Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Konde di Atas Ranjang

Setelah di Belanda, drama musikal Opera Jawa karya Garin Nugroho dipentaskan di Yogya dan Jakarta. Tahun depan dilanjutkan ke Belgia, Paris, dan London.

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSELINGKUHAN itu terjadi di atas ranjang. Sinta (Dwi Nurul Hidayah) sedang bangkit berahinya, tapi suaminya, Rama (Heru Purwanto), menampiknya dan tidur memunggungi sang dewi. Sinta duduk kecewa di tepi ranjang merah itu.

Rahwana (Eko Supriyanto) datang dengan tubuh tersungkup kukusan bambu besar. Dia mendekati Sinta. Jari-jari tangannya keluar dari balik kukusan, seperti ular menyeruak dari liang. Jari-jari itu merayap pelan-pelan mendekati Sinta. Lalu meloncat menyentuh lututnya. Sinta menepis. Tapi jari-jari jail itu tak menyerah dan terus mengejar.

Pertarungan itu berakhir ketika Rama menggeliat. Rahwana langsung menyusup ke balik kain Sinta, yang sigap pula menutupinya. ”Ketika berahi datang, manusia menjadi binatang,” kata Sinta melantunkan sepotong tembang berbahasa Jawa ngoko.

Perselingkuhan ini diangkat sutradara Garin Nugroho dalam teater musikal Tusuk Konde, yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu. Bagian kedua dari trilogi Opera Jawa ini pertama kali dipentaskan di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda, pada September lalu. Bagian pertamanya, Ranjang Besi, sudah dipentaskan dua tahun lalu. Bisa dibayangkan ”erotisme eksotis” yang ditawarkan Garin itu tentu memikat publik Eropa.

Garin meringkas dan menafsirkan kembali epos klasik Ramayana menjadi kisah cinta segitiga antara Rama, Sinta, dan Rahwana. Sinta memilih Rama, seorang priayi lembut dan santun. Tapi Rahwana memiliki gairah yang menggelora, yang justru membakar jantung Sinta. Ketika Sinta menyambut kedatangan jari-jari Rahwana, Rama berubah jadi angkara. Rama membunuh Rahwana dengan lidi dan menusuk Sinta dengan tusuk kondenya sendiri. ”Tusuk konde dapat menjadi lambang kekuasaan, juga sebuah mahkota,” kata Garin.

Garin kembali memanfaatkan kukusan bambu, yang biasa digunakan untuk menanak nasi, sebagai perlambang untuk banyak hal. Tatkala Dwi mengelus dan memainkannya untuk menggambarkan gairah seksual Sinta yang bergolak, kukusan itu menjelma menjadi payudara, pinggul, dan kelaminnya. Di tangan penari lain, kukusan itu berubah menjadi tempat persembunyian hasrat dan berahi.

”Karya Garin kali ini memang lebih sensual,” kata Eko Supriyanto. Eko menyisipkan satu koreografi yang lebih personal, yaitu saat sebelum perang tanding antara Rahwana dan Rama. Di situ, hanya bercelana hitam ketat tanpa kain, ia terlihat tampil lebih bebas. ”Kain mengganggu gerak saya,” ujar penari yang populer berkat keterlibatannya dalam Drowned World Tour Madonna itu.

Karya Garin ini sepenuhnya bertumpu pada gerak dan nyanyian. Adegan-adegan penuh diisi dengan para penari yang kemudian menembang. Metode yang diambil dari langendriyan—drama tari tradisional Jawa—ini disajikan Garin dengan pola konvensional dramaturgi Barat: awal-puncak-penyelesaian. ”Ini agar membuat masyarakat Barat juga bisa menikmati cerita yang saya suguhkan,” tutur Garin

Seperti dalam Ranjang Besi, kali ini Garin memadukan unsur tradisional dan kontemporer. Dalam sebuah adegan, Eko, misalnya, dibiarkan Garin bermain-main dengan topi laken, bergaya seperti pemusik blues (sebagian penonton mengiranya sebagai Michael Jackson) dan berjumpalitan seperti penyanyi hip hop. Garin juga menyertakan wayang-wayang ganjil karya Heri Dono, dan juga visual cuplikan film Opera Jawa yang menampilkan instalasi patung karya Agus Suwage dan Entang Wiharso.

Komposisi yang disajikan Rahayu Supanggah juga menyajikan berbagai unsur musik dari Nusantara. ”Dari Kerinci, Banyuwangi, Sunda, hingga Jawa,” kata etnomusikolog yang pernah bekerja sama dengan Peter Brook dalam Mahabharata dan Robert Wilson dalam I La Galigo itu.

Garin memang terobsesi untuk menyusun sebuah ensiklopedi kesenian Jawa berskala kecil. Dalam pertunjukan selama dua jam itu dia meringkas sejarah kesenian Jawa. Garin sadar bahwa karyanya ini disuguhkan ke masyarakat Eropa masa kini, yang memahami bahasa kesenian sekarang tapi juga suka akan eksotisme Timur.

Menurut Garin, dirinya harus pintar membaca peta bagaimana Eropa pascakolonial ingin melihat Jawa. ”Pertempuran saya adalah membaca peta agar bisa masuk ke gedung-gedung pertunjukan utama mereka,” katanya. Kita melihat strategi Garin adalah mengolah unsur-unsur nostalgia tradisi Jawa dalam kemasan multikultural masa kini. Dan agaknya resep itu lumayan manjur. Tahun depan karyanya ini akan berkeliling ke Belgia, Paris, dan London.

Kurniawan, SJS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus