cahaya.

Awalnya, Agustus lalu, warga Banjar Intaran, Pikat, Klungkung, itu digigit seekor anjing kampung di jarinya tangannya. Hanya gigitan kecil memang, tapi itulah yang berakibat fatal. Dia tenang-tenang saja karena petugas pelayanan kesehatan menyatakan tidak melihat bekas gigitan tersebut. Sabri juga enggan mencari vaksin antirabies (VAR). Dua bulan kemudian kondisinya memburuk, sampai akhirnya meninggal.

Kasus yang menimpa Sabri ini umum dijumpai pada penderita rabies. Penyakit tersebut merupakan infeksi akut pada sistem saraf pusat. Serangannya cepat dan mematikan. Jika gejala klinis timbul, biasanya penderita akan meninggal.

Sabri adalah korban tewas ke-103 di Bali. Wabah belum bisa dihalau meski pemerintah setempat sudah berkampanye besar-besaran untuk mencegah penularan rabies. "Masih ada warga yang yakin tak akan mungkin tertular rabies," kata Kepala Dinas Kesehatan Bali Nyoman Sutedja.

Apalagi anjing dianggap sebagai sahabat penjaga lingkungan. Tak mengherankan bila populasi anjing di Bali tinggi. Menurut Yayasan Yudistira, lembaga sosial yang bergerak di bidang pengendalian populasi anjing, jumlah anjing di Bali sekitar 540 ribu ekor atau rata-rata 96 ekor setiap kilometer persegi. Jumlah itu mencakup anjing rumahan, anjing berpemilik yang diliarkan, dan anjing liar atau biasa disebut anjing geladak.

Celakanya, penelitian Dinas Peternakan Bali menunjukkan sedikitnya 400 ekor anjing positif mengidap virus rabies, sebagian besar tersebar di Karangasem, Buleleng, juga Badung dan Tabanan. Jumlah itu hanya dari sampel 3.500 otak anjing secara acak. Sumber penularan rabies ke anjing Bali belum dipastikan. Dugaannya, virus dibawa anjing dari daerah endemi rabies seperti Flores, Nusa Tenggara Timur. Pengawasan terhadap lalu lintas binatang memang sangat lemah, khususnya di pelabuhan tradisional.

Bali pun menjadi daerah paling terancam. “Penularan rabies pada manusia di Bali termasuk yang tertinggi,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama, dalam peringatan Hari Rabies Internasional di Bali, Jumat dua pekan lalu.

Pemerintah Bali sebenarnya sudah menggelar program pembasmian rabies dengan dana khusus Rp 25 miliar untuk membeli vaksin bagi anjing dan manusia. Pemusnahan anjing juga dilakukan. Sampai Agustus lalu sedikitnya 95 ribu ekor anjing dimusnahkan. Langkah itu dianggap efektif daripada penangkapan dan vaksinasi anjing liar, yang harus dilakukan dua kali. Tapi pembunuhan anjing secara massal sempat diprotes oleh kalangan pemerhati hewan. Belakangan pemerintah bekerja sama dengan World Society for the Protection of Animal (WSPA) memvaksin hingga 400 ribu anjing atau sekitar 70 persen populasi.

Rabies tidak hanya di Bali. Menurut data Kementerian Kesehatan, rabies ditemukan di 24 provinsi. Daerah yang bebas hanya Bangka Belitung, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Selama 2007-2009, tercatat 87.084 kasus gigitan hewan penular rabies, dengan korban tewas mencapai 421 orang. Di Bali, sepanjang tahun ini telah dilaporkan 41.453 kasus gigitan anjing dengan total korban tewas 103 orang.

Anjing memang menjadi kambing hitam rabies, meski binatang berdarah panas lain, seperti kucing, kera, rubah, dan kelelawar, juga bisa menjadi penular. Selain di jaringan saraf, virus rabies yang masuk famili Rhabdovirus dan genus Lyssavirus itu ada di air liur hewan perantara. Maka penularannya umum terjadi melalui gigitan atau jilatan binatang pembawa virus pada kulit yang terluka, hingga terjadi infeksi.

Setelah itu, virus berkembang di otot sekitar gigitan dan menjalar ke otak, lantas berkembang biak. “Target virus rabies adalah jaringan saraf di sistem saraf pusat," kata Ngurah Mahardika, pakar virologi Universitas Udayana, Bali. Virus menuju ke otak dengan kecepatan tiga milimeter per jam. Perjalanannya secara neurogenik atau melalui serabut saraf. Dari saraf pusat, virus berpindah lagi ke jaringan nonsaraf seperti kelenjar air liur.

Karena itu, lokasi gigitan pun menentukan kecepatan perkembangan penyakit. Semakin dekat ke otak, semakin cepat fatal. Mahardika menjelaskan, hasil penelitian menunjukkan tingkat kematian penderita rabies tertinggi dijumpai pada korban gigitan di daerah kepala atau muka (40-80 persen), lalu di tangan (15-40 persen), dan pada kaki (5-10 persen). Ada juga faktor lain yang menentukan perkembangan penyakit, seperti jumlah dan tingkat keparahan gigitan, konsentrasi virus yang masuk, dan kekebalan tubuh korban.

Beragam faktor membuat variasi masa inkubasi sangat lebar. Umumnya, waktu antara terjadi gigitan dan timbulnya penyakit rabies pada hewan dan manusia itu adalah satu sampai dua bulan. Tapi bisa juga sangat cepat, yakni satu minggu sampai cukup lama hingga satu tahun.

Untuk itu perlu dicermati gejala tertular rabies: terasa kaku dan nyeri di sekitar lokasi gigitan, pusing, demam tinggi, mual, produksi air mata dan air liur berlebihan (hipersalivasi), serta sensitif dan takut air (hidrofobia), suara keras, cahaya (fotofobia), dan udara (aerofobia). Pada tahap lanjut, dada terasa sesak dan terjadi kelumpuhan. Biasanya penderita meninggal 4-6 hari setelah gejala klinis timbul. Mengingat begitu cepatnya virus menyerang, pertolongan pertama harus cepat dilakukan, yaitu mencuci luka dengan air mengalir sekitar 15 menit, kemudian diberi antiseptik.

Pada binatang yang terjangkit rabies, ada banyak tanda, seperti penakut atau malah galak, bersembunyi di tempat dingin dan gelap, nafsu makan berkurang, air liur berlebihan, ekor menyelip di antara kedua paha, kejang-kejang, dan lumpuh.

Harun Mahbub, Rofiqi Hasan (Bali)


Akibat Gigitan Anjing Rabies

  1. Terjadi proses infeksi, virus berkembang di otot sekitar gigitan
  2. Virus menyebar melalui sistem saraf pusat
  3. Kemudian menjalar ke otak

Gejala:

  • Otot terasa kaku dan nyeri di sekitar lokasi gigitan.
  • Pusing, demam tinggi, mual.
  • Produksi air mata dan air liur berlebihan (hipersalivasi).
  • Sensitif dan takut pada air (hidrofobia), suara keras, cahaya (fotofobia), dan udara (aerofobia).
  • Selanjutnya dada sesak dan lumpuh. Biasanya penderita meninggal 4-6 hari setelah gejala klinis tersebut muncul.

    Pertolongan pertama bisa diberikan sesaat sesudah digigit, yakni dengan mencuci luka dengan air mengalir sekitar 15 menit, kemudian diberi cairan antiseptik.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus