Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPERAMENTAL, licin, sekaligus memiliki daya tahan hidup luar biasa, itulah karakter Toni Togar. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Iskandar Hasan memiliki pengalaman betapa sulitnya memburu Toni. Pada 2002, saat menjadi Direktur Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Sumatera Utara, ia pernah kewalahan mendeteksi keberadaan Toni. ”Kemampuan survival-nya tinggi,” ujar Iskandar kepada Tempo. ”Ia tahan tidur berhari-hari di tengah sawah.”
Para alumnus Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, juga mengingat Toni sebagai jago bela diri. Menurut Noor Huda, yang juga sama-sama alumnus Ngruki, seniornya itu sangat menguasai ilmu bela diri bu tong pai—campuran kungfu dan karate—yang diajarkan di Ngruki.
Toni selesai nyantri di pesantren pimpinan Abu Bakar Ba’asyir itu pada 1990. Setelah itu ia sempat mengajar di sana dua tahun. Jika berpidato, kata-katanya memikat dan menyihir pendengarnya. ”Orang-orang seperti terhipnotis kalau ia berbicara di mimbar,” kata Noor, yang kini menjadi pengamat teroris dan intelijen.
Dengan kemampuan retorikanya itulah, ujar Noor, tak mengherankan bila Toni bisa merekrut para tahanan untuk jadi pengikutnya. Toni, kata Noor, menyatakan dosa mereka akan diampuni jika mereka berjuang di jalan Allah. ”Yaitu merampok untuk biaya jihad.”
Lahir dengan nama Indra Warman pada 7 April 1970 di Padang, ketika ia masih kecil orang tuanya merantau ke Medan. Ia kemudian memiliki berbagai nama alias, antara lain Abdul Rasyid dan Feri Kurniawan. Adapun nama Toni Togar lebih banyak digunakan dalam pergaulannya dengan teman-temannya di Medan. ”Karena nama itu berbau Batak dan identik dengan sifat kerasnya,” kata Noor.
Pada 1995, Toni berangkat ke Afganistan. Datang ketika Kabul sudah jatuh ke tangan Sekutu, impiannya ikut berjihad melawan pasukan Amerika pupus. Menurut Noor, di sana kerjanya hanya mengurus logistik para mujahidin yang tersisa. Tak pernah sekali pun ia memiliki kesempatan mengarahkan senjata ke lawan. ”Ia hanya bisa menangis di Afganistan karena tak sempat ikut perang,” ujar Noor.
Sebelum tertangkap pada 2003, Toni memiliki usaha percetakan warisan sang ayah. Usaha inilah yang menghidupi istri dan lima anaknya di Medan. Dihubungi Tempo pada Kamis pekan lalu, istri Toni—dia meminta nama dan alamatnya tak disebutkan—membantah kabar bahwa suaminya keras dan temperamental. ”Dia suami yang baik dan bertanggung jawab,” ujarnya.
Perempuan ini juga tak percaya Toni terlibat dalam kegiatan terorisme atau perampokan. Kepada anak-anaknya, katanya, suaminya tak pernah membentak atau memukul. ”Juga kepada saya,” ujarnya. Toni, katanya, hanya keras jika sudah menyangkut agama.
Namun, bagi polisi, Toni jelas sosok yang bertanggung jawab atas sejumlah teror berdarah yang terjadi selama ini. Ia, misalnya, dinyatakan terlibat dalam peledakan bom di beberapa gereja di Medan dan Pekanbaru pada 2003. Pada tahun yang sama ia juga berperan dalam pengeboman Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz-Carlton di Jakarta. Saat itu ia disebut-sebut menjabat waqala (panglima) Jamaah Islamiyah wilayah Sumatera. Keterlibatannya dalam sejumlah aksi teror inilah yang membuat Pengadilan Negeri Medan, pada 2003, memvonisnya 20 tahun penjara.
Mustafa Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo